Oleh Wahyu Siti Walimah dan Nur Rizki Aini (Kawan Magang IVAA)
Ketika bicara Yogyakarta, seolah belum sah jika belum bicara kesenian. Banyak seniman besar di Indonesia lahir dan bekerja di Yogyakarta. Banyak pameran seni rupa yang digelar di kota ini, baik dari yang kecil hingga yang berskala internasional. Begitu pula dengan para seniman dan karya-karya mereka, tak terhitung lagi jumlahnya. Namun, sayang sekali, Kota Yogyakarta tidak mempunyai sebuah museum khusus untuk memamerkan hasil karya-karya seniman. Oleh karena itu, para seniman memajang karyanya di studio mereka masing-masing.
Terkait dengan situasi yang tersebut di atas, ada seorang seniman berdarah Minangkabau bersama tiga orang temannya memiliki inisiatif untuk menjadikan kota Yogyakarta sebagai museum. Mereka berinisiasi membuat sebuah Event Organizer yang dinamakan PartNER Yogyakarta. Salah satu program yang dikerjakan oleh PartNER adalah Yogyakarta Open Studio (YOS) dengan alasan dasar bahwa studio seniman merupakan batu kunci infrastruktur seni di Yogyakarta, akan tetapi sebagian besar belum dijelajahi dan tidak didokumentasikan.
YOS merupakan salah satu program tahunan dari PartNER Yogyakarta yang digagas oleh Antena Project dan bekerja sama dengan OFCA International. YOS dibentuk pada 2013 dengan membuka studio-studio seniman dan menampilkan praktik studio kontemporer di Yogyakarta. Tujuan YOS adalah mendokumentasikan praktik studio, di mana studio merupakan soft institution yang dimiliki oleh seniman. Selain mendokumentasikan praktik tersebut YOS juga ingin sekaligus membaca dan membukanya kepada publik sebagai pengetahuan bersama, kemudian didiskusikan bersama dalam forum diskusi yang melibatkan narasumber dalam berbagai kapasitas.
Setiap tahun seniman yang berbasis di Yogyakarta diundang untuk membuka studio mereka kepada publik selama kurang lebih satu bulan dengan waktu yang telah ditentukan. Rata-rata studio yang diundang oleh YOS telah lolos proses kurasi dengan mempertimbangkan tema, peran dan fungsi studio itu sendiri, yang mana fungsinya lebih dari sebagai tempat berkarya. Sebagai contoh: Studio Kalahan yang menyediakan ruangan untuk publik dan seniman lain berpameran di sana; Studio Grafis Minggiran yang membuka kemungkinan kolaborasi dengan banyak seniman, berkegiatan bersama seperti pameran, workshop, dan sebagainnya; Studio Desrat Fianda yang menginisiasi berdirinya PartNER yang turut dalam pengembangan seni rupa di Yogyakarta; atau seperti studio Alfi yang menginisiasi SaRanG; dan studio lainnya. Selain peran dan fungsi studio, tema juga menjadi salah satu kriteria yang menentukan studio tersebut diundang dalam program YOS.
Edisi pertama program YOS 2013 mengusung tema “Peta Pergaulan”. YOS 2013 memfokuskan pada peta pergaulan Yogyakarta atau ‘peta asosiasi’ dengan membuka pintu studio seniman untuk umum dan menyoroti bagaimana praktik artistik seniman dan jaringan hubungan yang ada dan memperkuat komunitas seni. YOS 2013 berlangsung pada 10 November 2013-10 Januari 2014 dengan melibatkan 5 Studio, antara lain Black Goat Studios, PartNER, OFCA International, Studio Yunizar dan Studio Handiwirman.
Pada 2014 YOS kembali hadir dengan tema “Hubungan Internasional” dengan tujuan melihat perkembangan, praktik, dan realitas hubungan internasional untuk seniman yang berbasis di Yogyakarta. Pada tahun ini YOS memperluas jaringan bersama mitra organisasinya yakni Berlin Open Studio (BOS). YOS 2014 berlangsung pada 24 November-22 Desember 2014 dengan melibatkan 9 studio dan 40 seniman.
Pada tahun 2015 YOS mengangkat tema “Arsip”; tentang bagaimana seniman memperlakukan arsip, dan arsip tersebut sangat membantu untuk mengungkapkan berbagai cerita dalam sejarah seni rupa khususnya di Yogyakarta.
Ada beberapa acara pendukung lain di program YOS, seperti Artist Talk & Malam Kreatifitas, Presentasi Karya & Proses Dokumentasi Berkarya, Screening Talks, Demo Cetak Alugrafi, Performance Art, Menata Arsip Mahasiswa, dan masih banyak lagi. Dengan forum diskusinya, baik secara formal maupun informal, muncul pembicaraan tentang seni rupa secara lebih jauh berdasarkan tema-tema yang telah ditentukan. Kemudian diskusi tersebut diulik kembali, serta didalami, dan akhirnya menjadi tema untuk program YOS di tahun selanjutnya. Jadi pergantian tema di setiap program YOS adalah kelanjutan dari tema-tema sebelumnya.
