Westlake Resto
17-18 Maret 2018
Westlake Resto
17-18 Maret 2018
Oleh: Hardiwan Prayogo
Berangkat dari semangat untuk melakukan perubahan dan perbaikan ekosistem kesenian di Indonesia, Koalisi Seni Indonesia (KSI) pada 17-18 Maret 2018 berlokasi di Westlake Resto mengadakan pertemuan yang diberi tajuk Mozaik Mimpi Koalisi Seni. Dengan agenda utama berupa Focus Group Dicussion (FGD) antara anggota KSI di area Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah. IVAA diwakili oleh Lisistrata Lusandiana dan Hardiwan Prayoga berkesempatan untuk terlibat dalam diskusi antara berbagai sektor pelaku seni ini.
Pada Sabtu 17 Maret 2018, diskusi terbagi dalam beberapa sesi, pertama adalah sesi “Percakapan #1 Pembelajaran”. Tujuan dari sesi ini adalah mendengar capaian dan strategi masing-masing pelaku seni, baik individu maupun kolektif dalam praktek kesenimanannya. Lingkungan seni, khususnya di Yogyakarta, tidak membentuk kultur/ perilaku seniman yang berpikir panjang. Dengan kata lain strategi yang ditempuh adalah kerja-kerja yang taktis, bukan strategis. Maka secara organik akan lahir jarak antara kebutuhan pelaku seni yang jangka pendek dengan logika kerja KSI yang cenderung jangka panjang. Kemudian diskusi bergulir hingga kondisi bahwa sebenarnya sumber dana selalu ada di sekitar kita, salah satunya adalah dana desa. Perlu dibangun kesadaran bahwa persoalan mengenai dana tidak melulu harus diselesaikan di pusat. Dengan demikian, pelaku seni sekaligus akan menjadi salah satu pilar yang aktif dalam struktur masyarakat, tampil sebagai salah satu kontributor utama dalam sektor riil. Para anggota berharap bahwa KSI menjadi jembatan atau platform akan akses ini. Bahwa seniman bukan hanya soal berkarya, tetapi juga memikirkan posisi sosial dari kerja infrastruktur.
Sesi kedua berjudul “Percakapan #2 Inspirasi”. Setelah saling berbagi tentang bagaimana selama pelaku seni bertahan hidup dengan berbagai macam cara, para anggota mencoba mencari bentuk ideal dari cara kerja KSI yang implementatif dengan kebutuhan anggotanya. Diawali dengan kesadaran bahwa kesenian kini semakin multidisiplin, KSI perlu menjadi wadah yang inklusif antar anggota untuk saling berbagai pengetahuan dan potensi. Pada dasarnya pelaku seni dimanapun senantiasa membutuhkan jejaring dalam lingkup regional, terutama dalam rangka memperkaya refrensi tekstualnya. Lebih lanjut agar semua sektor kesenian ikut terlibat dalam peningkatan daya apresiasi seni dari publik.
Sesi ketiga hari pertama ini ditutup dengan sosialisasi Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan (UUPK). Undang-Undang ini adalah kebijakan yang secara aktif dikawal oleh KSI dalam 5 tahun terakhir. Disampaikan bahwa UUPK bersifat ofensif, dengan tidak menganggap globalisasi sebagai ancaman, namun justru peluang untuk pengkayaan teks dan jejaring. Objek UUPK ada 10, yaitu tradisi lisan, manuskrip, adat, ritus, pengetahuan tradisi, seni, bahasa, teknologi tradisional, permainan rakyat, dan olahraga tradisional. Pemilahan ini tidak bersifat kategoris, tetapi tagging, artinya satu produk/bidang bisa terdiri lebih dari satu objek. UUPK menggunakan logika pemajuan, bukan pelestarian karena menuntut untuk dikembangkan, tidak hanya dilestarikan. Dalam hal ini yang dikembangkan adalah relasi antara kajian dan penciptaan, memberikan kesempatan berkesenian yang sama, dan lain-lain.
UUPK dimulai dengan dokumen perencanaan bernama Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) yang disusun dari partisipasi masyarakat di tingkat kabupatan/kota, lalu diajukan ke tingkat provinsi, kemudian akan dikumpulkan dalam satu rumusan strategi kebudayaan nasional. Ini adalah tahap pertama dari implementasi UUPK berskala nasional namun dilaksanakan berdasar pada potensi dan urgensi setiap daerah.
Hari kedua, 18 Maret 2018, dimulai dengan sesi “Percakapan #3 Aspirasi”. Sesi ini membagi peserta dalam kelompok diskusi yang lebih kecil, 2-3 orang per kelompok. Antar kelompok diberi tugas berbeda yang secara garis besar menyusun strategi dan program ideal KSI untuk periode 2017-2022. Kelompok yang bertugas merumuskan strategi mengawali dengan bahasan bahwa secara umum publik seni masih canggung untuk mengartikulasikan bahwa seni adalah klaim politik. Berkaca pada fakta bahwa seni di Indonesia tidak pernah kritis secara jumlah, menunjukkan bahwa persoalan tidak terletak pada sumber dana, tetapi keberanian publik seni mengeksplisitkan klaim politiknya. Dalam kerangka ini KSI perlu menjadi lembaga yang juga bisa mengadvokasi, memberi perlindungan dan solidaritas jika ada anggotanya yang tertekan akibat klaim politik tertentu. Diakui bahwa kultur berkoalisi secara organik sudah tumbuh di daerah-daerah, terutama daerah yang infrastruktur seninya terbilang minim. Dengan kata lain KSI perlu mendorong sosialisasi paralegal, agar anggotanya memiliki kesadaran hukum. Di sisi lain, KSI sangat perlu untuk memperluas/ menambah anggota, dengan tidak melupakan syarat yaitu jejaring yang solid. Kemudian secara program, KSI perlu membuat peta, atau mapping kebutuhan infrastruktur seni setiap daerah, dan menyasar tokoh strategis sebagai sasaran audiensi. Dengan asumsi bahwa setiap responden akan aktif dan dapat mengidentifikasi problem, yang lebih penting adalah melakukan campaign apa keuntungan terbesar dari anggota yang aktif.
Hari kedua yang sekaligus menjadi hari penutup ini berlangsung dengan lebih cair. Semua gagasan yang mencuat dalam 2 hari ini akan dijadikan pegangan oleh para pengurus KSI. Pegangan agar KSI menjadi lembaga inklusif yang menjembatani keterbatasan dan kepanjangan tangan dari publik seni di Indonesia. KSI sendiri melanjutkan agenda serupa di daerah lain, yaitu Temu Anggota Jakarta, Jawa Barat dan Sumatra, dan Temu Anggota Indonesia Timur dan Bali.
Artikel ini merupakan rubrik Rubrik Agenda Rumah IVAA dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi Maret-April 2018.