Oleh Rully Adhi Perdana dan Esha Jain (Kawan Magang IVAA)
Berikut adalah hasil wawancara yang dilakukan oleh kawan magang IVAA, Rully dan Esha, bersama Hasan Basri mengenai Kelas Suluk Kebudayaan. Kelas Suluk Kebudayaan merupakan sebuah kegiatan belajar gagasan dan praktik ‘suluk’ dalam ajaran Islam bagi generasi muda. Selain sebagai respon atas gerakan Islam ultra-kanan, kelas ini menjadi ruang kebudayaan untuk membangunkan kembali sensibilitas atas tasawuf, sebuah tradisi mistisisme Islam yang telah lama terputus secara intelektual.
Apa itu suluk?
Suluk memiliki banyak pengertian. Untuk mengenal suluk, pintu masuknya dapat melalui kajian tasawuf (kajian tentang aspek-aspek batiniah atau rohaniah dalam Islam). Sebab dalam komponen ilmu keislaman terdapat ilmu bahasa (aspek gramatikal, leksikal, hingga sastra), ilmu hukum/ fiqih, filsafat Islam, hingga yang terakhir ilmu tasawuf. Suluk berasal dari kata ‘salakah’ yang artinya ‘berjalan’. Dalam dunia tasawuf, terdapat pemahaman bahwa ada ilmu yang dapat diterima sebagai hasil proses belajar dan ada ilmu yang diterima karena diamalkan/dijalankan (tanpa melalui pengamalan, seseorang tidak akan mendapatkan hal-hal baru dan tambahan pengetahuan). Menurut Nancy Florida, istilah ‘ilmu suluk’ diadopsi di Jawa, karena terkait dengan genre dalam sastra Jawa. Selain babad dan serat, suluk menjadi salah satu karya sastra Jawa yang lahir dari pesantren. Karena suluk erat kaitannya dengan tasawuf dan mistisisme Islam, suluk sudah pasti berbicara tentang mistisisme Jawa-Islam serta ajaran rohani.
Selanjutnya, yang disebut ‘ilmu’ dalam Bahasa Jawa adalah ilmu yang dikerjakan (ngelmu iku kalakone kanthi laku), sehingga orang yang berilmu adalah orang yang pengetahuannya bersenyawa dengan tindakannya. Harapannya, tingkatan ilmu pengetahuan dan ilmu tindakan berada pada taraf yang sama. Sayangnya, banyak orang yang lebih tahu aspek teoritik, tapi belum tentu mempraktikkannya.
Suluk terdiri dari satu komponen pengetahuan yang stabil, memiliki rujukan intelektual yang dapat diakses oleh orang yang mempelajarinya, dan rujukan tersebut telah mendapat pengakuan terkait bobot intelektualitas dan status mistiknya oleh umat Islam. Karena ada rujukan yang bersifat otoritatif, yang terjadi selanjutnya ialah pola praktik cara mengajar suluk. Seorang salik (orang yang melakukan suluk) pada tahap awal belajar tahap-tahap intelektualitas seperti kecakapan berbahasa, penguasaan pranata sastra, serta akhlak formal (bagaimana bertindak, bersikap pada orang lain, dan memiliki pandangan terhadap alam). Selanjutnya, para salik dibimbing dalam ajaran rohani secara ketat oleh para sufi atau wali. Konon, jika seorang salik belum mendapat pencerahan, ia tidak akan dibiarkan keluar dari pesantren sehingga tetap berada di bawah bimbingan gurunya.
Pada akhir abad kesembilan belas, menjelang berakhirnya masa kolonialisme, hampir seluruh kelompok umat Islam (kalangan Sunni maupun di luar kelompok tersebut) memiliki perubahan pandangan terhadap dunia tasawuf. Salah satu yang Hasan ketahui datanya adalah secara kelompok/ kolektif, hanya Nahdlatul Ulama (NU) yang mengakui mistisisme Islam (suluk dan tasawuf), sementara kelompok lain menganggap tasawuf adalah komponen asing yang pernah masuk dalam ajaran Islam sehingga harus dibuang. Maka praktis timbul perbedaan pada akhir abad 19 antara kelompok Islam yang mengakui tasawuf dan anti tasawuf. Itulah sebabnya kelompok baru (ultra-nasional) dalam konteks Islam pasti tidak akan mau menyentuh tasawuf/ suluk. NU pada waktu itu tidak hanya memberi respons atas apa yang terjadi di dunia internasional, tetapi NU juga punya kepentingan untuk menyambungkan diri dengan tradisi Islam sebelumnya (misalnya Wali Sanga).
