Oleh Krisnawan Wisnu Adi
Berawal dari niat untuk mengumpulkan dan membaca corak-corak ‘tradisi-lokal’ dalam karya seni (khususnya seni rupa) kontemporer dengan mengantongi pertanyaan mengapa beberapa seniman membawa corak tersebut. Semata untuk kepentingan pasar, atau bagian dari identitas Indonesia bahkan Nusantara? Sejauh ini, melalui kerja eksplorasi berjalan yang juga memasukkan koleksi arsip kami sebagai materi, muncul beberapa asumsi serta masalah yang tertuang di dalam dua edisi sebelumnya.
Di edisi pertama beberapa konsep yang kiranya bertalian dengan niat ini dihadirkan seperti, tradisi, kontemporer dan Nusantara. Lalu di edisi kedua, eksplorasi berjalan ini dilakukan dengan menghadirkan pembacaan seputar wacana ‘tradisi’ yang dibawa melalui serangkaian program pemerintah bertajuk Festival Panji Internasional. Ketika seni dan wacana ‘tradisi’ dibingkai oleh Negara, setidaknya kami melihat bahwa wacana itu ditempatkan sebagai sesuatu yang fiktif geopolitis dalam ilusi kosmopolitanisme. Selain itu logika pengarsipan seni budaya yang dilakukan pemerintah di tengah pergaulan regional hingga internasional masih dalam bingkai konservasi.
Wacana tradisi yang kami eksplorasi melalui dua edisi di atas nampaknya mengarah kepada pembicaraan seputar identitas seni rupa kontemporer di Indonesia. Terutama pada edisi kedua, wacana tradisi yang bekerja melalui program pemerintah seolah menjadi cara negara membangun identitas kesenian kita. Dari dua penelusuran sederhana yang telah kami lakukan, kami menyadari bahwa penelusuran yang dilakukan dengan pendekatan konseptual membuat eksplorasi agak berat sebelah dan kurang renyah. Atas dasar pertimbangan itu, kami memutuskan untuk membalik metode. Kali ini tidak berangkat dari konsep, tetapi berangkat dari pengalaman kekaryaan. Dari situ, kami memutuskan untuk belajar dari praktik kekaryaan yang dilalui oleh seniman. Dengan berangkat dari level mikro, kami berharap menemukan cara pandang yang berbeda.
Identitas di Persimpangan
Identitas seni rupa kita ibarat identitas yang terletak di persimpangan. Artinya, narasi atau identitas tunggal akan sulit dirumuskan. Seperti sebuah situasi persimpangan, apapun bisa lewat dan melekat. Keberagaman selanjutnya menjadi istilah yang kerap kali muncul untuk mengidentifikasi identitas seni rupa kita.
Upaya identifikasi semacam ini banyak hadir di beberapa pameran, salah satunya adalah pameran yang diselenggarakan di Galeri Nasional, yaitu Manifesto 6.0: Multipolar; Seni Rupa Setelah 20 Tahun Reformasi. Manifesto adalah pameran dwi tahunan yang dimulai sejak tahun 2008. Untuk gelaran keenam, yang bertepatan dengan momentum 20 tahun reformasi, pameran yang digelar pada 7-10 Mei 2018 ini menghadirkan tajuk Multipolar; Seni Rupa Setelah 20 Tahun Reformasi. Menghadirkan tidak kurang dari 60 seniman, karya-karya yang dipamerkan adalah yang dianggap mewakili perkembangan dan penanda zaman atas 20 tahun reformasi.
Dari pameran tersebut, pencarian identitas atau narasi tunggal menjadi hal yang sia-sia, karena ada banyak isu yang muncul, seperti populisme agama karya Jauh Di Hati Dekat Di Mata dari Rudy Atjeh D., kritik terhadap kapitalisme dan industrialisasi yang terlihat dalam Hore karya Farid Stevy Asta, im obsessed with these culture but i hate it karya Muklay, dan Ketagihan Dikibulin Bandar karya Syaiful Ardianto, yang sangat personal yaitu seni instalasi interaktif karya Putri Ayu Lestari tentang pengalaman menjadi joki three in one yang berjudul Joki-Jokian, dan Photo Shoppu Scrinium karya Nurrachmat Widyasena, hingga lukisan abstrak Menjaga Sunyi yang Perlahan Liar karya Iabadiou Piko. Akhirnya publik mungkin akan kesulitan mengidentifikasi narasi tunggal kesenian pasca Orde Baru, selain narasi keberagaman yang diwakilkan melalui kata ‘Multipolar’.
