Oleh Gladhys Elliona Syahutari
Seniman muda Jakarta baik yang memiliki latar belakang pendidikan seni maupun bukan sarjana seni sama-sama dapat menunjukkan eksistensinya melalui berbagai macam cara. Seniman dari masing-masing kelompok umumnya disatukan dalam sebuah jejaring seni yang kemudian berkembang menjadi sebuah kelompok khusus. Penelitian ini ingin menelusuri bagaimana kelompok seniman muda Jakarta mengakumulasi modal sosial untuk meningkatkan karier kesenian mereka dan secara khusus saya mengambil satu contoh kasus, yaitu Buka Warung, sebuah kolektif seniman muda perempuan.
Kolektif Seniman Perempuan Muda Jakarta “Buka Warung”
Buka Warung merupakan kumpulan seniman muda kelahiran dekade 1990an yang berdomisili di area Jabodetabek. Kolektif ini diprakarsai oleh kurator muda lulusan Institut Kesenian Jakarta, Gesyada Annisa Namora Siregar, pada tahun 2015. Ia mengumpulkan 17 perupa muda perempuan dari berbagai latar belakang. Proporsi jumlah seniman berimbang antara yang memiliki dan tidak memiliki latar belakang pendidikan formal seni. Kisaran usia seniman yang tergabung dalam kolektif ini adalah 17-21 tahun dan sebagian besar masih berstatus mahasiswi. Pameran pertama mereka dilakukan di Ruru Gallery yang waktu itu bertempat di Tebet, Jakarta Selatan, pada tanggal 22 Mei sampai 5 Juni 2015. Pada Maret 2016, Buka Warung kembali menggelar pameran yang lebih bersifat interaktif, kali ini bekerja sama dengan Qubicle Center. Dari dua pameran tersebut, Buka Warung cukup mencuri perhatian pemuda Jakarta yang menyukai seni, serta dilihat potensinya oleh berbagai kalangan pegiat seni yang lebih dahulu memiliki kiprah yang luas. Pameran seni terbaru yang dilakukan oleh Buka Warung berlangsung pada bulan Desember 2017. Bekerja sama dengan Dewan Kesenian Jakarta, mereka mengangkat tema tentang perempuan sebagai pekerja dan penanggung rumah tangga.
Perjalanan Buka Warung kemudian tidak lepas dari agenda pengembangan wacana seniman di Jakarta. Perwujudannya berupa pendidikan informal yang terikat pada kolektif tertentu maupun independen. Dalam kasus Buka Warung, kegiatan tersebut berupa kelas-kelas tertutup, ikut ke dalam pameran besar di kancah ibukota dan kurasi seniman senior untuk dihubungkan pada program pendanaan internasional tertentu. Segala aktivitas itu tentu memberi keuntungan bagi pemajuan karya dan ide yang ditawarkan oleh Buka Warung.
Setelah beberapa kali berpameran, dukungan dan pengakuan institusi yang memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan seni kontemporer menjadi sumber daya Buka Warung. Pengakuan tersebut tentu membuka kesempatan yang lebih besar untuk berproses seni secara internasional. Buka Warung menjadi bagian dari Sindikat Campursari, sebuah inisiatif seni rupa antar negara-negara Asia Tenggara dan Jepang dari Japan Foundation yang dibentuk pada tahun 2017. Inisiatif ini dikuratori oleh Ade Darmawan dan Iida Shihoko.
Capaian dan portofolio pameran yang dijalankan oleh kolektif Buka Warung sebagai kolektif yang baru dibentuk dapat dikatakan cukup pesat. Dalam kurun waktu empat tahun, Buka Warung telah masuk ke jaringan seniman internasional dan telah memiliki eksistensi di kancah seni rupa ibukota. Perkembangan ini tidak lepas dari latar belakang kerja berjejaring yang dilakukan oleh kolektif ini sebagai pengumpulan modal sosial untuk mengembangkan karier seni kolektif maupun orang-orang di dalamnya.
Akumulasi Modal Sosial
Penulis melakukan studi statistik kecil mengenai dinamika jejaring seniman muda baru, yang dimaksudkan untuk memperbaharui data dan gambaran fakta lapangan mengenai pergaulan kesenian di Jakarta. Data diambil dari pengisian survei 20 orang perupa muda Jakarta berusia 20-28 tahun. Sebagian besar dari partisipan, yaitu berjumlah 14 orang, memulai karier seni karena memiliki latar belakang pendidikan seni dan memiliki teman yang merupakan sesama seniman atau kurator; terdapat 12 orang yang juga mencari koneksi secara mandiri. Sebanyak 15 orang seniman muda tergabung dalam sebuah kolektif seni. Data ini menggambarkan bagaimana sebagian besar seniman muda mengandalkan jaringan dan keanggotaan untuk melangsungkan perkembangan kariernya di kancah seni Jakarta.
