Program Studi Kajian Budaya dan Media Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
20 Januari 2020
Program Studi Kajian Budaya dan Media Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
20 Januari 2020
oleh Gagas Dewantoro
Lukisan terkenal dari seorang Sudjojono memiliki kesan tersendiri khususnya terhadap masyarakat urban pada masanya. Sebagai seseorang yang dianggap menjadi perintis seni rupa modern Indonesia, ia sangat berperan dalam membingkai perdebatan tentang perlunya bentuk visual yang khas “Indonesia”. Estetika dan perannya sebagai guru serta penulis memiliki dampak yang mendalam pada perkembangan seni rupa modern dan kontemporer.
Pada 20 Januari 2020 Program Studi Kajian Budaya dan Media Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada mengadakan seminar bertajuk “Representation of Urban Culture in Visual Art” yang disampaikan oleh Edwin Jurriens, dosen dari Melbourne University. Hadir juga sebagai penanggap utama, yaitu Aditya Adinegoro. Yang menarik pada diskusi ini adalah tema kultur urban yang mengekspresikan seluruh kebudayaan dan aktivitas masyarakat perkotaan.
Salah satu karya fenomenal Sudjojono yang merepresentasikan kehidupan urban serta sosio-politik pada masanya yaitu “Angkatan 66”. Lukisan ini menggambarkan situasi setelah kejadian G30S yang telah menurunkan Soekarno. Dari lukisan ini Sudjojono menampilkan seorang mahasiswa menggunakan jas merah yang sedang berdemonstrasi menghadap istana merdeka dan sebelah belakangnya adalah bundaran HI atau sekarang lebih dikenal sebagai Monumen Selamat Datang di Jakarta. Selain itu, Sudjojono juga menggambarkan situasi rakyat urban yang kacau pasca orde lama, juga pembangunan Jakarta yang begitu masif.
Hal menarik lainnya dari Sudjojono yaitu ketika dirinya menolak seni lukis yang lahir dari kebutuhan di luar lingkungan bangsa Indonesia, seperti dari turis-turis maupun orang-orang Belanda yang sudah pensiun. Seni lukis bagi Sudjojono harus muncul dari dalam hidupnya sehari-hari termasuk budaya urban yang ada di sekitarnya.
Meski demikian, Sudjojono tidak hanya melukis kehidupan budaya urban namun juga gunung, bukit, jalan, dan pohon kelapa. Sudjojono berusaha melukiskan kesadaran tentang alam Indonesia, bebas dari cita rasa turisme. Misal, jika dalam suatu pemandangan yang hendak dilukiskan terdapat menara listrik atau hal-hal lain yang mengganggu pemandangan (menurut cita rasa turis),Sudjojono akan tetap menggambarnya. Lukisannya memiliki karakter goresan ekspresif dan sedikit terstruktur, goresan dan sapuan bagai dituang begitu saja ke kanvas. Pada periode sebelum kemerdekaan, karya lukis Sudjojono banyak bertema semangat perjuangan rakyat Indonesia mengusir penjajah. Setelah jaman kemerdekaan karyanya berubah menjadi bertema pemandangan alam, bunga, cerita budaya dan aktivitas kehidupan masyarakat urban.
Edwin selanjutnya mencoba menitikberatkan karakter ‘urban’ dalam lukisan Sudjojono tersebut sebagai satu poin penting ketika membicarakan karya-karya seni rupa kontemporer. Bagi Edwin representasi urban seperti dalam beberapa karya Sudjojono seolah terus direproduksi, seolah terwariskan pada karya-karya beberapa seniman kontemporer. Misalnya saja pada karya Agan Harahap yang berjudul sama yakni, Maka Lahirlah Angkatan 66. Jika Sudjojono memakai medium lukis, Agan memilih fotografi. Namun, selain judul, ikon yang dimunculkan juga sama, yakni seorang remaja laki-laki yang membentangkan tangan dalam rangka demonstrasi. Selain karya Agan, tangkapan fenomena urban juga muncul dalam karya Yuswantoro Adi yang berjudul Every Place is The Playground. Bagi Edwin, karya ini senada dengan karya Sudjojono yang berjudul Kota Jakarta.
Dalam diskusi ini, sebagai bagian dari riset disertasinya, Edwin masih dalam tahap berasumsi bahwa warisan Sudjojono seolah hidup di tengah-tengah kekaryaan beberapa seniman kontemporer melalui representasi kultur urban yang dihadirkan.
Artikel ini merupakan rubrik Sorotan Dokumentasi dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi Januari-Februari 2020.