Selanjutnya, dalam konteks yang lebih luas yakni Asia Tenggara, di sebuah liputan media massa Asian Art (1997) dengan tajuk “Art in Southeast Asia-Glimpses into the Future”, juga terdapat deskripsi yang menggambarkan situasi persimpangan yang serba beragam. Dituliskan demikian,
“Southeast Asia is the size of great cultural diversity. Traditional indigenous cultures exist side by side with remnants of Western colonial cultures and cultural influences from India and China brought in by immigrants. More recently deep in roads have been made by the urban consumer culture of the United States as well as a subculture of Japanese cartoons and popular music, accelerating the process of diversification. Out of the criss-crossing of these varied cultural paths a new hybrid culture is taking from.”
Pameran Manifesto 6.0: Multipolar; Seni Rupa Setelah 20 Tahun Reformasi dan liputan media massa Asian Art tersebut kiranya menunjukkan bahwa seni di Indonesia secara khusus, dan Asia Tenggara secara umum, adalah seni yang rumit. Pengaruh budaya dan nilai dari Barat maupun Timur akhirnya melahirkan seni yang tidak jelas. Ketidakjelasan ini bisa dilihat sebagai sebuah konsekuensi dari entitas yang ibarat hidup di persimpangan.
Kecenderungan untuk terus merumuskan identitas yang otentik pun selalu muncul dari para seniman maupun pegiat seni-budaya di area ini. Namun, usaha tersebut tampaknya tidak akan pernah tuntas. Dan barangkali, akan lebih tepat ketika kita bicara soal identifikasi, bukan identitas dalam tujuan mencari narasi tunggal.
Konstruksi Identitas, Sebuah Identifikasi
Lawrence Grossberg (1996) dalam tulisannya yang berjudul “Identity and Cultural Studies: Is That All There Is?” telah mengulas persoalan identifikasi. Ia menuliskan bahwa setidaknya terdapat tiga logika identifikasi yang muncul dari studi budaya. Ketiga logika itu adalah logika perbedaan (difference), individualitas, dan temporalitas. St. Sunardi (2003) dalam makalahnya yang berjudul “Strategi Identifikasi Lewat Seni”, sebagai bagian dari buku acara diskusi Sorak-Sorai Identitas yang diselenggarakan Studio Budaya dan Galeri Langgeng di Kompleks Taman Kyai Langgeng, Magelang, pada 20-21 Maret 2003, juga merujuk gagasan Grossberg untuk dibawa ke dalam konteks kesenian. Dengan menggunakan ketiga aspek ini secara relasional, persoalan identitas dalam persoalan kesenian diharapkan bisa dibicarakan secara lebih dinamis.
Kami pun memutuskan untuk menggunakan ketiga aspek di atas untuk melakukan identifikasi di dalam kerja eksplorasi berjalan ini. Entang Wiharso dan Arahmaiani menjadi dua individu seniman yang akan kami bicarakan. Latar belakangnya adalah semata karena kami ingin melihat praktik berkesenian yang dilakukan oleh individu seniman. Selain itu, koleksi arsip IVAA yang cukup banyak tentang mereka dan pengambilan sikap kami untuk tidak membatasi pada seniman dengan corak tradisi, menjadi alasan praktis.
Pertama, mengenai logika perbedaan, Grossberg (1996: 93) menjelaskan bahwa identitas atau arti suatu istilah sepenuhnya tergantung … pada hubungannya dengan atau dari perbedaannya, istilah lain. Artinya, konstruksi identitas seniman dan karyanya dibangun atas dasar posisinya sebagai yang berbeda. Logika semacam ini muncul dalam pemberitaan Asian Art (1997) yang membicarakan bahwa seniman-seniman Asia Tenggara tampaknya memiliki kecenderungan yang berbeda dari Barat dan Timur. Ada dua kecenderungan yang diasumsikan muncul yakni, aktualisasi diri-menunjukkan ke-aku-an dan pernyataan sosial. Seniman di area ini telah berusaha mencari identitas personal di dalam keretakan diri. Selain itu, modernisasi yang terjadi di area ini juga membuat para seniman merespon bayangan gelap modernitas yang muncul.
