Judul Buku : Titipan Umar Kayam: Sekumpulan Kolom di Majalah TEMPO
Penulis : Umar Kayam
Editor : Tim Editor TEMPO
ISBN/ISSN : 979-9065-06-2
Bahasa : Indonesia
Penerbit : Pusat Data dan Analisa TEMPO
Tahun Terbit : 2002
Tempat Terbit : Jakarta
Resensi oleh : Ahmad Muzakki
“Penulis-penulis Jawa lama itu, meskipun mereka penulis sewaan raja, mereka masih berani memanjakan fantasinya seluas-luasnya bahkan juga segila-gilanya. Itu semacam kebebasan sikap dari mereka”
-Umar Kayam, Seribu Kunang-Kunang di Manhattan (1972)-
Kebudayaan merupakan segala ciptaan-ciptaan manusia yang lahir dari kesadaran pikiran dalam memenuhi hasratnya untuk menuntut kehidupan yang sesempurna-sempurnanya. Karya sastra merupakan salah satu hasil wujud kebudayaan hasil karya manusia yang cukup tua. Sastra memiliki hubungan dengan kondisi politik, ekonomi, dan sosial. Dengan kata lain, kondisi politik, ekonomi, dan sosial yang ada di sekitar kita dapat melatarbelakangi perkembangan sejarah sastra. Karya sastra dapat memberikan sebuah gambaran kehidupan dan kondisi sosial pada zaman tertentu. Salah satu tokoh kebudayaan khususnya sastra Indonesia yang dikenal masyarakat ialah Umar Kayam.
Pria kelahiran Ngawi, 30 April 1932 ini pernah menimba ilmu di Universitas Gadjah Mada (UGM). Setelah menyelesaikan sarjana muda di Universitas Gadjah Mada (1955), Umar Kayam meraih gelar M.A. dari Universitas New York (1963), dan meraih gelar Ph.D. dari Universitas Cornell (1965). Ia mulai menulis karya sastra ketika mendapat kesempatan memperdalam ilmunya di Amerika. Sebelumnya, sejak masih sebagai mahasiswa di Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, perhatiannya lebih difokuskan pada jenis kegiatan di bidang seni lainnya, yaitu teater dan film. Tahun 1954/1955 Umar Kayam dikenal sebagai aktivis teater Fakultas Sastra, Pedagogik, dan Filsafat UGM. Selain itu, Umar Kayam juga menulis skenario film “Jalur Penang dan Bulu-Bulu Cendrawasih” yang difilmkan pada 1978. Umar Kayam juga pernah bermain sebagai aktor dalam film “Karmila” dan “Pengkhianatan G-30-S/PKI” sebagai Bung Karno.
Umar Kayam dikenal aktif menulis sebuah karya sastra dan menulis kolom di media surat kabar, harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta terbitan hari Selasa. Kolom-kolom itu kemudian dihimpun dan diterbitkan dalam tiga kumpulan, salah satunya adalah “Mangan Ora Mangan Kumpul”: berisi 127 kolom yang terbit antara 12 Mei 1987 hingga 30 Januari 1990. Selain harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta majalah TEMPO juga menjadi salah satu media massa yang memuat tulisan-tulisan Umar Kayam. TEMPO sebagai salah satu media massa tersohor di Indonesia beranggapan bahwa rasanya tulisan Umar Kayam itu terlalu penting untuk dibiarkan tersimpan begitu saja di halaman majalah yang nantinya akan menjadi arsip. Pertimbangan itulah yang membuat Pusat Data dan Analisis TEMPO untuk menerbitkan antologi tulisan Umar Kayam.
Tahun 2002 Pusat Data dan Analisis TEMPO akhirnya menerbitkan buku kumpulan kolom-kolom Umar Kayam. Buku ini menghimpun tulisan Umar Kayam yang pernah dimuat di majalah TEMPO dengan judul “Titipan Umar Kayam: Sekumpulan kolom di majalah TEMPO”. Buku ini terdiri dari XVI+230 halaman, menghimpun kolom-kolom Umar Kayam dalam kurun waktu tahun 1974 sampai tahun 1999. Sebuah ilustrasi foto Umar Kayam dengan latar belakang gambar pewayangan menunjukkan dengan jelas bahwa buku ini berisi tulisan-tulisan yang berhubungan dengan kebudayaan di Indonesia.
Buku kumpulan kolom ini dibuka dengan kolom Umar Kayam yang berjudul “Potret Affandi”. Kolom ini dimuat pada 1974, berisi bagaimana kehidupan singkat sang maestro pelukis Indonesia Affandi Koesoema. Umar Kayam juga menuliskan kondisi galeri Affandi yang ada di pinggiran kali Gajah Wong, Yogyakarta. Melalui tulisannya Umar Kayam mampu membawa imajinasi pembaca untuk ikut memahami proses penciptaan sang maestro.
Umar Kayam memilih masalah yang aktual sebagai tema tulisannya. Taufik Abdullah, rekan dekat Umar kayam, ditunjuk untuk memberikan pengantar buku ini. Melalui tulisannya yang berjudul “Ia Bercanda Sambil Berfikir ”, Taufik Abdullah berbicara bahwa kolom-kolom Umar Kayam ini bukan hanya dianggap sebagai potret sosiologi sesaat, melainkan diperlakukan pula sebagai dokumen sejarah sosial. Sifat dokumenter dari kumpulan kolom ini semakin terasa setelah perjalanan waktu yang semakin memisahkan kita dari saat ketika kolom-kolom ini ditulis.
Kolom dengan judul “Orang – Orang Sial dan Ilmu Sosial” yang dimuat pada 1980 menggambarkan salah satu potret sosial yang ia renungkan. Melihat judulnya saja kita dapat memprediksi bahwa tulisan ini mengandung nada paradoks untuk mengkritik sebuah fenomena sosial yang ada. Kolom ini menceritakan bagaimana perjuangan hidup masyarakat petani dan nelayan. Lebih jelasnya bukan hanya perjuangan hidup, tetapi kesulitan mereka yang harus berjuang demi kehidupan keluarga mereka. Kesulitan yang semakin menjadi ketika ada jarak antara mereka dengan orang-orang birokrasi kelembagaan desa. Secara tersirat kolom ini juga menceritakan adanya perbedaan kelas sosial antara priyayi dan masyarakat biasa. Pembeberan realitas itu seolah menjadi teguran keras untuk para pujangga ilmu sosial profesional yang menguasai teori serta metodologi.
Pengalaman kesuksesan memerankan Bung Karno dalam film “Pengkhianatan G-30-S/PKI” juga ditulis Umar Kayam dalam kolomnya yang berjudul “Dua Kali Bersama Bung Karno”. Kolom ini menceritakan kekaguman Umar Kayam terhadap sang proklamator negeri ini. Ia menceritakan bagaimana dirinya mendapat kesempatan dua kali berjabat tangan langsung dengan Bung Karno. Pertama saat terjadinya revolusi di Jogja dan yang kedua saat Bung Karno sedang di ambang senja kekuasaannya. Ia juga menceritakan perasaannya saat Arifin C. Noer menunjuk dia untuk berperan sebagai Bung Karno dalam film tersebut. Ada beberapa adegan yang meninggalkan kesan membekas, yakni ketika dialog dengan Soeharto dan ketika Bung Karno akan dipindah dari Istana Merdeka menuju Wisma Yaso.
Tahun 2002 Umar Kayam meninggal dunia. Tentu saja, buku ini bisa menjadi kumpulan peninggalan Umar Kayam untuk kita semua.
Artikel ini merupakan rubrik Sorotan Pustaka dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi Mei-Juni 2019.