Oleh Ahmad Muzakki dan Nur Rizki Aini
Seni merupakan salah satu hasil dari kebudayaan manusia. Seni dapat menampilkan hal yang sebelumnya tak terartikulasikan. Mengutip tulisan dari buku Bambang Sugiharto, “Kekuatan seni adalah melukiskan kedalaman pengalaman yang sebenarnya tak tampak dan tak terlukiskan, memperkatakan hal yang tak terumuskan, menyembunyikan hal yang tak tersuarakan, ataupun menarikan inti pengalaman batin yang tak terungkapkan”. Melihat hal itu artinya seni memiliki peran penting bagi kehidupan manusia melalui setiap pesan dan arti yang dibawanya.
Dalam dunia pendidikan, mata pelajaran seni merupakan salah satu mata pelajaran yang mampu mengisi kekosongan siswa saat mengalami kejenuhan dalam menghadapi mata pelajaran lain. Seni dapat menjadi media mengekspresikan perasaan dan gagasan siswa. Walaupun demikian, porsi mata pelajaran seni dalam semua jenjang pendidikan di Indonesia masih sangat minim. Pemerintah telah mengupayakan alternatif lain dengan mengadakan ekstrakurikuler kesenian sebagai salah satu pilihan. Namun, pertanyaan lainnya adalah mengapa minat siswa pada ekstrakurikuler seni rata-rata lebih rendah dibanding dengan ekstrakulikuler lain? Kemungkinan terbesarnya adalah bentuk seni yang ditawarkan kurang menarik bagi siswa.
Melihat keadaan seperti ini, Yayasan Seni Cemeti (YSC) berinisiatif untuk menciptakan kegiatan alternatif bagi para remaja, khususnya pada tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP), yaitu ‘Apresiasi Seni Rupa Untuk Remaja’ (ASURA). ASURA berjalan selama tiga tahun antara 2000 hingga 2003. Kegiatan yang digelar melibatkan secara langsung siswa untuk berkolaborasi dengan seniman yang diundang YSC untuk membuat sebuah karya dari material sederhana dan mudah didapatkan. Tujuan utama dari dibentuknya ASURA ini adalah menelusuri minat siswa terhadap pendidikan seni dari kegiatan ekstrakurikuler yang tersusun dalam kurikulum sekolah, dan membantu guru dalam menyampaikan mata pelajaran kesenian dengan cara yang berbeda.
Guru merupakan salah satu mediator ilmu dalam lingkungan pendidikan. Peran guru dalam penyampaian materi di sekolah sangat berpengaruh terhadap minat siswa untuk belajar. Maka tantangan menjadi seorang guru salah satunya adalah mempunyai ide dan motivasi yang perlu selalu dikembangkan untuk meningkatkan semangat siswanya, menarik siswa didik untuk mempelajari pelajaran tersebut. Namun, permasalahan dalam dunia pendidikan seni rupa dalam kurun waktu 2000-an, para guru seni rupa belum tentu memiliki latar belakang pendidikan seni rupa. Hal itu juga akibat dari posisi mata pelajaran seni rupa yang tidak termasuk dalam mata pelajaran yang menentukan kelulusan siswa. Permasalahan tersebut juga berdampak pada menurunnya minat dan perhatian siswa terhadap mata pelajaran seni, khususnya seni rupa. Akhirnya dari setiap permasalahan tersebut tercipta sebuah jarak renggang antara perkembangan dunia seni dengan guru seni.
Permasalahan dalam lingkungan pendidikan seni rupa tersebut menjadi salah satu sorotan YSC. Merespon hal tersebut, setelah program ASURA berlangsung beberapa tahun, Yayasan Seni Cemeti mengembangkan programnya menjadi Gerilya Project (2003-2006). Gerilya Project menempatkan prioritas keterlibatan guru-guru seni rupa. Bukan tanpa alasan YSC dan Gerilya Project sebagai medianya hanya memprioritaskan guru sebagai mitranya. Hal ini didasarkan atas anggapan bahwa posisi guru sangat penting dalam perkembangan seni rupa di sekolah yang selalu berinteraksi dengan siswanya. Pertimbangan lain adalah ribuan siswa yang datang dan pergi setiap tahunnya, sedangkan guru lebih sebagai pihak yang tinggal dan bertemu dengan ribuan wajah dan persoalan baru di setiap tahunnya. Artinya guru akan menghadapi berbagai macam karakter siswa yang selalu berganti, namun juga harus terbuka akan perkembangan mata pelajaran yang diampu.