Ke-aku-an ini sangat terasa dari sosok Entang Wiharso. Jim Supangkat (1999: 25) dalam tulisannya yang berjudul “Entang Wiharso in The Light of Indonesian Art Discourse” menulis bahwa lukisan ekspresif Entang Wiharso memiliki hubungan langsung dengan dukungan emosionalisme Sudjojono berdasarkan realitas sosial. Karya Entang adalah kembali ke penggambaran tema-tema yang sadar sosial dan mencerminkan kontinum dalam seni rupa Indonesia modern. Namun, tetap ada perbedaan, yakni ekspresi realitas sosial Entang lebih dilihat melalui pengalaman individual, berbeda dengan Soedjojono yang berbasis pengalaman kolektif. Ketika dihubungkan dan dibandingkan dengan ekspresi Soedjojono, sosok Entang sebagai yang berbeda muncul dalam konstruksi identitasnya.
Gambar 1. Entang W. 1994. Wajah-Wajah. (145X200) Oil Paint on Canvas. Sumber: Arsip IVAA.
Dalam hal pernyataan sosial, Arahmaiani sangat kental dengan kecenderungan ini. Banyak sekali karyanya yang bicara soal permasalahan sosial, seperti wacana kapitalisme, gender, spiritualitas dan agama. Rifky Effendy (2008: 5) dalam tulisannya yang berjudul “Realisme Soedjojono dan Praktek Seni Rupa Kontemporer di Indonesia”, menuliskan bahwa seperti Arahmaiani menggunakan tubuhnya sebagai metafor korban kekuasaan gender yang berlaku dalam masyarakatnya. Sebelumnya ia pernah melakukan hal yang provokatif, dengan menjukstaposisikan objek keseharian: Al-Qur’an, Kondom, dan botol Coca-Cola, dalam sebuah kotak kaca. Walau menuai protes sekelompok orang, tapi sebagai seniman perempuan ia terus berupaya menyampaikan persoalan ketidakadilan dalam sosial-budaya reliji masyarakat. Gaya berkeseniannya ini semakin terasa ‘berbeda’ ketika banyak melakukan pameran di luar negeri, khususnya di Amerika. Atribut identitasnya sebagai seorang Indonesia, muslim, dan perempuan, memperkuat proses identifikasi dalam kekaryaannya yang banyak menyinggung persoalan sosial.
Gambar 2. Arahmaiani. 1995. Sacred Coke. Sumber: Arsip IVAA.
Kedua, mengenai logika individualitas, Grossberg (1996: 98) menjelaskan bahwa pertanyaan tentang subjek adalah perihal epistemologis, dalam arti luas dari istilah tersebut. Setiap orang berada di pusat hal fenomenologis, dan dengan demikian memiliki beberapa akses ke pengalaman, untuk beberapa pengetahuan tentang diri dan dunia mereka. Tentu saja, mungkin subjektivitas sebagai nilai yang diperlukan untuk kehidupan juga tidak terdistribusi secara merata, bahwa beberapa individu mungkin memiliki kemungkinan menduduki lebih dari satu posisi seperti itu, bahwa beberapa posisi mungkin menawarkan perspektif spesifik pada realitas yang berbeda dari yang lain, atau malah lebih dihargai.
Entang sebagai subjek secara epistemologis memiliki posisi yang tidak tunggal dalam memperoleh pengalaman. Dalam bukunya (1997: 3) yang berjudul “Entang Wiharso; Konflik, Mimpi, dan Tragedi”, ia menulis demikian,
“Dalam mencipta dipengaruhi oleh faktor dalam diri saya dan adanya persentuhan dengan di luar diri saya serta adanya mimpi-mimpi yang mengobsesi jiwa saya. Karya saya merupakan manifestasi konflik batin dalam diri saya, persentuhan dengan masyarakat misalnya adanya penindasan, perampasan hak, pemerkosaan, penipuan, dan fenomena yang terjadi di masyarakat yang mengganggu pikiran saya biasanya merupakan perilaku manusia, serta mimpi-mimpi yang bermakna (semacam firasat).”
