Oleh Hardiwan Prayogo
Raihul Fadjri adalah salah satu pendiri Yayasan Seni Cemeti (YSC) yang pada 2007 menjelma menjadi Indonesian Visual Art Archive (IVAA). Fadjri pernah menjadi ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) periode 1998-2000, lembaga yang ia dirikan bersama 11 rekan lainnya (sumber: https://aji.or.id/read/aji-kota/35/aji-yogyakarta.html). Ia juga pernah aktif sebagai jurnalis TEMPO biro Yogyakarta, dan banyak menulis artikel tentang seni-budaya, khususnya yang berkaitan dengan seni rupa.
Cara Fadjri dalam mengulas pameran adalah dengan mendeskripsikan secara detail bentuk karya sekaligus sedikit membubuhi interpretasi. Seperti yang ia tulis kala mengulas pameran tunggal Shigeyo Kobayashi di Galeri Cemeti, Yogyakarta, 6-31 Juli 1995:
“Coba simak karya yang berjudul “The Landscape Kept On My Mind”. Sebatang kayu sepanjang satu meter tergeletak di lantai. Kayu yang disapu dengan warna hitam itu berbentuk sosok ular dengan sisik yang berkesan dari bekas pahatan. Sebanyak dua belas biji kelereng menghiasi tubuh ular itu, dan biji saga yang berwarna merah disusun memanjang di atas punggungnya. Sementara di dekat kayu berbentuk ular itu terdapat tiga onggok saga merah membentuk bidang elips hingga mencapai pinggir dinding. Sedang di dinding tergantung obyek-obyek yang terkesan berbentuk buah-buahan dari bahan kayu. Jika diamati, susunan dan bentuk obyek-obyek itu mencitrakan kehidupan makhluk di dalam tubuh manusia ketika dilihat dari balik kaca mikroskop, atau panorama kehidupan makhluk di dalam air. Ada bentuk-bentuk seperti bakteri yang mirip dengan bentuk kecebong dengan ekornya yang lunak. Ada bentuk cacing, atau bebatuan yang sudah diselimuti kehijauan lumut.”
Di awal tulisan, Fadjri memberikan gambaran singkat terlebih dahulu tentang di mana posisi seni kriya dalam kancah seni rupa. Seni kriya yang memiliki akar seni tradisi, lebih sering dilihat hanya sebagai benda-benda fungsional, dari pada sebuah karya seni rupa yang utuh. Lantas yang mencairkan batasan ini adalah sifat kontemporer yang melanda dunia seni rupa. Maka mencair pula batasan antara seni murni dengan seni terapan. Dengan kata lain, gagasan-gagasan kontemporer diungkapkan melalui medium seni terapan, dalam hal ini kriya.
Pendekatan yang tidak jauh berbeda muncul juga dalam artikel ulasan Pameran Gambar di Galeri Dimata yang berlangsung pada 17-31 Oktober 1995. Gambar sering dinilai sebagai karya seni yang kurang populer dan bernilai ekonomi. Kehadirannya pun dinilai masih bergantung pada karya seni rupa lainnya, entah lukisan atau patung. Enam perupa yang menaruh perhatian pada situasi ini dan ikut berpameran adalah Eddi Hara, Heri Dono, Ivan Sagita, Nindityo Adipurnomo, Hari Budiono, dan Anusapati. Fadjri pun menulis dengan cukup detail karya dari setiap seniman, sekaligus merekam opini para seniman pada medium gambar.
“Teknik dan materi (gambar) tak membebani seniman, sehingga ekspresi langsung bisa tercapai.” (Eddie Hara)
“Pada dasarnya karya seni adalah catatan-catatan, pengabadian kejadian dan saksi dari ruang dan waktu yang terus melaju.” (Heri Dono)
Heri Dono menambahkan bahwa tidaklah penting label nama sebuah karya, apakah itu gambar atau lukisan. Selama dia masih memiliki elemen estetik, yang tidak kalah penting adalah pesan personal dan aspiratif dari lingkungannya. Sebagai penutup, Fadjri menuliskan bahwa gambar mungkin akan sama posisinya dengan seni rupa lainnya. Asalkan keinginan ini tidak sekedar memberi nuansa dalam kegiatan seni rupa. Jika demikian, gambar tetap menjadi sekedar gambar uang tersuruk di lemari arsip para perupa.
