Oleh Dwi Rahmanto dan Rully Adhi Perdana
Ketika menelisik koleksi arsip IVAA, kami menemukan berbagai koleksi perihal keberadaan Pelukis Rakyat. Pada bagian arsip baik offline maupun online, ada berbagai khazanah dan foto karya yang memperlihatkan ragam aktivitas pelukis rakyat. Aktivitas mereka selama di studio/ sanggar yang berhasil kami temukan dokumennya ialah ketika membuat karya baik lukisan maupun patung, juga ketika menerima kunjungan Presiden Sukarno. Dokumen tersebut dapat diakses pada tautan arsip online IVAA ini.
Berdasarkan pengamatan arsip tersebut, kami mendapat kesempatan untuk berkunjung ke rumah Mikke Susanto di daerah Jalan Godean guna mencari tahu lebih dalam mengenai kelompok ini. Sebelumnya, kami menemukan beberapa buku yang dapat dijadikan rujukan dalam penelusuran Pelukis Rakyat, yaitu buku Seniman Pejuang oleh Edhi Sunarso, S. Sudjojono, dan Affandi.
14 Juni 2019, sekitar jam 10 pagi, kami meluncur ke rumah Mikke Susanto. Di sana, kami disambut oleh Bintang, anak lelakinya. Obrolan ringan sekaligus silaturahmi Idul Fitri membuat suasana menjadi lebih hangat. Atmosfer Jalan Godean yang sejuk dan masih dikelilingi persawahan membuat kami dapat menelusuri ruang arsip beliau secara asyik. Dari catatan Mikke, kami akhirnya mendapatkan katalog dengan judul Pameran Sketsa: Testimoni Enam Pelukis Rakyat (sebuah katalog pameran yang diadakan di Mien Gallery Yogyakarta pada 24 Agustus – 14 September 2002).
Kami ingin menelisik bagaimana transfer pengetahuan dilakukan oleh Pelukis Rakyat di tahun 40-an. Metode apa yang digunakan? Kegelisahan apa yang muncul di dalam sanggar atau kegelisahan apa yang dimiliki oleh masing-masing seniman? Bagaimana cara para seniman mendapatkan dan mengelola referensi pengetahuan? Politik apa yang hadir di kontestasi seni pada kurun waktu tersebut?
Seniman Indonesia Muda dan Sanggar Pelukis Rakyat
Pelukis Rakyat adalah sebuah kelompok yang berdiri pada tahun 1947 yang didirikan oleh Affandi dan Hendra Gunawan sebagai bentuk pecahan dari organisasi yang sudah ada sebelumnya, yaitu SIM (Seniman Indonesia Muda) yang dipimpin S. Sudjojono. Pelukis Rakyat berdiri bersamaan dengan hijrahnya pengikut setia Republik Indonesia ke Yogyakarta. Perpecahan dalam SIM yang melahirkan Pelukis Rakyat ini disebabkan oleh ketidaksetujuan antara Sudjojono dan Hendra atas cara pembagian subsidi bulanan dari pemerintah oleh asosiasi. Rupanya Sudjojono menekankan pada pengelolaan para anggota SIM atas dasar jasa. Ia membagi pengelompokan menjadi empat kelas.
Dalam rapat SIM di Solo awal 1947, salah satu topik yang dibahas adalah pembagian tunjangan keuangan untuk setiap kelas seniman. Tunjangan diberikan setiap bulan dengan besaran Rp 167,50 (masih menggunakan rupiah ORI – Oeang Repoeblik Indonesia) untuk seniman kelas I; seniman kelas II Rp 137,50; seniman kelas III Rp 100,00, dan Rp 60,00 untuk seniman kader. Keputusan tersebut menghasilkan pro-kontra. Setelah beberapa bulan, beberapa anggota SIM Yogyakarta yaitu Affandi, Hendra, dan beberapa seniman lainnya mengusulkan supaya tunjangan untuk seniman dibagi rata dan untuk itu tingkat kelas seniman dihapuskan. Usul tersebut ditolak. Sebagai reaksi atas penolakan tersebut, Affandi, Hendra, dan kawan-kawan lain keluar dari SIM dan membentuk organisasi baru bernama Pelukis Rakyat.
Dalam kesaksian Edhi Sunarso maupun Fadjar Sidik yang juga anggota kelompok Pelukis Rakyat, kelompok tersebut terbuka bagi seluruh kalangan yang berkeinginan untuk belajar seni rupa, khususnya seni lukis dan patung. Karena asas keterbukaan tersebut, perkara keanggotaan terkesan tanpa legalitas formal yang sangat ketat. Semuanya berjalan tanpa birokrasi yang berbelit. Mereka yang kerap bekerja dan tinggal di rumah yang dianggap sebagai markas dan sanggar Pelukis Rakyat adalah anggota.
