Oleh Dwi Rahmanto
Bara Lapar Jadikan Palu, judul pameran Taring Padi (TP) yang cukup provokatif di antara sekian banyak pameran yang berseliweran di bulan-bulan ini. Pameran yang digagas oleh Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini merupakan rangkaian pameran yang menampilkan kelompok/komunitas seni di Indonesia, setelah sebelumnya menghadirkan Sanggar Bambu pada 7 Desember 2017 di tempat yang sama yakni Galeri RJ Katamsi Yogyakarta. Dalam sambutannya Arya Sucitra (Kepala Galeri Katamsi ISI Yogyakarta) menyebutkan beberapa unsur yang mendasari pemilihan Taring Padi, yaitu karya mereka teruji prestasi dan keilmuan, kemampuan komunitas berkontribusi secara akademik di medan seni rupa, dan kesesuaian dengan fungsi Galeri RJ Katamsi sebagai ruang transfer pengetahuan khususnya di ranah pendidikan.
Taring Padi, kelompok yang dibentuk pada 21 Desember 1998, sebagai sebuah organisasi budaya progresif, menetapkan bahwa tugas mereka adalah membangun kembali “Budaya Kerakyatan”, dan mengadvokasi siasat front bersatu dalam rangka mendorong perubahan demokratik yang berwatak populer di Indonesia. Mukadimah Taring Padi ditandatangani sejumlah aktivis budaya, mahasiswa, pekerja seni, dan pelukis otodidak. (https://www.taringpadi.com/)
Kembali ke judul pameran ini, dengan frasa ‘bara lapar’, saya jadi membayangkan gerakan 1998. Ketika mereka bersama anak-anak muda yang benar-benar haus atas nilai-nilai keadilan berhadapan dengan musuh bersama (Orde Baru), tidak sekali dua kali saja mereka terlibat aksi. Dengan memilih Lembaga Bantuan Hukum sebagai tempat mendeklarasikan diri, kehadiran Taring Padi menjadi satu tanda bahwa tarik-menarik antara pemerintah dan masyarakat sipil menjadi tanda perlawanan atas kegagalan rezim otoriter Orde Baru. Mereka tegas menggunakan istilah seni untuk rakyat dan menentang istilah seni untuk seni.
Banyak sekali aksi yang mereka rancang. Salah satu yang sering dilakukan adalah terlibat aktifnya mereka di dalam gerakan menurunkan Soeharto di sepanjang Malioboro dan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Aksi seni budaya dengan membuat propaganda visual berbentuk rontek, boneka, poster, wayang dan instalasi dengan kolaborasi bersama kawan-kawan aktivis memberi nilai dalam cara-cara menyuarakan pendapatnya.
Di pembukaan pameran ini saya sempat bertemu dengan Muhammad Yusuf dan Setu Legi sebagai anggota pendiri yang masih aktif sampai hari ini. Terkait tentang apa yang membuat Taring Padi sangat progresif di tahun itu, dengan sedikit berkelakar, dia menyebut bahwa di zaman itu memang kepentingannya tidak sebanyak sekarang. Bahwa kelompok ini hadir dengan ideologi yang sangat dipegang teguh, memilih di mana mereka harus bergerak, berani menolak yang berseberangan dengan ideologi mereka, dan pastinya para anak muda ini tidak terbanjiri kepentingan keluarga dan sosial media yang seperti sekarang ini menyibukkan orang-orang. Mungkin juga, Bara dan Lapar akan berbeda bunyinya ketika dikontekstualisasikan dengan jaman sekarang.
Di saat generasi pertama sudah cukup dengan pertarungan di dalam dirinya sendiri, pameran retrospektif Taring Padi ini dikelola oleh generasi kedua dari mereka. Masih dengan anak-anak muda yang mempunyai energi bara dan lapar, Taring Padi tetap menganut sistem keanggotaan terbuka yang prasyaratnya adalah komitmen terhadap garis kerakyatan seperti sejak awal mereka berdiri. Merujuk kepada Bayu Widodo, Fitri DK dengan Survive Garage-nya, pameran 20 Tahun Taring Padi ini menjadi penanda pergeseran dan perubahan kepentingan para anggota di dalamnya. Meski demikian, mereka tetap menawarkan isu-isu kerakyataan di dalam kesenian sampai saat ini.
Seorang pematung Dolorosa Sinaga dalam sambutannya menyebutkan bahwa Taring Padi merupakan contoh bagaimana sebuah kelompok yang menajamkan wilayah seni rupa ke ‘seni politik’ menjadi inspirasi bagi banyak kelompok seniman di luar Yogyakarta dengan serangkaian isu kemanusiaan. Disposisi semacam ini dilakukan sejak sebelum dan pasca reformasi. Dolorosa merupakan satu dari sekian orang yang ikut menyaksikan deklarasi TP 20 tahun yang lalu.
Indonesia sendiri mengalami banyak periode gerakan di ranah visual. Peristiwa Desember Hitam (1974), pameran Kepribadian APA (1975, 1979), dan Gerakan Seni Rupa Baru (1975-1979) adalah sebagian dari aksi-aksi ketidakpuasan paling fenomenal yang tercatat dalam sejarah seni rupa Indonesia era 1970-an. Ketiganya bisa dibilang sebagai upaya mengembalikan muatan sosial-politik ke dalam seni rupa, sekaligus memperluas “kemungkinan berkarya” dengan merontokkan sekat-sekat kategoris dalam seni rupa Indonesia selama ini (http://archive.ivaa-online.org/khazanahs/detail/3878). Taring Padi merupakan generasi selanjutnya yang punya metode sendiri dalam membicarakan isu sosial politik di Indonesia sebelum reformasi dan sesudah reformasi.
Pameran Taring Padi ini dibagi menjadi dua lantai. Di lantai bawah mereka menampilkan karya-karya poster, banner, dsb yang menjadi saksi kehadiran mereka di gerakan seni dan budaya. Di lantai ini kita akan dituntun untuk menyaksikan propaganda-propaganda menarik yang dikerjakan secara kolektif. Ada satu ruangan khusus yang didedikasikan untuk Eks Presiden Taring Padi, yakni Almarhum Yustoni Volunteero.
Kemudian di lantai atas merupakan karya baru kolaborasi mereka, menampilkan arsip-arsip sebagai bagian dari pameran. Arsip-arsip ini menjadi bagian penting dari sejarah panjang kelompok ini. Bambang Toko sebagai kurator menyebut bahwa karya dan arsip yang dipamerkan sangat fungsional dan menjadi refleksi Taring Padi. Juga, kita bisa tahu bagaimana isu kerakyatan dan sepenggal situasi sosial politik Indonesia selama 20 tahun disampaikan secara visual.
Pameran ini mungkin bisa menjadi pemantik atau palu bagi Taring padi sendiri dan kawan kawan yang bergerak di isu sosial politik. Setiap zaman pasti berbeda dan akan memberikan tantangan lain dalam gerakan sosial politik dan seni rupa secara spesifik. Akan ada banyak metode gerakan/ aktivisme yang bisa dipelajari, dan tentunya harus mengarah pada capaian-capaian yang nyata di masyarakat. Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa pameran ini menjadi bagian dari pembelajaran bersama merenungkan daya yang bisa merubah bara lapar menjadi palu.
Artikel ini merupakan rubrik Sorotan Dokumentasi dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi November-Desember 2018.