Rumah IVAA
Sabtu, 9 Desember 2017
Rumah IVAA
Sabtu, 9 Desember 2017
Oleh: Andya Sabila (Kawan Magang IVAA)
Nama Agoni diambil dari kata dasar Agonia yang merujuk pada salah satu tulisan St. Sunardi berjudul “Suara Sang Kala di Tepi Sungai Gajahwong” dalam buku kumpulan esai Vodka dan Birahi Seorang Nabi. Kata Agoni dipilih sebagai representasi dari lagu-lagu mereka. Awalnya ada beberapa rekomendasi dari pemilihan nama, akhirnya dipilih nama Agoni, karena yang dibicarakan banyak mengenai persoalan tentang makna dari kata itu. Diambil dari tiga fase berkesenian; agonia, ekstase, dan joy. Agonia adalah kondisi di mana saat sedang sangat gelisah dan ingin mengungkapkannya tapi tidak bisa. Fase kedua, Ekstase berarti fase di mana si seniman mencurahkan keresahannya lewat media seni. Sedangkan joy adalah satu fase saat sudah selesai membahasakan soal kegelisahan itu.
Mereka merasakan lagu yang lahir dari Agoni itu berasal dari keresahan yang awalnya sulit dibicarakan. Dengan membicarakannya lewat lagu, diharapkan dapat mencapai fase ekstase dan joy. Pendengar diajak untuk merasakan pengalaman yang sama dengan musisi. Akhirnya dipilih fase yang pertama, karena orang cenderung berambisi mencapai joy tanpa melewati fase ekstase dan agoni. Fase agoni cukup penting karena tidak banyak dibicarakan dalam konteks masa sekarang.
Band ini digawangi oleh muda-mudi asal Yogyakarta yakni Fafa (vokal & gitar), Erda (bass), dan Dimas (drum). Agoni dipilih oleh IVAA bukan hanya karena relasi pertemanan saja, melainkan juga ide-ide lewat lagunya yang menarik untuk masyarakat dengar. Lagu-lagu Agoni adalah jelmaan dari perjalanan hidup yang peristiwanya tidak mudah diceritakan. Sejak 2010, Erda dan Fafa hanya sekadar band-band-an, tidak pernah terbayangkan untuk terus ditekuni. Ternyata, Fafa sudah berbakat dalam menulis sejak masih duduk dibagku SMP, dan kemudian mencoba merangkai lirik lebih mendalam. Pada awalnya, Agoni hanya terdiri dua orang, dalam perjalanannya, perlu materi yang lebih lengkap dengan kehadiran drummer. Untuk Musary #7 ini, diajak pula Dicky dan Adam sebagai additional player. Mereka justru menemukan keasyikan dengan berganti-ganti additional player, sebab memiliki warna musik yang beragam.
Musrary #7 merupakan kali pertama IVAA terlibat dalam sebuah acara peluncuran album musik. Berlangsung di Rumah IVAA, Sabtu, 9 Desember 2017. Pertunjukan musik bertajuk Mencari Matahari dilaksanakan dalam launching mini album berjudul Merajut Badai dari Agoni. Sama dengan event-event Musrary yang telah terselenggara sebelumnya, penonton disuguhkan penampilan musik dengan suasana yang intim. Penonton bisa berinteraksi langsung dengan sang musisi.
Malam minggu syahdu penonton disuguhkan 7 lagu dari mini album Merajut Badai, dan satu lagu yang akan ada dalam album full album perdana mereka. Penampilan pertama dibuka dengan “Aku Harap Laguku” yang menyejukan. Lagu kedua adalah “Jantung Kota” yang bercerita tentang keresahan pada kota sendiri. Lagu ini didedikasikan warga Temon, Kulonprogo, masyarakat terdampak proyek pembangunan New Yogyakarta International Airport. Selain perform, juga dijual beberapa merchandise yang keuntungannya disumbangkan pada petani-petani di Kulonprogo yang sedang berjuang mempertahankan hak hidup bersama “Jogja Darurat Agraria”. Lagu berikutnya berjudul “Jurnalis Palsu”, mewakili Fafa dan Erda yang pada saat kuliah aktif dalam pers mahasiswa. Lagu ini terilhami dari pengalaman saat melakukan liputan dan intens bergulat dengan isu-isu yang diangkat.
Musik dipilih sebagai ruang aktualisasi. Menurut Erda, dengan bermusik, ia merasakan apa yang dinamakan katarsis, dan membutuhkannya dalam menjalani kehidupan. Dalam perjalanan karir bermusiknya, mereka sempat “merasa kecil” karena pernah tampil di depan orang-orang yang mereka lawan. Mereka pun pernah mendapat persekusi dari ormas tertentu. Penampilan Sabtu malam itu ditutup dengan lagu “Merajut Badai” yang berkolaborasi dengan Danto (Sisir Tanah), Gonjes (KePAL SPI/ Keluarga Seni Pinggiran Anti-Kapitalisasi Serikat Pengamen Indonesia), Fitri (Dendang Kampungan). Sudah hampir tiga tahun Agoni konsisten mengangkat tema tentang kehidupan manusia, baik dalam masa kegelisahan maupun suka cita. Momentum ini sekaligus dijadikan sebagai penutupan simbolis pada proses penggarapan panjang mini album Merajut Badai.
Artikel ini merupakan rubrik Agenda Rumah IVAA dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi Maret-April 2018.