Rumah Budaya Tembi, Sewon, Bantul
20 Januari 2020
Rumah Budaya Tembi, Sewon, Bantul
20 Januari 2020
oleh Y. Pramana Jati
Hujan deras mengawali pembukaan pameran poster “Masa Lalu Belumlah Usai” di pendapa Rumah Budaya Tembi, Sewon, Bantul. Terlalu deras, sehingga membuat acara yang seharusnya mulai pada pukul 19.00 WIB baru dimulai sekitar pukul 20.00 WIB. Pameran yang dikuratori oleh Mikke Susanto bersama Ko-Kurator Tomi Firdaus ini memamerkan 546 lembar poster dari berbagai pameran seni rupa yang pernah terselenggara, dengan rentang waktu antara 1974 hingga 2019 dan semuanya merupakan koleksi Dicti Art Laboratory. Ketika acara dimulai langit masih mengirimkan rintikan hujan menemani dinamika pembukaan pameran ini. Acara dibuka dengan pertunjukan musik dari Band TUDEIS binaan Sekolah Alam “Nurul Islam” Sleman, D. I. Yogyakarta, serta solo performance dari Bintang. Setelah itu dilanjut sambutan oleh Totok Barata selaku pengelola Rumah Budaya Tembi dan Trisna Pradita Putra sebagai sekretaris Prodi Jurusan Tata Kelola Seni ISI Yogyakarta.
Pembukaan pun usai dan diskusi sebagai rangkaian acara utama pada pembukaan kali ini akhirnya dimulai, walaupun banyak kursi yang masih kosong dan hanya terisi di satu sisi saja. Diskusi yang dimoderatori oleh Tomi Firdaus ini menghadirkan tiga pembicara yakni Mikke Susanto sebagai kurator pameran, Hardiwan Prayogo (Yoga) sebagai arsiparis Indonesian Visual Art Archive (IVAA), dan Ong Harry Wahyu sebagai seniman poster. Ketiga pembicara memberikan bahasan seputar pembacaan mereka terhadap arsip-arsip poster pameran seni rupa yang memiliki nilai lebih, yakni bukan hanya sebagai media promosi saja melainkan juga sebagai pembacaan pergerakan dari seni rupa di Indonesia hingga nilai ekonomi yang terkandung di dalamnya.
Materi setiap pembicara sarat akan informasi serta pengkayaan perspektif terhadap arsip poster pameran seni rupa. Mikke membahas pengalamannya ketika pertama kali bergelut ke dalam pergumulan ini beserta bahasan tentang aspek kesejarahan poster-poster pameran seni rupa secara kronologis, meliputi pergerakannya hingga teknik pembuatannya dari masa ke masa, dan membahas peningkatan nilai ekonomi dari suatu poster pasca pameran. Lalu Yoga membahas tentang pentingnya kinerja pengarsipan yang dilakukan IVAA beserta teknik klasifikasi (coding) tiap material arsip poster koleksinya. Dan tak ketinggalan juga materi bahasan Ong sebagai seniman poster yang membaca perkembangan estetika pada seniman poster di Indonesia.
Ada banyak bahasan berbobot yang digulirkan ketiga pembicara. Dari semua pembicaraan itu ada beberapa bahasan yang perlu menjadi perhatian, seperti bagaimana perkembangan seni rupa dengan dinamika yang mengiringinya dapat terbaca melalui pembacaan arsip-arsip poster pameran seni rupa. Tak hanya pembacaan akan perkembangan seni rupa saja, melainkan juga pembacaan tingkat bahasa, tingkat teknologi, dan tingkat fungsi seni suatu masyarakat di mana arsip poster itu berasal. Menjadi demikian karena poster pameran seni rupa selalu mengalami transformasi yang awalnya sebagai medium informasi menjadi prasasti setelah pameran usai, walaupun banyak juga poster-poster pameran yang hilang karena pengaruh rezim yang saat itu berkuasa. Tak luput menjadi perhatian juga adalah tentang bagaimana kinerja di dalam semesta pengarsipan turut mempengaruhi nilai informasi dan nilai bukti dari suatu poster pameran seni. Pembacaan arsip tak hanya berhenti di pengumpulan arsip saja, melainkan juga menjadi siklus pembacaan ulang secara interelasional dengan material arsip lain yang banyak terserak di dalam peristiwa seni lainnya, sehingga pengetahuan dari arsip-arsip poster pameran seni rupa dapat terekstraksi secara holistik.