Kekhasan karya Entang sebagai manifestasi dari konflik batin juga dikonstruksi oleh, meminjam istilah dari M. Dwi Marianto dalam tulisannya yang berjudul “Antara Warung Tegal dan Dunia Karya”, kultur masyarakat Tegal yang lugas. Dulu Entang bereksplorasi seni dan mencoba melukis dengan berbagai gaya. Salah satunya adalah gaya surealistik dengan teknik fotografi melalui goresan-goresan halus guna mencapai teknik realistik untuk masing-masing subjeknya. Namun ternyata cara ini bukan bahasanya. Cara ini tak menampung semburan kreatifitasnya. Bahasa ungkap surealistis tak mengakomodasi bahasa ekspresi ‘Tegal”-nya yang spontan, lugas, dan blek-blek-blek dengan torehan cat yang berani (Wiharso et al., 1997: 29).
Begitu juga dengan Arahmaiani. Subjektivitas sebagai seniman yang banyak mengeksplorasi isu-isu agama justru dipengaruhi oleh pengalaman dan situasi dirinya sebagai seorang muslim, yang semakin tegang sejak terjadinya peristiwa 9/11. Juga, labeling yang ditambatkan oleh dunia di luar diri ikut mengkonstruksi subjektivitasnya. Dalam katalog pameran tunggalnya di Jogja National Museum bertajuk “slow down bro…” Juli 2008, ia mengatakan,
“Aku sendiri Muslim. Aku pikir mayoritas Muslim Indonesia itu orangnya moderat dan bisa kubilang orang-orang yang cinta damai. Tapi kelompok ekstrimis ini membuat citra orang Muslim Indonesia juga ekstrem, yang aku percaya tidak benar. Inilah isu yang selama ini sedang kuutak-atik dalam karyaku. Isu ini muncul akibat tragedi 9/11, karena situasiku sendiri sudah jadi makin kompleks. Sejak itu aku dikategorikan seniman perempuan Muslim, yang mana sebelumnya aku cuma seorang seniman perempuan Asia atau Indonesia. Masuk kategori itu, selama ini kurasa, bukan posisi yang bagus-jadinya aku mesti berurusan dengan banyak isu dan situasi yang rumit.”
Gambar 3. Catatan tangan Arahmaiani. Tidak ada informasi tentang peristiwa dan waktu yang berkaitan. Sumber: Arsip IVAA.
Namun, seperti apa yang Grossberg katakan bahwa subjektivitas juga tidak terdistribusi secara merata. Entang dan Arahmaiani juga bisa dikatakan memiliki akses ke posisi yang beragam secara lebih, untuk memperoleh pengalaman melihat realitas. Hal ini sangat berhubungan dengan logika ketiga, yakni logika temporalitas (spasialitas). Seperti halnya asumsi pemikiran modern, Grossberg (1996: 100) setuju bahwa identitas adalah sepenuhnya konstruksi historis. Subjektivitas, identitas, dan agensi dibangun secara temporal. Tapi ia juga berpendapat bahwa subjektivitas itu spasial, karena melibatkan pernyataan bahwa orang mengalami dunia dari posisi tertentu. Selanjutnya dalam catatan-catatan kontemporer, diaspora menjadi fenomena yang dipertimbangkan. Grossberg (1996: 101) melanjutkan bahwa diaspora dipahami sebagai berbagai macam fenomena yang mendorong keterikatan multilokal, menetap dan berpindah; dan bahwa lokasi itu tidak netral secara politis.
Bisa dikatakan bahwa Entang dan Arahmaiani sama-sama menghidupi posisi seniman diaspora dalam waktu dan juga ruang. Sejak 1997, Entang mulai hidup di dua wilayah, Indonesia dan Amerika Serikat. Sebagai seorang seniman yang berasal dari Tegal ia harus menegosiasikan kebiasaannya di lingkungan sosial dan kesenian Amerika Serikat. Tentu tidak mudah untuk hidup di dua lokasi dengan tradisi yang berbeda. Namun, justru dengan posisi yang demikian, tidak tunggal, ia mampu menjejakkan karir kesenimanannya di kancah internasional. Begitu juga dengan Arahmaiani. Ia tidak hanya bergerak di Indonesia. Ia memiliki posisi sosial dan spasial yang beragam. Selain sebagai seniman, ia juga berperan sebagai aktivis perempuan & lingkungan, serta dosen di Universitas Passau, Jerman.