YSC juga melihat sebuah permasalahan di mana program yang diselenggarakan pemerintah dalam hal professional development tidak merata. Maka, YSC mengundang para guru sejumlah 12 orang yang berasal dari sekolah yang memiliki mata pelajaran (ekstrakurikuler maupun intrakurikuler) seni rupa untuk membentuk kelompok yang rutin bertemu. Berbagi gagasan dan pengalaman, transfer referensi baru tentang pengalaman praktis pengajaran di sekolah dibahas secara rutin. Sebagai fasilitator dua tahun pertama YSC menyediakan diri sebagai salah satu tempat untuk memenuhi kebutuhan referensi teknis, referensi non-teknis dan arsip bagi para guru.
Munculnya Gerilya Project juga menjadi solusi dari kritik yang ditujukan untuk seniman-seniman yang berdomisili di Yogyakarta pada masa itu. Yogyakarta yang dikenal sebagai kota seni budaya dan pendidikan menyebabkan banyak orang menempuh ilmu dan berkesenian di kota ini. Namun, banyak seniman yang terlalu fokus terhadap karyanya saja. Ada pandangan bahwa beberapa seniman jarang untuk turun ke dunia pendidikan khususnya lingkungan sekolah. Hal ini menyebabkan adanya jarak renggang antara dunia pendidikan tingkat sekolah dengan praktik seni yang ada di Yogyakarta. Adanya Gerilya Project dirasa dapat menepuk pundak para seniman untuk sadar akan jarak itu. Aisyah Hilal sebagai salah satu penggagas Gerilya Project memiliki sebuah pertanyaan, “banyaknya lembaga pendidikan seni berdiri di Yogyakarta dan seniman yang sudah terbilang profesional berkarya namun kontribusi apa yang sudah mereka berikan di dunia pendidikan di tingkat dasar dan menengah?” Dari pertanyaan itulah YSC memberikan sebuah jawaban dengan terselenggaranya Gerilya Project.
Jika dalam dunia pendidikan, khususnya pendidikan seni rupa, seorang guru masih dirasa kurang dalam terlibat langsung ke dalam sebuah proses berkarya, kurang akrab dengan dunia pameran, terlalu disibukkan dengan urusan administrasi yang ada, jarak antara kesenian di lingkungan seniman dengan lingkungan sekolah akan semakin lebar.
Mustafa, seorang guru seni rupa SMP Negeri 4, Patuk, yang merupakan salah satu guru yang cukup aktif dalam Gerilya Project menyatakan bahwa, “sebenarnya perkara administrasi tidak membebani dan memberatkan guru. Namun waktu yang ada terbatas sehingga guru tidak memiliki waktu begitu banyak untuk membuat sebuah karya maupun pameran.” Jika hal ini terus berlangsung guru kesenian, khususnya seni rupa, akan sulit untuk mengikuti perkembangan yang ada.
YSC bersama para seniman sebagai mitra terdekatnya mencoba mengidentifikasi permasalahan ini. Namun YSC tidak terlalu masuk ke dalam ranah kurikulum pembelajaran yang sudah ada, karena YSC merasa itu bukan ranah mereka. Meski demikian, kemunculan Gerilya Project akhirnya memberikan ruang dialog baru bagi seniman dan guru seni pada waktu itu. Melalui Gerilya Project ruang dialog menjadi terbuka dan para guru serta seniman bisa saling berbagi cerita mengenai segala permasalahan seni rupa di lingkungan pendidikan dasar dan menengah, serta terbukanya pengenalan dunia pameran secara lebih intens.
Persoalan di atas belum sepenuhnya selesai. Sekarang ini, melalui kurikulum pendidikan, guru dituntut untuk dapat mengorelasikan perkembangan mata pelajaran dengan perkembangan teknologi yang ada. Selain itu, era digital telah merubah medium pembelajaran siswa yang lebih berbasis digital untuk akses data. Menjadi satu tantangan lagi bahwa para guru untuk tidak hanya menebalkan pengajaran teori, tetapi juga praktik akses data yang berbasis digital. Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) dalam lingkar yang lebih besar bersama lembaga seperti IVAA dengan melibatkan para guru kesenian dan seniman, dapat melakukan upaya membangun pendidikan yang kontekstual.a
Artikel ini merupakan rubrik Sorotan Dokumentasi dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi Mei-Juni 2019.