Akibat adanya kolonialisme, sebagian masyarakat terputus dengan tradisi secara intelektual, tetapi tidak terputus secara praktik karena masih memiliki tradisi untuk menyambungkan diri dengan masa lalu. NU melakukannya dengan cara menegaskan bahwa tasawuf tetap bagian terpenting dari keber-Islam-an minimal dua arah: sebagai jawaban pada apa yang terjadi dengan umat Islam saat itu, dan upaya orang NU untuk bercakap dengan tradisi sebelumnya.
Seperti yang kita ketahui, Islam di Indonesia persis dengan klaim orang Pakistan atau Muslim di India bahwa mereka datang dengan membawa mistisisme, sehingga dapat diterima oleh masyarakat setempat. Sama seperti Indonesia, Islam selalu disebut (walau sering mendapat perdebatan oleh banyak kalangan) datang ke Indonesia dengan langgam mistik sehingga dapat lebih toleran terhadap perbedaan, dapat menerima orang lain, karena dalam mistisisme pada puncaknya tidak ada ‘othering’ (yang lain; liyan). Sehingga, jika ingin mencari bentuk toleransi dan sikap moderat pada Islam harus melalui tasawuf. Jika tidak pernah menyentuh tasawuf, maka kita akan dibayangi dengan wajah Islam yang garang, Islam yang marah, dsb.
Lalu, bagaimana dengan Kelas Suluk Kebudayaan?
Kata ‘suluk’ yang digunakan pada Kelas Suluk Kebudayaan memiliki makna yang berbeda. Secara umum, pada masa pendudukan kolonial di Indonesia, para salik melakukan resistensi terhadap kaum penjajah, sehingga pihak Belanda berusaha keras untuk mematikan gerakan tersebut dengan cara mendorong umat islam (sebagai komponen terbesar masyarakat nusantara pada saat itu) untuk beralih ke ranah fiqih yang bersifat formal dan semakin menjauh dari dunia mistik. Sebagai akibat dari strategi Belanda tersebut, hingga saat ini mistisisme Jawa selalu dianggap sebagai anti Islam, sedangkan Hasan yang hidup di dunia pesantren tidak pernah membedakan antara mistisisme Jawa dan mistisme Arab karena keduanya memiliki kekayaan mistik yang luar biasa.
Kelas Suluk Kebudayaan (yang disusun oleh Hasan Basri, Jumadil Alfi, Irfan Afifi, dan Bagus Pradana) mencoba menyusun program untuk membuat serangkaian diskusi intensif dengan tema seputar Islam, Indonesia, dan keberagaman. Hasan dengan beberapa teman dari pesantren yang ada di Yogyakarta sudah lama membuat beberapa kelas dan sejumlah komunitas yang terkait dengan pengembangan kualitas. Inisiatif untuk membuat kelas tersebut timbul karena sudah banyak perubahan yang terjadi di lingkup pengalaman dan kebutuhan generasi muda terhadap ruang diskusi yang lebih terbuka. Kelas-kelas yang bersifat memberikan ruang diskusi tentang hal yang elemental terkait pengembangan intelektualitas. Sebagai dasar, Hasan dan rekannya memberikan kelas menulis, lalu menawarkan tema sesuai minat wacana setiap peserta. Apabila ada peserta yang memiliki minat di luar kapasitas Hasan, biasanya akan disarankan untuk belajar kepada sumber yang kompeten di bidangnya.
Pada bulan puasa tahun 2018, Irfan selalu mengadakan acara yang rutin membahas beberapa aspek Jawa atau naskah tasawuf yang dibaca dalam konteks Jawa, dengan mengundang teman yang memiliki pergulatan mendalam tentang tema tertentu. Irfan, Hasan, dan rekan lainnya yang lama bergulat tentang hal-hal tersebut menangkap ada celah bahwa wacana ‘tasawuf’ sulit diterima kelompok kajian arus utama, karena kelompok tersebut mempelajari Islam statis yang ilmunya datang dari dunia Barat. Unsur-unsur lokal seperti filosofi Jawa, sastra Jawa, bahkan memahami praktik tradisi Islam di Jawa yang sebenarnya memiliki sumbangan yang sangat besar terhadap praktik keislaman sebagian besar umat Islam, saat ini tidak mendapat banyak tempat.
