Pesantren Kali Opak, Klenggotan, Srimulyo, Piyungan, Bantul
Selasa, 20 Maret 2018
Pesantren Kali Opak, Klenggotan, Srimulyo, Piyungan, Bantul
Selasa, 20 Maret 2018
Oleh: Hardiwan Prayoga
Ngaji Dewa Ruci, adalah acara diskusi berkonsep sarasehan setiap Selasa malam di Pesantren Kali Opak, Klenggotan, Srimulyo, Piyungan, Bantul. Acara bertajuk “Ngaji” ini adalah diskusi ilmiah tentang persoalan yang bersinggungan dengan kajian budaya hingga pascakolonial. Tidak mengherankan jika tagline dari acara acara ini adalah “Mendialogkan Ilmu-Ilmu Pesantren, Kaweruh Jawa, dan Humaniora Barat”. “Pengajian” pertama 13 Maret 2018 dengan pembicara St. Sunardi dengan tema “Quo Vadis Kajian Budaya Indonesia?”, kemudian pada 20 Maret 2018 bersama Katrin Bandel dengan topik kajian “Kondisi Keterjajahan Kita Dewasa Ini”. Catatan berikut khusus mengulas tentang edisi diskusi bersama Katrin Bandel yang berbicara mengenai colonial present.
Katrin Bandel adalah salah satu pengajar di Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Karir akademiknya fokus pada kajian seputar pascakolonial, gender, dan kesusastraan. Diskusi malam itu berangkat dari pembacaan atas buku Derek Gregory yang berjudul The Colonial Present. Katrin mengawali dengan bagaimana kajian pascakolonial umumnya diajarkan, yaitu seputar bagaimana kolonialisme dan implikasi kolonialisme terhadap budaya. Tentang bagaimana hubungan yang tidak imbang antara negara-negara terjajah dengan negara penjajah, dengan imbas yang cukup panjang di sektor budaya dan ekonomi. Dalam buku The Colonial Present, ditemukan bahwa peristiwa 11 September (9/11) sebagai momen penting atas apa yang disebut sebagai kolonial atau imperialisme baru. Pasca 9/11 retorika dari Amerika Serikat terhadap negara-negara di kawasan Timur Tengah mulai digencarkan. Retorika ini disebut war on teror.
Menurut Gregory, tindakan menjajah, to colonize, masih terjadi dalam bentuk sangat nyata. Jadi bukan sekadar ideologi imperialis, tetapi memang penjajahan secara fisik masih terjadi. Gregory yang berlatar belakang pendidikan geografi, melihat bahwa batasan geografis bukan sesuatu yang terberi, melainkan berkaitan dengan bagaimana sebuah tempat diambil, yang tidak jarang dengan kekerasan. Salah satu konsepnya yang terpengaruh Edward Said adalah Imaginative Geography. Ini terkait dengan konstruksi stereotype, selalu dikonstruksi bahwa oposisi antara modernitas, yang dikaitkan dengan Barat (kolonial), dihadapkan dengan budaya liyan. Jadi narasi yang muncul selalu “kita vs mereka”. Wilayah-wilayah geografi ini dianggap sebagai papan catur, di mana orang harus berstrategi dengan mengambil, memasuki wilayah tertentu, menguasai manusianya. Gregory mengawalinya dengan melihat ke masa lalu, di mana batas negara selalu warisan kolonial, dan sebagian masalah yang ada sampai saat ini selalu berasal dari momen-momen awal itu. Masalah-masalah yang ada di saat ini sebenarnya berawal dari penarikan garis batas antar Negara, yang berawal dari hanya mengikuti kepentingan kolonial, bukan mengikuti realitas masyarakat setempat.
Barat selalu dikonstruksikan sebagai pusat dunia, dengan kata lain memposisikan diri sebagai pusat dunia yang harus membawa kemajuannya ke tempat-tempat lain. Sementara itu, salah satu spirit dari paskakolonial adalah bahwa masa lalu belum berlalu. Masa lalu yang belum berlalu ini selalu bersifat plural, dalam arti, ada sekian narasi tentang masa lalu. Sekian kejadian di masa lalu, dan pemahaman orang tentangnya kemudian hadir secara riil memengaruhi perilaku orang di masa kini. Wacana war on terror menjadi usaha baru untuk membuat sebuah narasi tunggal. Di mana otoritas untuk penarasi ada pada pihak tertentu. Dalam kasus pasca 9/11 adalah Amerika Serikat. Jadi ada persoalan penting yaitu narasi tentang geografi, tentang siapa kita-siapa mereka, siapa diri Barat, siapa Timur yang menjadi the Other, juga tentang masa lalu hingga masa kini, dan kemudian persoalan siapa yang punya otoritas untuk bercerita. Ini adalah persoalan relasi kuasa yang sangat penting. Sejak zaman kolonial hingga kini, ruang-ruang tertentu digambarkan/ diwacanakan sebagai asing. Di sini kemudian, Gregory merujuk konsep Edward Said tentang Orientalisme. Orientalisme adalah sebuah repertoar atas sekian imaji yang digunakan sesuai kebutuhan. Pada tingkat lebih lanjut menjadi bangunan arsitektur permusuhan yang performatif. Performatif dalam artian terus-menerus melalui praktik keseharian.
Gregory kemudian fokus membahas bentuk-bentuk awal wacana yang bereaksi terhadap 9/11 di Amerika. Dengan memposisikan diri sebagai korban, Amerika mengajukan pertanyaan, “Why do they hate us?”. Jawaban atas ini dicari pada mereka, pada the Other. Dalam wacana kolonial, selalu penjajah berbicara tentang the Other, yang dijajah, memandang yang lain, memutuskan atau memikirkan bagaimana the Other harus disikapi dengan pandangan yang sangat searah. Pada level selanjutnya, the Other dilihat bukan sebagai manusia dengan kompleksitas historis tertentu, tapi sebagai satu kesatuan yang buruk, yang seakan-akan seperti iblis. Retorika ini kemudian menjadi legitimasi kekejaman, hingga kemudian narasi retorika-retorika berikutnya selalu terasa masuk akal. Dari sekian banyak kelompok manusia dengan ideologi-ideologi yang berbeda, tujuannya berbeda, sejarahnya berbeda, semuanya oleh media Barat disebut sebagai “Islamis”.
Katrin kemudian menyinggung tentang konteks di Indonesia, di mana saat ini pembicaraan tentang ekstremisme cukup mengemuka. Sering kali ada diskusi publik tentang bahaya ekstremisme tidak secara spesifik membedakan antara sekian kelompok dan gejala terkait. Kelompok ini sebetulnya sangat beragam dengan sejarah dan tujuan masing-masing, yang juga berbeda-beda. Katrin mengungkapkan akan jauh lebih menarik kalau dalam hal ini Derek Gregory bisa dijadikan contoh, dengan melihat secara kritis fenomena-fenomena ini, dengan lebih spesifik melihat sejarah dan detail-detail orang/ kelompok yang terlibat di situ. Membaca aspek historisitas kecenderungan retorika masing-masing pelaku, sehingga bisa terlihat konstruksi apa yang sedang dibangun.
Artikel ini merupakan bagian dari Rubrik Sorotan Dokumentasi dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi Maret-April 2018.