Proses pembelajaran yang dilakukan oleh Pelukis Rakyat adalah sistem sanggar yang sangat terbuka untuk terjadi dialog dan proses berkarya sepanjang waktu dan kondisi. Proses kritik karya yang dilakukan pun sangat tidak bergantung pada situasi, kapan, dan di mana. Usaha dalam rangka berkarya terjadi sedemikian bebas, membuat sistem pembelajaran sanggar menjadi sangat berguna. Para seniman banyak yang keluar untuk membuat karya sketsa, lukis, bahkan patung. Untuk membuat sketsa, para pelukis kerap pergi ke luar secara sendiri maupun berkelompok. Mereka mendatangi pasar, persawahan, rumah tetangga, sudut-sudut jalan, pinggir sungai, serta wilayah di luar kota Yogyakarta. Seringkali mereka berjalan ke gunung dan pantai untuk sekadar mencatat pemandangan alam. Mereka juga banyak mengupas pengamatannya menjadi karya potret. Sementara itu, studi telanjang, walaupun tidak pernah nampak, sesekali juga pernah dilakukan dengan membayar model Rp 5.000 dari pagi hingga pukul 14.00.
Sketsa tidak dianggap sebagai karya kelas dua, karena pada saat itu keterbatasan bahan dan alat sangat menghantui, sehingga sketsa menjadi “pelarian” utama selain mematung dengan bahan batu. Selain itu, sketsa menjadi karya yang menghilangkan dikotomi pematung dengan pelukis, karena nyaris semua anggota Pelukis Rakyat memiliki tradisi sketsa yang sangat kuat. Untuk itulah sketsa dalam hal ini menjadi penting dan sebagai bagian dari testimoni sebuah aktivitas kelompok pada zamannya. Mereka banyak menghasilkan karya sketsa untuk mengambil aktivitas di luar sanggar, seperti di alun-alun, Pasar Sentul, Beringharjo, pasar hewan, dan tempat lainnya.
Anggota Pelukis Rakyat yang telah tercatat antara lain: Affandi, Hendra Gunawan, Trubus, Soedarso, Rustamadji, Abas Alibasyah, Kusnadi (hanya sebentar), Setjojoso, Soediardjo, Nasir Bondan, C.J. Ali, Sayono, Edhi Sunarso, Djoni Trisno, Soetopo, Widjojokusumo, Permadi Lyosta, Chairul Bahri, Yuski Hakim, Martian Sagara, Trisno Sjawal, Fadjar Sidik, A. Rahmad (Samson), Ramli, Hutomo, Batara Lubis, Itji Tarmizi, Kristofer Latuputi, Asmun, dan Sahit. Mereka sesungguhnya belum tentu saling mengenal, atau dengan kata lain mereka tidak nampak akrab karena mungkin persoalan latar belakang keluar-masuknya anggota dalam tahun yang berbeda, latar belakang sosial budaya, dan kadang perbedaan ideologi yang dinamis. Terbukti seusai Hendra pulang ke Bandung, anggota Pelukis Rakyat sepertinya tidak memiliki pegangan ideologi politik yang solid. Mereka cenderung bebas memilih, belajar dan membawa ideologi politiknya dalam sanggar tersebut.
Ide-ide meleburkan seni dan masyarakat pada Pelukis Rakyat salah satunya bisa kita temukan di cerita saat Presiden Sukarno ingin merayakan ulang tahun pertama kemerdekaan Indonesia dengan pesta seni lukis. Dia meminta pelukis Hendra Gunawan mengadakan pameran tunggal. Pameran dihelat di gedung Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) Jalan Malioboro, Yogyakarta. Di luar protokoler, Hendra diam-diam mengumpulkan gelandangan dengan penampilan kere untuk menjadi tuan rumah pameran. Protokol presiden menolak ide itu. Hendra bergeming. Saat pameran dibuka, Sukarno disambut para gelandangan. Sukarno terkejut, tetapi ia mengangguk dan memeluk Hendra. “Setiap orang berhak melihat lukisan saya. Dan saya berhak memperkenalkan karya-karya saya kepada siapa saja,” kata Hendra (disunting dari buku Bukit-bukit Perhatian: Dari Seniman Politik, Lukisan Palsu sampai Kosmologi Bung Karno karya Agus Dermawan T.)
Sanggar Pelukis Rakyat dan ASRI
Pelukis Rakyat didirikan oleh Hendra Gunawan dan Affandi tahun 1947. Saat itu mereka menempati sebuah rumah di Jalan Sentul No.1, Yogyakarta, dan belakangan disebut sebagai asrama. Di tahun yang tidak jauh beda pada 15 Januari 1950 Akademi Seni Rupa Indonesia juga didirikan satu kilo jaraknya dari Sanggar Pelukis Rakyat. ASRI berdiri atas dasar surat Keputusan Menteri PP (Pengajar Pendidikan) dan K (Kebudayaan) no. 32/Kebud., tanggal 15 Desember 1949. Peresmiannya dilakukan pada tanggal 15 Januari 1950 oleh Menteri PP dan K saat itu, yaitu S. Mangunsarkoro di Bangsal Kepatihan Yogyakarta, dengan mengangkat direktur pertamanya RJ. Katamsi. Bidang pendidikan seni yang diselenggarakan ASRI pada saat itu adalah Seni Lukis, Seni Patung, Seni Pertukangan, dan ”Redig” singkatan dari Reklame, Dekorasi, Ilustrasi Grafik, disusul dengan Jurusan Guru Menggambar.