Selain itu, ada beberapa tulisan menarik lainnya yang masih dalam lingkar seni rupa, hanya saja kali ini fokus pada karya fotografi terhadap aksi-aksi demonstrasi. Secara reflektif Fadjri mempersoalkan lemahnya perlindungan terhadap wartawan foto peliput aksi demonstrasi yang menerima kekerasan baik fisik maupun verbal. Fadjri mengawali dengan dicekalnya pameran foto aksi demonstrasi mahasiswa dari wartawan-wartawan Yogyakarta. Pameran foto ini bertajuk “Yogya di Mata Wartawan Yogya”, berlangsung di atrium pusat perbelanjaan Galeria Yogyakarta, 8-12 Januari 1996. Dari 100 foto yang dipamerkan, 13 foto yang paling menarik perhatian publik adalah foto aksi demonstrasi. Rupanya ini menggelisahkan aparat keamanan, hingga akhirnya foto-foto ini diturunkan dan diberi keterangan: “Satu syarat dari Kepolisian: Foto ini harus diturunkan”. Foto aksi demonstrasi ini merentang dari tahun 1974 ketika peristiwa Malari yang merembet sampai Yogyakarta, hingga refleksi sumpah pemuda 28 Oktober 1995.
Dari pencekalan pameran foto ini, Fadjri merefleksikan bahwa setelah sekian lama, masih terdapat jurang antara kebebasan berekspresi dengan aparat keamanan yang hanya menjalankan perintah atasan dengan dalih stabilitas. Maka yang terwujud dari jurang ini adalah sisi gelap emosi manusia, yaitu kemarahan dan ketidakseimbangan.
Selain foto demonstrasi, bersanding juga foto-foto kunjungan Pangeran Charles dan Putri Diana ke Yogyakarta, Ratu Beatrix dari Belanda, kunjungan Paus di Bandara Adisucipto, hingga rapat raksasa Bung Karno di depan gedung Agung pada 1962. Foto yang demikian justru mendominasi pameran. Fadjri menutup tulisan dengan pernyataan bahwa aparat keamanan terlalu berlebihan dalam menilai sisi gelap yang secuil itu.
Dari cara Raihul Fadjri mengulas berbagai macam pameran di atas, dari pameran tunggal hingga pameran bersama terlihat cara menulis Fadjri yang diawali dengan ilustrasi singkat konteks perkembangan gagasan seni, disambung dengan ulasan karya seni hingga profil seniman, dan diakhiri dengan refleksi. Cara menulis semacam ini mengingatkan saya pada satu pernyataan dari seorang wartawan senior, Bambang Bujono. Pada satu kesempatan ia pernah berkata bahwa tulisan/ artikel ulasan pameran berbeda dengan karya seni. Artinya, kehadirannya tidak akan bisa menggantikan posisi atau imajinasi pembaca atas karya jika belum melihatnya secara langsung. Namun dengan menuliskan sedetail mungkin bentuk karya dalam ulasan, menjadi penting untuk membawa pembaca dalam konteks yang lebih luas. Dengan kata lain memperpanjang usia pameran kesenian yang sementara ke dalam pembicaraan yang lebih jauh. Dari arsip-arsip artikel tulisan Raihul Fadjri ini, sedikit banyak muncul gambaran tentang apa yang terjadi pada dinamika dan perkembangan wacana seni. Untuk pembacaan dan eksplorasi lebih dalam, silakan kunjungi halaman dan koleksi dokumen Raihul Fadjri di laman ini.
Artikel ini merupakan rubrik Sorotan Arsip dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi Mei-Juni 2019.