Dalam sebuah medan seni atau medan sosial secara umum, menurut Bourdieu, ada berbagai jenis modal yang dikumpulkan dan dipertaruhkan untuk bertarung. Modal tersebut antara lain yang bersifat ekonomis, kultural, dan sosial. Dalam konteks kerja berjejaring, akumulasi modal sosial menjadi sorotan utama. Modal sosial sendiri memang terdiri dari seberapa banyaknya seseorang mampu mengumpulkan jaringan dan keanggotaan kelompok.
Medan sosial dideskripsikan oleh Pierre Bourdieu sebagai ruang dan sistem yang multidimensional di mana pelaku di dalamnya saling merespons dalam suatu nilai yang disetujui. Singkatnya, medan sosial adalah tempat di mana seseorang dianggap tepat berada di situ dengan segala kesamaan maupun perbedaan dengan para pelaku sosial lain dalam kelompok. Bourdieu mengumpamakan medan sosial sebagai meja judi; yang kemudian bisa diartikan bahwa keberadaan seseorang dalam medan sosial tidak hanya ditentukan oleh seberapa banyak modal yang ia miliki namun juga keuntungan ekonomi dan politik lain yang bisa ia dapatkan dengan mengikuti aturan yang berlaku.
Modal sosial juga identik dengan pengumpulan simbol sebagai bahan untuk mengembangkan jejaring sekaligus sebagai bentuk investasi pengembangan modal itu sendiri. Dengan kata lain, pelaku sosial atau agen sebenarnya bertujuan mendapatkan posisi simbolik di sebuah medan. Investasi sosial untuk posisi simbolik – yang diakumulasi dalam jejaring – kemudian diperluas dengan adanya kegiatan pertukaran modal. Dari aktivitas tersebut akan tumbuh pengertian dan pengakuan yang saling timbal balik (mutual cognition and recognition).
Afiliasi dengan sebuah kelompok punya nilai penting karena afiliasi merupakan salah satu bagian nyata dari kepemilikan modal sosial, yang berfungsi untuk mempermudah dalam membangun jejaring yang lebih luas. Perluasan yang dilakukan dalam membangun jaringan sosial kemudian akan menentukan posisi sosial seseorang dalam medan yang ada. Adanya kesamaan ide, rasa saling memiliki representasi, interpretasi, dan sistem pemaknaan tertentu yang mewujud menjadi akumulasi pengetahuan juga menjadi suatu modal kuat bagi seseorang untuk mengakumulasi modal sosial. Terdapat dua ciri penerapan kapital sosial menurut Bourdieu: pertama, keanggotaan terhadap suatu kelompok dan jaringan tertentu; kedua, adanya timbal balik pengakuan dan pengertian. Bourdieu dan Wacquant mendeskripsikan kapital sosial sebagai jumlah dari sumber daya secara nyata maupun maya yang mampu mengakumulasi nilai seseorang atau sebuah kelompok. Nilai tersebut – dalam bentuk jejaring – diharapkan menjadi sesuatu yang bertahan secara jangka panjang. Kesamaan pengetahuan dan pengakuan dalam suatu kelompok akan mengikat setiap orang dalam masuk dalam jaringan. Jejaring tersebut kemudian, kurang lebih, akan terinstitusionalisasi sehingga mempermudah pembentukan struktur kesamaan dan pengakuan yang ada.
Keuntungan besar yang diraup dari menjalin sebanyak mungkin hubungan dengan orang lain akan mempermudah dukungan sosial sebagai modal seseorang atau institusi untuk dihormati. Bourdieu menegaskan bahwa keuntungan yang dimiliki akan memperluas kembali sumber daya yang mudah diakses dan terlihat untuk menarik klien potensial dengan posisi yang jauh lebih terhormat. Pada akhirnya, posisi dan jaringan akan menjadi ‘mata uang’ dalam menapaki karier yang membutuhkan dukungan sosial yang lebih luas.
Pada dasarnya, kembali ke prinsip kapital secara umum: modal seminim mungkin diharapkan akan menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya. Akumulasi modal sosial juga dilakukan dengan prinsip yang sama. Modal sosial bukan hanya jaringan pertemanan tetapi juga kemudahan akses. Banyaknya relasi akan mempermudah akses dalam menghubungi orang yang tepat untuk pemenuhan kebutuhan secara cepat – ini tentu serupa dengan kepercayaan bahwa kerja lebih cepat akan menghasilkan produk yang baik. John Field berargumen bahwa modal sosial bukan tentang berapa banyak jumlah orang yang berada di jaringan, tetapi siapa saja yang ada di dalamnya. Keuntungan sosial ada ketika seseorang atau sebuah institusi memiliki akses terhadap orang yang bertujuan sama. Teori ini menggambarkan dinamika jaringan kerja kolektif dan pembangunan wacana antar seniman – bahwa mereka yang memiliki modal, tujuan, dan pengetahuan serupa dapat dengan mudah berkolaborasi dan mengembangkan keberadaannya dalam kancah seni.