Di awal berdirinya ASRI serba dalam kondisi darurat, belum memiliki satu kampus yang terpadu. Pendidikan dilaksanakan di banyak tempat. Gedung Pusat Tenaga Pelukis Indonesia (PTPI) Yogyakarta difungsikan sebagai kantor pusat, tempat kuliah, dan studio Bagian I/II. SMA/B Kota Baru dan rumah RJ. Katamsi di Gondolayu untuk studio Bagian IV dan V. Bekas gedung Kunst Ambachschool di Ngabean dan Bintaran untuk studio Bagian III (info https://isi.ac.id/program/sarjana/seni-rupa/_). Hal yang menarik dari masa tersebut adalah banyak seniman yang mengajar di ASRI juga menjadi anggota Pelukis Rakyat. Mereka diantaranya adalah Batara Lubis, Abas Alibasyah, Edhi Sunarso, Soetopo, Affandi, Fajar Sidik.
Keterikatan antara dua lembaga formal dan non formal ini sangat dirasakan oleh Edhi Sunarso. Setelah aksi militer Belanda selesai dan ibu kota kembali ke Jakarta, Edhi memutuskan untuk tinggal di Yogyakarta. Ia sering ikut nimbrung menggambar bersama para mahasiswa ASRI. Beliau kemudian diajak Hendra Gunawan untuk terlibat menjadi mahasiswa pendengar, yang boleh ikut praktek, tapi tidak belajar teori. Diam-diam Edhi mendalami teori seni dengan menyalin catatan kuliah mahasiswa lain. Berkat bantuan Hendra dan pelukis Affandi, ia akhirnya diterima sebagai mahasiswa penuh dan lulus sebagai sarjana terbaik 3 tahun kemudian.
Kesenimanan Edhi makin terasah setelah dia bergabung dengan sanggar Pelukis Rakyat pimpinan Hendra, yang beranggotakan Trubus, Affandi, C.Y. Ali, Sucahyoso, Abbas Alibasyah, dan Rustamadji. Sanggar yang cenderung beraliran realisme sosial itu kemudian bereksperimen membuat patung dari batu vulkanik dengan teknik yang sangat sederhana setelah belajar dari pemahat batu nisan di lereng Gunung Merapi. Hasilnya, termasuk karya patung Edhi yang berjudul Kelaparan, dipamerkan di halaman Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di Jalan Malioboro dan menjadi pameran patung modern pertama dan terlama di Indonesia karena masih ada hingga kini (catatan https://nasional.tempo.co).
Dari kisah Edhi Soenarso tersebut bisa ditarik suatu gambaran kasar bahwa kemampuan teknis seniman di Yogyakarta memang tidak lepas dari peran sanggar. Seolah Yogyakarta menemukan cara dan citra sendiri dalam membuat karya, seperti sketsa yang sangat berbeda dengan lembaga serupa di tempat lain. Tidak hanya di seni rupa Yogyakarta. Dalam tulisan Nuraini Juliastiuti (http://sekolah.kunci.or.id) disebutkan bahwa irisan kuat antara sanggar dan Institut Kesenian Jakarta. Irisan itu berwujud perdebatan dua kelompok mengenai sanggar yang diartikulasikan Nashar melalui Surat Malam di kumpulan memoarnya pada kisaran 1970. Kelompok pertama berusaha menciptakan lingkungan akademis yang lebih rigid untuk siswa. Dengan menekankan pendekatan sanggar, Nashar berargumen bahwa aspek formal dalam institusi pendidikan cenderung menciptakan struktur yang melemahkan kapasitas kreatif para siswa. Nashar dan Oesman Effendi adalah dua pengajar di institut tersebut yang berupaya menggabungkan pendekatan sanggar dengan pendidikan seni formal.
Transfer pengetahuan yang terjadi di sanggar memang menarik. Seniman bisa melakukan praktik keseniannya dengan cara apapun. Meski demikian, sanggar tentu tidak lepas dari politik kontestasi seni; selalu tarik-menarik dengan domain formal yang kadang di satu sisi justru menciptakan formalisasi aspek informal sanggar.
*Foto-foto dalam artikel ini merupakan arsip milik Mikke Susanto
Artikel ini merupakan rubrik Sorotan Dokumentasi dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi Mei-Juni 2019.