Dari sudut pandang penciptaan karya juga tersampaikan bahasan mengenai bagaimana sebuah keterbatasan dan keadaan sekitar membentuk pola pikir, estetika, dan cita rasa seniman poster yang senantiasa berubah. Serta, dengan perkembangan teknologi saat ini yang mempermudah kinerja dalam penciptaan desain, para seniman poster semakin dituntut untuk senantiasa mencapai otentisitas gaya dalam realisasi imajinasinya yang tertuang ke dalam desain. Sehingga peran seniman dalam karya tidak hilang tergantikan oleh daya teknologi dalam mengolah desain, karena hakikat teknologi adalah sebagai piranti pendukung layaknya pena di mana desain itu terbentuk karena desainer yang menggerakkannya.
Mendudukan tiga pembicara dengan latar belakang kerja yang berbeda-beda, yakni sebagai kurator/ kolektor, pekerja sekaligus pengelola arsip, dan seniman poster dalam satu forum diskusi adalah langkah yang tepat. Masing-masing kerja mereka sangatlah berkaitan satu sama lain dan tidak bisa timpang. Logika interelasi peran antar pelaku ini dapat dipahami dengan melihat kerja-kerja yang dilakukan tiap pelaku tersebut. Seperti bagaimana seorang kurator/ kolektor membutuhkan kerja dari pelaku pengarsipan untuk memperkaya pembacaannya atas arsip tersebut karena kerja yang dilakukan oleh pekerja arsip adalah membaca secara interelasional, bahkan intertekstual, terhadap satu arsip yang dikaitkan dengan material arsip lainnya. Kerja kolaboratif semacam ini dapat mendukung upaya mengekstrak informasi dan pengetahuan dari suatu gelaran pameran yang meningkatkan nilai informasi, nilai bukti, dan pada akhirnya juga nilai ekonomi arsip poster pameran seni rupa tersebut.
Lalu kerja seniman poster jelas dibutuhkan dalam produksi material poster. Demikian juga pengelola arsip, mereka membutuhkan kolektor dan seniman poster untuk senantiasa memperkaya khazanah kearsipan yang senantiasa menjadi siklus pembacaan tanpa henti dari suatu perhelatan seni, agar nilai informasi, nilai pengetahuan, serta nilai bukti dari suatu arsip poster dapat terekstraksi. Dan tentunya seniman poster juga membutuhkan kolektor/ kurator sebagai aktor yang senantiasa membuat si seniman tak berhenti dalam gerak kekaryaannya dan membutuhkan kerja para pekerja/ pengelola arsip sebagai pihak yang tak hanya menampung tapi juga mengapresiasi karyanya dengan pembacaan-pembacaan kritis untuk selanjutnya menjadi referensi seniman/ desainer dalam memperkuat karyanya. Dari alasan-alasan itulah peran tiap aktor tak dapat dipisahkan, karena sedari awal kerja-kerja yang mereka lakukan sangat integratif dan tidak dapat timpang. Capaian tiap pelaku tersebut tidak akan tercapai sempurna tanpa keterkaitan peran satu sama lain.
Diskusi sebagai rangkaian utama dari pembukaan pameran poster seni rupa “Masa Lalu Belumlah Usai” ini memang tidak dihadiri oleh banyak tamu, terutama setelah pertunjukan pembuka di mana tamu berkurang hampir separuhnya. Tetapi walau begitu, tidak mengurangi kualitas materi-materi yang dipaparkan oleh para pembicara. Karena para pembicara memunculkan pembacaan-pembacaan yang ternyata sangat luas dalam membaca material serta kerja dalam perhelatan arsip poster pameran seni rupa kali ini, di mana arsip poster pameran seni rupa tersebut tak hanya berhenti sebagai objek koleksi semata atau sebagai pelampiasan sisi romantis kolektornya saja. Perjuangan menempuh hujan deras untuk datang ke diskusi ini serasa terbayar oleh apa yang disajikan sebagai pengkayaan khazanah ilmu pengetahuan di bidang seni dengan sukacita.
Artikel ini merupakan rubrik Sorotan Dokumentasi dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi Januari-Februari 2020.