Pendhapa Ajiyasa, Jogja National Museum
Sabtu, 18 Agustus 2018
Pendhapa Ajiyasa, Jogja National Museum
Sabtu, 18 Agustus 2018
Oleh: Nurul Fajri (Kawan Magang IVAA)
Tim IVAA berkesempatan untuk hadir diskusi bertajuk Memetakan Arus Bawah pada Sabtu, 18 Agustus 2018. Diskusi ini merupakan salah satu dari serangkaian kegiatan dalam Indonesia Netaudio Festival (INF) 3.0 yang mengusung tema Sharing Over Netizen Explosion. Beragam acara dihadirkan seperti performative talk, lokakarya, pertunjukan musik, dan tentu saja pameran seni rupa.
Memetakan Arus Bawah dibungkus dalam bentuk gelar wicara performatif yang tidak hanya interaktif tetapi juga atraktif. Secara umum, benang merah dari sesi diskusi ini membicarakan tentang bagaimana ekosistem internet, infrastruktur berbagi, budaya penggemar, dan perkembangan musik di jagad maya. Topik utama tersebut ditinjau dan dibahas dari tiga studi kasus yakni perkembangan netlabel, seni media, dan dangdut koplo yang disampaikan oleh tiga narasumber; Nuraini Juliastuti, Manshur Zikri, dan Irfan Darajat.
Lokasi acara berada di Pendhapa Ajiyasa, Jogja National Museum. Sekeliling berlatar hitam dengan suasana biru-merah dari lampu sorot juga dari tiga layar besar di atas panggung. Di tengah-tengah berderet kursi yang dibentuk serupa sirkuit―meminjam istilah Syafiatudina, selaku moderator diskusi. Pada lingkar inti adalah wilayah moderator dan ketiga pembicara, kemudian di lingkar kedua adalah tempat duduk para audiens, lingkar selanjutnya keempat layar yang menampilkan materi bahasan dari para pembicara.
Menarik untuk melihat bagaimana kemasan dari diskusi ini yang keluar dari aturan-aturan konvensional diskusi pada umumnya. Menurut Manshur Zikri, ketika dalam diskusi melihat ponsel adalah tabu, justru di sini dianjurkan. Para peserta diskusi dapat bergabung ke dalam grup WhatsApp yang telah dibuat oleh panitia. Dalam grup itu mereka saling bertukar gagasan terkait dengan bahasan-bahasan diskusi yang tengah berlangsung. Para pembicara juga memiliki layarnya masing-masing untuk menampilkan materinya, alih-alih hanya bergantung pada satu layar besar seperti umumnya forum diskusi dan seminar.
Diskusi yang dimulai pukul tiga hingga jelang pukul enam sore itu dibuka oleh Nuraini Juliastuti. Nuning, sapaan akrabnya, membahas mengenai perkembangan netlabel dan segala hal yang berada di pusaran itu. Bahwa peranan atau fungsi netlabel tidak hanya sebagai “rumah” bagi musik yang bersirkulasi di dalamnya, tetapi juga ada praktek pengarsipan. Pendokumentasian atau pengarsipan dilakukan agar musik-musik yang dibagikan (sharing) melalui netlabel tidak sia-sia. Musik tidak hanya sebagai produk seni, tetapi juga artefak dimana energi suatu zaman turut bersamanya. Nuning juga menyinggung pentingnya sosialisasi praktik sharing, dan pengorganisasian festival semacam INF merupakan salah satu bentuk sosialisasi tersebut.
Manshur Zikri sebagai pembicara kedua membahas seni media dan kebudayaan baru yang timbul bersamanya. Zikri menggali topik diskusi dari pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkannya. Misal tentang bagaimana praktik copying dicap ilegal, sementara repost justru menaikkan posisi seseorang di media sosial. Zikri mengetengahkan meledaknya video kiki challenge di media sosial sebagai pertanyaan, apakah konten ataukah musiknya yang membuat challenge ini meledak di kalangan warganet? Bagaimana konten Youtube dan para youtuber menjadi sedemikian populer dibanding aktris/aktor di layar kaca? Pertanyaan-pertanyaan ini digali dengan tiga poin, yakni; ilusi keaslian, relatibilitas, dan independensi. Zikri mengakhiri sesi dengan merekomendasikan perlunya metode baru dalam literasi media, sebab situasi dan media yang ada kini juga sama sekali baru.
Sesi Irfan Drajat diawali dengan mengajak audiens menyimak sudut pandang baru soal dangdut koplo. Friksi yang terjadi antara dangdut koplo dan dangdut klasik. Ia memetakan tiga wacana yang menekan eksistensi dangdut koplo yakni, moralitas, identitas, dan juga keaslian. Ia menghadirkan studi kasus antara Rhoma Irama yang datang dari kubu dangdut klasik, dengan Inul Daratista dari kubu dangdut koplo. Rhoma Irama yang digelari sebagai Raja Dangdut, menyebut dangdut Inul sama sekali bukan dangdut.
Hal menarik dari pernyataan Irfan ketika ia mengatakan bahwa semua persoalan ada lagu dangdutnya. Lagu dangdut yang berangkat dari isu-isu sosial, politik, budaya yang ada, tetapi tata cara penuturannya selalu dalam bentuk gugatan khas akar rumput. Menurutnya, hingga saat ini Irfan mencatat belum ada lagu dangdut yang dijadikan sebagai medium perlawanan/protes.
Catatan lain dari bahasan Irfan, bahwa dangdut koplo mengguncang moda distribusi, juga mengguncang secara estetis dan gaya. Para pelaku dangdut koplo hidup dari panggung ke panggung, syuting dengan teknologi seadanya namun ekonomi tetap berputar. Tetapi belakangan, setelah dangdut koplo menjadi tren di layar kaca, ada indikasi bahwa dangdut koplo sedang coba “dijinakkan”.
Memang begitu banyak pertanyaan muncul dan tidak sempat untuk mengerucut apalagi terjawab tuntas hingga sesi diskusi berakhir. Termasuk pertanyaan pada detik-detik akhir yakni peranan warganet dalam menjaga kelestarian praktik berbagi (sharing), baik daring (online) maupun luring (offline). Persoalan dalam diskusi ini bisa jadi satu hal yang dirasa penting bagi para audiens dan pembicara, tetapi mungkin ini tidak (atau mungkin belum) menjadi perhatian di tingkat akar rumput.
Artikel ini merupakan rubrik Sorotan Dokumentasi dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan September-Oktober 2018.