Oleh Lisistrata Lusandiana dan Krisnawan Wisnu Adi
Semakin ke sini, ingatan menjadi semakin berharga tapi juga semakin sulit dikelola. Percepatan dunia yang dimulai oleh revolusi digital seolah membuat kita semakin gelagapan berurusan dengan ingatan, kesenian, dan bahkan peristiwa. Harapan banyak orang bahwa era teknologi digital dapat mengabadikan banyak hal di ‘ruang angkasa’, beriringan dengan potensi hilangnya ingatan di belantara data, atau paling tidak tersesat atau keracunan di dalamnya. Itulah tantangan pengarsipan sekarang.
Tantangan macam itu semakin dipertegas oleh kehadiran pandemi saat ini. Arus dunia digital makin dipercepat ketika ‘jaga jarak’ menjadi kebiasaan. Interaksi virtual menjadi kebutuhan yang membludak. Segala cara hidup beserta perspektifnya seolah sedang diombang-ambing di atas tanah yang bergeser tanpa bisa kita raba dengan jelas arahnya.
International Council on Archives (ICA) mendeklarasikan pentingnya pengarsipan di tengah situasi pandemi. Bahwa tugas untuk mendokumentasikan tidak berhenti semasa krisis. Kehadirannya justru jadi lebih penting sebagai sumber historis untuk melihat lagi bagaimana negara, masyarakat dan komunitas internasional menghadapi krisis. Mengafirmasi pernyataan UNESCO, mengubah ancaman Covid-19 menjadi peluang untuk pendokumentasian, karena arsip adalah sumber terpercaya untuk menjamin keamanan dan transparansi administratif. Lebih spesifik, arsip dan manajemennya menjadi elemen kunci untuk memenuhi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2030 dalam kaitannya dengan akses informasi.
Pernyataan ICA terkait peran pengarsipan di tengah pandemi yang menjadi lebih penting dan mendesak tersebut, tentu saja tidak salah. Tetapi tidak bisa begitu saja kita terima mentah-mentah. Dalam pernyataannya, ICA lebih banyak didorong oleh kepentingan-kepentingan di sekitar perwujudan tata kelola pemerintah transparan, terbuka dan terukur. Karena hal-hal itulah yang menjadi prasyarat demokrasi. Singkat kata, pengarsipan untuk mendorong praktik good governance. Di Indonesia, perihal ini juga cukup konkret, bisa terlihat dari sengkarut penyaluran bantuan. Akan tetapi, yang menjadi tantangan saat ini yaitu bahwa kita juga perlu menempatkan urgensi pengarsipan, tidak hanya di hadapan kepentingan good governance. Tantangan kita saat ini ialah menempatkan urgensi pengarsipan di atas tanah kebudayaan.
Kebutuhan merekam peristiwa juga muncul untuk kepentingan nilai kesejarahan dalam koridor disiplin ilmu. A Journal of the Plague Year dari School of Historical, Philosophical and Religious Studies, Arizona State University, melalui laman Share Your Story, mengundang publik untuk mengirimkan arsip mereka yang berkaitan dengan pandemi dalam format digital. Dengan mengantongi keyakinan bahwa penting untuk membayangkan apa yang bisa ditulis oleh para sejarawan mendatang mengenai pandemi, arsip sudah sedari lahir diciptakan untuk kepentingan historis. Orientasi partisipasi publik dengan pandangan sejarah masa kini (history of the present) menjadi kecenderungan yang semakin dipertegas di masa pandemi ini.
Tidak hanya dilakukan oleh institusi-institusi formal dan melulu berorientasi administratif serta historis, inisiatif pendokumentasian juga dilakukan oleh individu dengan orientasi personal, sepersonal bercerita layaknya kultur sosial media. Rebecca A. Adelman melalui Coronavirus Lost and Found: A Pandemic Archive, mencoba mengundang publik untuk membagikan cerita tentang apa yang hilang dan lahir sebagai habitus baru. Inisiatif ini ia lakukan atas dasar ketertarikannya terhadap peran emosi dalam situasi penderitaan dan bertahan hidup. Selain itu, ada juga betweenyounme.nl oleh Mirjam Linschooten. Melalui laman ini, Mirjam mengajak publik untuk membagikan cerita tentang perubahan objek (personal) apa yang terjadi ketika pandemi. Perhatian atas inisiatif pengarsipan secara individual ini muncul atas dasar kebutuhan orang untuk berbagi cerita, dan/ atau impresi personal.
Sembari terus berusaha mewujudkannya, kami percaya bahwa pengarsipan harus selalu kontekstual. Ketika semua praktik seni bergeser karena pandemi, kami mencoba untuk merekamnya. Tentu saja tidak mudah untuk merekam praktik-praktik seni-budaya yang bergeser ini, ketika hampir semua mendadak virtual. Akses memang mudah, tetapi agresivitas informasi tak bisa dihiraukan. Oleh karena itu, perlu kami akui bahwa bukan keutuhan dan kemapanan catatan peristiwa yang kami sasar, melainkan tangkapan atomistik tentang bagaimana ekosistem seni-budaya bertarung dengan keadaan, yang mungkin dapat menjadi kontribusi refleksi serta produksi pengetahuan kini dan kelak.
Dari data-data yang kami kumpulkan, baik itu dari media massa, publikasi sosial media, hibah arsip dari publik, webinar, dan sedikit wawancara, ada tiga klaster yang kami tawarkan kepada publik sebagai bingkai. Pertama, Semesta Bertahan: praktik-praktik bertahan hidup yang dilakukan oleh para pegiat seni-budaya, seperti solidaritas pangan, pameran merespon pandemi secara tematik untuk kepentingan kekaryaan dan donasi, advokasi dan kerumitannya, serta bursa dan arisan karya. Kedua, Olah-alih Medium dan Kajian: beberapa pameran yang beradaptasi menggunakan platform digital serta pembicaraan di seputar itu. Ketiga, Potret Pustaka: tentang bagaimana dunia literasi berdinamika di saat pandemi.
Pengarsipan yang kami lakukan tentu tidak bisa menjadi acuan tunggal untuk melihat dinamika ekosistem seni-budaya semasa pandemi. Meski demikian, paling tidak kami mencoba untuk meraba wajah praktik seni-budaya, terutama dari tradisi seni visual yang juga sedang berupaya beradaptasi dan mempertahankan nafasnya.
Pengarsipan tidak hanya menjadi penting di atas tanah yang sedang bergeser. Bahwa sesungguhnya, ingatan akan selalu memiliki urgensinya ketika manusia belum punah. Tanpa menunggu pandemi, ingatan selalu menyimpan kenyataan bahwa kita selalu hidup di tengah bayang-bayang krisis. Kerentanan kita di kala pandemi justru menunjukkan bahwa mungkin kita selalu menyangkal, mengabsenkan keterdesakan untuk keterdesakan lain yang tidak jarang hadir dari luar. Merekam ingatan dan peristiwa di masa pandemi setidaknya menjadi titik bagi kita untuk mengakui kerentanan dan memikirkan ulang segala keterdesakan; menilik kembali segala pembicaraan dan praktik seni, bahkan persoalan-persoalan fundamental seperti ritme dan cara hidup yang sedang bergeser ini.
Untuk melihat sebaran data Semesta Bertahan, silakan klik link checklist ini.
Artikel ini merupakan rubrik Sorotan Dokumentasi dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi Mei-Juni 2020.