Posisi semacam ini menentukan akses untuk memperoleh pengalaman dirinya sebagai subjek. Kiprahnya bersama masyarakat Tibet sejak 2010 dalam isu lingkungan setidaknya menjadi penanda bahwa ia telah memiliki akses pengalaman yang berbeda. Bahkan, dari proyeknya ini ia menemukan koneksi antara Tibet dan Indonesia melalui perjalanan spritualnya bersama para biarawan dan lama (jabatan politik-spiritual dalam Budhisme, Tibet) di sana. Tentu, posisi sosio-spasial yang Arahmaiani miliki tidaklah netral. Sebagai contoh, dalam proyeknya di Tibet, ia bersama masyarakat di sana juga sempat mengalami ketegangan dengan pemerintah Cina. Tetapi negosiasi tanpa paradigma musuh-kawan menjadi strategi politis yang ia pilih.
Sebuah Penutup
Begitulah kira-kira bunyi pembacaan sederhana mengenai identitas yang diletakkan dalam koridor identifikasi. Bahwa konstruksi identitas seniman dalam konteks kontemporer tidak terlepas dari posisinya sebagai subjek yang berbeda, yang terus bergerak dalam dimensi waktu dan ruang secara relasional. Dalam logika perbedaan, aktualisasi diri dan pernyataan sosial menjadi kecenderungan yang muncul dari kerja kesenian Entang dan Arahmaiani. Lalu dalam hal logika individualitas, subjektivitas sebagai nilai yang penting tidak melulu terdistribusi secara merata. Entang dan Arahmaiani barangkali merupakan seniman yang memiliki akses ke pengalaman yang lebih luas. Akses ini sangat berhubungan dengan logika temporalitas (spasialitas) yang dalam konteks ini adalah fenomena diaspora yang mereka hidupi.
Sebagai bagian dari eksplorasi berjalan, pembacaan pada edisi ini menjadi refleksi tersendiri. Tanpa mengesampingkan eksplorasi edisi-edisi sebelumnya, kali ini ingin lebih jauh melihat apa yang ada di balik benak hadirnya karya-karya dengan olahan wacana tradisi. Presentasi karya dan wacana tradisi yang beredar dalam fenomena ini ternyata tak luput bicara soal identitas. Bahwa dalam situasi kesenian kontemporer yang serba beragam layaknya riuh persimpangan, kali ini kami sedang menelusuri soal identifikasi; meraba proses konstruksi identitas seniman, melukiskan wajah-wajah di persimpangan.
Referensi:
Adhidarma, Kadek Krisna. 2008. “slow down bro…”. Katalog Pameran Tunggal Arahmaiani di Jogja National Museum. Langgeng Gallery. Magelang.
Effendy, Rifky. 2008. Realisme Soedjojono dan Praktek Seni Rupa Kontemporer di Indonesia. Tidak ada informasi penerbit dan kota.
Grossberg, Lawrence. 1996. Identity and Cultural Studies: Is That All There Is?. Dalam Questions of Cultural Identity. S. Hall & P. Du Guy. Sage. London.
International Institute for Asian Studies (IIAS) Newsletter. 1997. Art in Southeast Asia-Glimpses into the Future. Spring 1997. Nomor 12. Halaman 51. Tokyo dan Hiroshima
Supangkat, Jim. 1999. Entang Wiharso in The Light of Indonesian Art Discourse. Dalam Entang Wiharso. Jim Supangkat dan Sarah E. Murray. Bentang Budaya. Yogyakarta.
Wardani, Farah., Triyanto Triwikromo, Putu Fajar Arcana, Triman Laksana, St. Sunardi, M. Agus Burhan, Kris Budiman, dan Mikke Susanto. 2003. Kumpulan Makalah ‘Sorak Sorai Identitas’. Diskusi seni Sorak-Sorai Identitas oleh Studio Budaya dan Galeri Langgeng. 20-21 Maret 2003. Magelang.
Wiharso, Entang., dan Suwarno Wisetrotomo, Jim Supangkat, Soeprapto Soedjono, Oei Hong Djien, M. Dwi Marianto, Mella Jaarsma, Heri Kris. 1997. Entang Wiharso; Konflik, Mimpi, dan Tragedi. Ruedian Graphic Design, [1995?]. Yogyakarta.
* Foto cover adalah lukisan karya Entang Wiharso, tahun 2001, berjudul Mask, in the Personal Landscape (80 x 300 cm) Karya pernah dipamerkan di Nadi Gallery
Artikel ini merupakan rubrik Baca Arsip dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi September-Oktober 2018.