Oleh Gabriela Melati Putri (Kawan Magang IVAA)
Judul Buku : Pada Sebuah Kapal Buku
Penulis : Muhidin M. Dahlan
Tahun Terbit : 2017
Penerbit : I:Boekoe
Nomor Panggil : 300 Dah D
Masih dalam rangkaian seri 20 Tahun Menulis Muhidin M. Dahlan, bagian ini membicarakan posisi buku sebagai instrumen politik, demikian dunia buku pun politis. Sebagai sebuah tempat tersimpannya gagasan (dan ingatan kolektif) masyarakat, buku berada dalam pusaran rumit dengan negara dan pemangku kuasa. Belum lagi korporasi buku dengan kelompok elit-intelektual, serta dengan berbagai lapisan kelas di masyarakat. Untuk merangkum narasi tersebut, buku ini diberi tajuk Pada Sebuah Kapal Buku.
Pelarangan buku (“penjagalan buku”, sebagaimana Muhidin menyebutnya) dan sensor barangkali menjadi salah satu topik yang paling sering kita simak dalam lini masa dunia perbukuan di Indonesia–terutama ketika membicarakan keterlibatan penguasa. Balai Pustaka, yang didirikan pada masa kolonialisme sebagai contoh, melakukan penertiban ”buku-buku liar”; apa yang “baik” dan “tidak baik” untuk dibaca para bumiputera. Menengok ke belakang, negara pun tidak jarang melakukan “bersih-bersih” terhadap buku-buku kiri, melanggengkan ketakutan dan kebencian terhadap komunisme (bersama Marxisme dan Leninisme).
Tentu, kelindan lain antara negara dan buku tak hanya terkait pelarangan dan sensor; bacaan yang “layak” dan “tidak layak”, tetapi terkait erat pula dengan kebijakan-kebijakan yang diputuskan oleh negara, juga dengan irisan-irisan kepentingan perniagaan buku. Infrastruktur buku menjadi salah satu yang cukup banyak dikupas dalam buku ini. Perpustakaan menjadi salah satu fokus perhatian Muhidin. Perpustakaan adalah ruang bagi memori kolektif untuk dicatat dan diarsipkan, dan pustakawan adalah pengawalnya; garda depan yang menjaga dan diberi kesempatan “berinteraksi” secara intensif dengan buku-buku. Akan tetapi, ruang-ruang ini pun memiliki keterbatasan untuk mencapai masyarakat lapisan terbawah. Ia ada di ruang-ruang kota, bukan di daerah-daerah lain yang terpencil. Dalam salah satu kritikan yang dilontarkan Muhidin, tak jarang perpustakaan menjadi sehambar tata kelola administratif. Tak jarang pula, perpustakaan bukan menjadi ruang dialog antara berbagai macam pikiran, tetapi justru telah dipilihkan apa “yang sesuai” dan “tidak sesuai”. Mencontoh Soekarno yang malang-melintang dalam berbagai gagasan (bacaan) yang bertentangan satu dengan yang lain, demikian pulalah seyogyanya negara memberikan bacaan-bacaan kepada masyarakat. Beruntungnya, membangun ruang baca ini menjadi kerja kolektif. Kelompok-kelompok arsip, perpustakaan-perpustakaan mandiri yang dibuka dan dikelola secara kolektif maupun individu justru yang memberi sumbangsih.
Membangun budaya membaca memang bukan hal yang mudah. Ada berbagai persoalan ekonomi dan politik yang melingkupinya. Ketersediaan bacaan dan akses terhadap bacaan adalah salah satu contoh. Mengutip puisi Wiji Thukul, Catatan, buku sering menjadi komoditas yang harganya tak dapat dijangkau oleh masyarakat di lapisan bawah. Tak jarang, toko-toko itu pun hanya tersedia di perkotaan, dengan dikte bacaan-bacaan “bagus” yang tak menyentuh masyarakat pembacanya. Maka, persoalan utama dari rendahnya minat baca terletak pada ketersediaan dan akses terhadap bacaan tersebut.
Artikel ini merupakan rubrik Sorotan Pustaka dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi September-Oktober 2018.