Setelah berjalan dengan tema “Arsip” pada 2015, YOS kembali hadir pada 2016 dengan tema “Artist’s Engagement with Art History”. Tujuan dalam mengangkat tema ini adalah untuk mendukung pengembangan pengetahuan baru dan dokumentasi studio kontemporer, karena sebenarnya sejarah seni itu penting namun kerap diabaikan. Sama seperti di tahun sebelumnya, YOS kali ini juga memiliki program-program pendukung seperti Studio Tour yang dimulai dari galeri R.J Katamsi ISI menuju studio seniman peserta YOS, dan melakukan diskusi dengan tema “Materials and Form in Art Making”. Tujuan dari tour dan diskusi ini adalah untuk melihat bagaimana seniman menggunakan bahan tertentu dalam proses kreatifnya serta menghasilkan karya yang mengejutkan dan provokatif. Tour selanjutnya bertema “Forms and Images of Collaboration and Community” dengan mengajak publik untuk melihat bagaimana cara seniman berkolaborasi dengan seniman lain, mengenal media seni, dan proses kreatifnya. Selain itu, ada juga tour yang disediakan khusus untuk anak dan keluarga dengan sesi belajar membuat karya cetak timbul di Studio Grafis Minggiran.
Untuk YOS periode selanjutnya, ada pertimbangan khusus dari penyelenggara. Nissak Latifah menyatakan demikian,
“Setelah YOS secara annual berhasil mencapai empat kali penyelenggaraan (2013-2016), kami mempertimbangkan menyelenggarakannya setiap dua tahun sekali. Kemudian untuk memulai periode dua tahunan, kami berencana melakukannya di tahun 2018. Namun dari segi teknis dan beberapa pertimbangan, dimana kami mulai merencanakan mencari sponsor pendukung, menjelang pemilu, menjadi salah satu pertimbangan juga. Maka, kita undur setelah pemilu usai dan rencana akan dibuat bersamaan dengan agenda Biennale Jogja.”
Salah satu seniman yang berpartisipasi pada program YOS adalah Desrat Fianda. Ia merupakan salah satu seniman yang juga menginisiasi program YOS. Studio yang dimiliki oleh pria berdarah Minang ini juga diundang untuk berpartisipasi ke dalam YOS. Proses- proses yang ia alami pada awal mengikuti YOS yaitu mempresentasikan konsep apa yang akan dia buat pada studionya, karena YOS biasanya memiliki tema dan syarat-syarat tertentu. Seperti salah satu contoh pada YOS 2014, tentang relasi internasional, ada satu keharusan bagi para peserta YOS untuk mengundang minimal dua seniman dari luar negeri, untuk terlibat dalam kegiatan YOS. Karya seniman itu dipresentasikan di setiap studio yang mengundang mereka.
Bagi Desrat, berpartisipasi dalam program YOS merupakan kegiatan yang menyenangkan dan mempunyai konsep yang jelas sehingga membuka peluang pertemuan antara publik dan seniman secara langsung. Bukan bermaksud untuk bersaing dengan pameran di galeri-galeri, program-program YOS membuka peluang yang besar untuk menjalin kedekatan yang lebih intim. Desrat mengatakan, “YOS juga turut serta memperkuat Yogyakarta dalam menjalin hubungan secara Internasional”. Selain itu YOS juga berusaha menebalkan persahabatan antar seniman. Mereka sering bertemu dan berdiskusi tentang apa saja yang memiliki efek bagus. YOS juga menginspirasi banyak seniman untuk lebih aktif dalam memperlakukan studionya lebih dari sekedar tempat berkarya.
YOS berkomitmen untuk meningkatkan apresiasi dan pengetahuan publik terhadap kontribusi seniman pada masyarakat dengan cara memperlihatkan bagaimana praktik seniman yang berhubungan erat dengan peristiwa kontemporer dan infrastruktur global. Seniman yang berpartisipasi dapat langsung berbagi pengetahuan, tidak hanya tentang proses kreatif mereka, tetapi juga tentang strategi yang mengungkapkan aspek penting dari skema seni Yogyakarta sehingga pengunjung dapat mengeksplorasi bagaimana seniman menggunakan ruang mereka untuk membuat karya seni, membangun komunitas, menentukan peran mereka dalam wacana seni dan bernegosiasi dengan dunia luar. Akan tetapi sejauh apa kegiatan membuka studio ini bisa mendekatkan kesenian dengan publik? Atas nama kepentingan pasar atau edukasi? Pertanyaan tersebut agaknya bisa jadi bahan renungan kita bersama.
Rubrik ini merupakan rubrik Sorotan Dokumentasi dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi Maret-April 2019.