Sebenarnya, banyak teman yang bergulat serius secara intelektual untuk menulis tema tertentu yang terkait dengan Jawa. Akan tetapi, ada kendala ketika membahas Jawa dan menyampaikannya secara diskursif kepada golongan muda. Pertama, sebagai orang Indonesia modern, kita lahir, tumbuh, dan hidup dalam basis epistemologi yang jamak. Sehingga, Irfan dan rekannya harus menghidupkan aspek tradisi melalui medium yang tetap menggunakan diskursus modern. Kedua, seringkali pembicaraan tentang tradisi Indonesia dilakukan dengan mengabaikan batas, sehingga ketika ahli menyampaikan gagasannya, arah pembicaraan menjadi tidak terarah. Berdasarkan pengalaman tersebut, Kelas Suluk Kebudayaan selalu mengambil tema spesifik. Selain adanya batas tentang tema yang diambil, ada pula basis pertanggungjawaban berupa tulisan (makalah), biasanya sekitar 15 halaman.
Pada seri Suluk Kebudayaan pertama, Hasan mendapat tema tentang ajaran Wujudiyah di Pulau Lombok. Wujudiyah adalah salah satu aliran atau ajaran terinti dari dunia suluk yang memandang bahwa segala sesuatu yang kita lihat, termasuk diri kita adalah perwujudan Tuhan. Sebelumnya, kelas tersebut diadakan setiap dua minggu. Akan tetapi, karena dirasa terlalu berdekatan, para penyelenggara kemudian mengadakan kelas menjadi sekali dalam sebulan. Hasan memiliki prinsip bahwa acara semacam itu dapat menjadi alternatif bagi teman-teman yang memiliki perhatian pada tema-tema yang sama. Jika melihat perubahan yang terjadi di dunia intelektual, Hasan merasa harus lebih rendah hati, karena yang dilakukan selama ini bukanlah sesuatu yang istimewa dan semata-mata menjadi upaya untuk meneruskan percakapan intelektual dengan siapa saja dalam lingkup yang kecil tapi banyak dilakukan di berbagai tempat sehingga terjadi persebaran gagasan.
Asal istilah ‘suluk kebudayaan’ berasal dari Irfan. Hasan menyadari, jarang ada orang yang mau membahas tema-tema yang telah disebutkan di atas karena dianggap sebagai tema yang tertinggal. Akan tetapi, kelas tetap berjalan, tema tetap dibahas, karena menantang secara intelektual. Tema-tema yang dipaparkan sudah dipersiapkan sejak lama, begitu pula dengan narasumber yang tidak dipilih begitu saja. Narasumber yang akan memaparkan gagasannya harus mampu bergulat dengan tema yang diberikan, dibuktikan dengan makalah sebanyak (kurang lebih) lima belas halaman.
Bagaimana melihat Suluk dan Kelas Suluk Kebudayaan di masa mendatang?
Melalui pengamatan di media sosial, ada perkembangan yang menarik, yakni ketertarikan generasi muda muslim Indonesia. Terkait suluk, ada peningkatan minat secara intelektual, meskipun belum tentu dipraktikkan – tetapi ada juga sebagian yang mulai mempraktikkannya secara serius. Menurut Hasan, gejala tersebut (mungkin) timbul sebagai respons generasi muda terhadap kelompok-kelompok Islam garis kanan, sehingga salah satu dampaknya ialah hal-hal yang lama tidur (dunia suluk dan lain sebagainya) ‘bangun’.
Terkait wacana yang digagas dalam kelas suluk, dapat menjadi jembatan bagi berbagai kalangan untuk berbicara tentang Indonesia, keislaman, dan pengalaman Indonesia. Karena dirangkai dalam berbagai pendekatan dan beragam tema, serta acuan bahwa pemateri dan narasumber memang memiliki pergulatan dan konsentrasi pada tema yang didalami, kelas suluk memiliki daya tarik bagi banyak kalangan yang memiliki perhatian secara intelektual.
Karena diskusi tersebut direkam dan ditayangkan di kanal Facebook dan YouTube, banyak orang yang menonton dan kemudian menggabungkan diri pada diskusi di kelas selanjutnya. Ketika diadakan di Yogyakarta, ada peserta yang datang dari Surakarta, daerah pantai utara Jawa Tengah, Bandung, hingga Jakarta. Pada akhir sesi, dilakukan evaluasi dan masukan, entah tentang pengelolaan diskusi supaya lebih baik, tema untuk kelas berikutnya, atau hal-hal dalam tema yang tidak selesai dibahas ketika diskusi diadakan. Secara umum, ketertarikan terhadap suluk (sebagai ajaran) dan Kelas Suluk Kebudayaan tumbuh subur.
Rubrik ini merupakan rubrik Sorotan Dokumentasi dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi Maret-April 2019.