Oleh: Andya S
Kembali ke awal tahun 2018, saya sedang asyik memantau linimasa. Ada hal yang membuat saya antusias ketika mengetahuinya, bahwa Indonesian Visual Art Archive (IVAA) telah membuka perekrutan magang. Inilah momentum yang ditunggu sejak setahun lalu sebab saya belum berkesempatan pada waktu itu. Saya mulai magang pada periode Maret-Mei. Namun kembali lagi untuk periode Oktober-November dalam rangka memenuhi persyaratan mata kuliah wajib semester 7. Niat awal untuk magang di instansi kearsipan milik kerajaan Belanda di ibu kota sudah pupus karena suatu hal. Itu bukan merupakan suatu penyesalan. Lagi pula di sini saya dapat sekaligus melakukan penelusuran sumber (heuristik) untuk skripsi saya yang berkaitan dengan seni rupa. Selain sumber literatur, saya juga bisa mendapat sumber lisan dari link yang sekiranya bisa jadi informan.
Keputusan saya untuk magang di IVAA berangkat dari keingintahuan dan ketertarikan terhadap seni rupa, khususnya perkembangan skena seni rupa kontemporer di Jogja. Namun yang dititikberatkan pada IVAA bukan melulu soal seni rupanya saja. Yang utama adalah proses kerja pengarsipan itu sendiri. Saya adalah seorang mahasiswa jurusan Ilmu Sejarah, yang tentunya bila menulis sejarah membutuhkan sumber data berupa arsip. Arsip merupakan sumber primer sejaman yang mana merupakan komponen utama dalam penulisan sejarah. Meminjam perkataan sejarawan Jerman, Leopold von Ranke, bahwa No Document, No History. Berarti saya tidak dapat menulis jika tiada disertai arsip. Di sini, peran saya hanya sebatas pengakses yang terima jadi. Saya belum paham betul bagaimana proses di balik pengarsipan itu dilakukan. Magang di IVAA bisa saya katakan sebagai simulasi menjadi seorang arsiparis. Ini pengalaman baru dan memberi tantangan tersendiri bagi saya. Adanya kedekatan dengan bidang yang saya tempuh ini menjadi perhatian saya. Rasa-rasanya, sejarawan juga sekali-kali harus melebur dalam diri arsiparis.
Bagi seorang peminat seni dan budaya, tentunya saya sangat menikmati pekerjaan yang diberikan. Secara umum, pekerjaan yang telah dilakukan selama dua kali magang ini hampir sama. Banyak hal yang bisa saya pelajari, terutama dari pengalaman saya membantu kerja divisi arsip dan dokumentasi. Pada bagian arsip, saya ditugaskan untuk mengunggah berkas digital ke arsip online & offline dan menulis profil pelaku seni. Sesekali memperbarui kalender acara seni di situs IVAA. Hal yang paling menarik dalam kerja di bagian ini adalah saat saya mengunggah berkas-berkas digital ke basis data arsip offline yang belum lama dibuat itu. Walaupun pekerjaan ini dilakukan berulang setiap harinya dan kadang membosankan, justru itu memberi pengetahuan baru bagi saya. Saya berkutat dengan dokumen yang berisi tentang pelaku seni, peristiwa dan kekaryaannya. Banyak hal tak terduga dan tidak saya ketahui sebelumnya saat saya membaca dokumen tersebut untuk keperluan pemberian informasi metadata. Dokumen berupa artikel dari media cetak menyediakan informasi tentang peristiwa seni rupa di masa lalu. Dari sini saya dapat memahami, menafsirkan dan mengingat peristiwa seni di masa yang telah lampau.
Selain itu, saya juga turut ambil bagian dalam kegiatan penciptaan arsip, yakni mendokumentasi/ merekam peristiwa seni. Kegiatan inilah yang mengantarkan saya pada pertemuan dengan sosok yang berpengaruh dalam dunia seni visual dan rupa. Dari sekian kegiatan dokumentasi peristiwa seni, pengalaman yang berkesan adalah saat saya melawat ke Bandung untuk memotret karya pameran tunggal Sunaryo, Lawangkala dan SSAS/ AS/ Ideas. Di samping itu juga mewawancarai kurator Chabib Duta. Pada kesempatan itu, saya sempat bertegur sapa dengan Pak Sunaryo, namun tidak sampai pada obrolan panjang karena beliau sedang mendampingi tamunya. Ulasan tentang kunjungan saya ke Bandung bisa dibaca di sorotan dokumentasi e-newsletter IVAA September-Oktober 2018. Secara keseluruhan kegiatan magang di IVAA mendorong saya untuk mempelajari seni visual/ seni rupa Indonesia lebih mendalam lewat pengorganisasian data arsip, perekaman dan penulisan.
Beberapa orang mungkin masih berpikir, bergelut dengan arsip adalah hal remeh temeh. Perihal yang lampau dianggap telah usang. Padahal, sejatinya masa yang telah berlalu tidak enyah begitu saja. Meskipun demikian setiap jejak-jejak peristiwanya tetap melekat dalam ingatan kolektif. Inilah fungsi arsip sebagai sarana merawat ingatan. Kesadaran untuk mengumpulkan dokumen amat sangat diperlukan. Mengingat banyaknya kejadian penting yang terekam akan menjadi bukti bagi keberadaan seni di masa sekarang, sekaligus alat untuk mempelajarinya di masa depan. IVAA sudah melakukan gebrakan yang sangat luar biasa dalam menghimpun rekam jejak seni visual Indonesia. Pekerjaan arsiparis dirasa sungguh mulia dalam menyelamatkan sejarah. Jangan biarkan sejarah dimanipulasi pihak yang berkuasa. Akhir serta pendek kata, ars longa, vita brevis!
Artikel ini merupakan rubrik Sorotan Magang dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi November-Desember 2018.