Buka Warung dan Modal Sosialnya
Sebagai sebuah kolektif yang baru dirintis sekitar tiga tahun, Buka Warung tentu memiliki kesadaran pentingnya mempertahankan keberadaan mereka. Dengan tujuan untuk mengembangkan sebuah kolektif yang konsisten dan produktif, salah satu cara yang dilakukan adalah mengakumulasi sebanyak mungkin sokongan dari berbagai macam stakeholder. Jaringan-jaringan yang dimasuki oleh Buka Warung meluas, mulai dari penikmat pameran, media, hingga pelaku seni senior. Nongkrong dan memanfaatkan berbagai macam kemampuan kerja budaya menjadi alat lainnya dalam mengembangkan karier kesenian. Bergabung dalam acara kesenian, misalnya dalam pembukaan pameran, ikut lokakarya, maupun obrolan santai antar teman adalah cara yang sering sekali dilakukan para seniman muda Buka Warung dalam memperluas jejaringnya. Kemampuan multitasking yang ditunjukkan kepada jejaring sosial juga sangat penting dalam kontribusi di kancah seni. Tak hanya memiliki jaringan tapi kemampuan kerja non-artistik dalam bidang seni rupa membuat seniman muda dapat menapaki jenjang karier seni. Diakui oleh Gesyada, seniman dan kurator yang memiliki kemampuan beragam lebih mudah dalam mengambil banyak kesempatan dalam pergaulan seni. Kembali lagi ke teori yang diungkapkan oleh Field, menjangkau sumber daya manusia yang paling mudah diakses tentu meringankan usaha produksi pengetahuan dan/atau kerja kebudayaan. Misalnya, seorang seniman yang mampu berkomunikasi dengan bahasa Inggris secara lancar serta piawai mengerjakan notulensi akan lebih mudah ditawari pekerjaan dalam bidang kesenian, yang kemudian membuka jalannya untuk dapat menunjukkan karya pribadinya.
Salah satu makna berjejaring bagi Buka Warung, menurut Dinda Larasati sebagai salah satu anggota awal, adalah rasa keberbagian. Jaringan juga dibangun atas dasar rasa kebersamaan sebagai perempuan yang memiliki pandangan serupa mengenai kekerabatan serta mengingat adanya persamaan latar belakang keadaan keluarga. Berjejaring dilakukan dengan tujuan utama mengaktualisasi individu dalam kelompok. Memperkuat jaringan di luar organisasi juga merupakan cara merawat hubungan internal kolektif untuk memotori kerja seni yang lebih konsisten. Untuk itulah, kurasi anggota untuk pembentukan kolektif juga didasarkan pada jaringan yang dimiliki oleh seniman tersebut secara individu.
Kerja dan pemaknaan atas jaringan, seperti disebutkan di atas, memperlihatkan bahwa modal sosial juga terhubung langsung dengan modal budaya dan modal ekonomi. Sebagai contoh, seniman atau kurator kolektif yang memiliki kemampuan dan pengetahuan cenderung lebih mudah mengumpulkan modal sosial. Sokongan modal budaya untuk mempermudah akumulasi modal sosial akan membuka jalan sebuah kolektif untuk mendapatkan dukungan ekonomi dari berbagai pihak. Memperluas modal sosial dalam medan seni memerlukan berbagai jenis modal pendukung, antara lain kemampuan finansial, kelonggaran waktu, hingga afiliasi khusus dengan institusi seni. Beberapa contoh lain juga dapat dilihat dari bagaimana Buka Warung mendapat akses terhadap ruang-ruang seni di Jakarta seperti Qubicle, serta terhubung dengan kurasi oleh dana internasional. Dukungan-dukungan tersebut kemudian meningkatkan mutual cognition and recognition, yang menguntungkan tidak hanya Buka Warung tetapi pemangku kepentingan lain di medan sosial seni Jakarta.
Buka Warung melakukan akumulasi modal sosial yang cukup luas. Mereka pada awalnya tidak bermaksud untuk menjadi cabang kolektif tertentu atau bentuk regenerasi. Sejak pembentukannya pada tahun 2015, Buka Warung telah didukung oleh Ruang Rupa untuk menggelar pameran pertamanya. Pameran tersebut memang menyedot perhatian publik dan berbagai media massa. Buka Warung memiliki hubungan yang kuat dengan Ruang Rupa. Atas prakarsa Gesyada Siregar sebagai kurator, pameran Buka Warung yang pertama dilakukan bersama dengan 17 perupa muda perempuan di Ruang Rupa. Menurut penilaian kritik seni dan ulasan dari salah satu media, pameran tersebut kurang bagus karena maksud wacana yang disampaikan tidak begitu jelas. Mengutip ulasan Whiteboard Journal, pameran pertama Buka Warung dianggap belum sempurna, namun merupakan sebuah bentuk laboratorium trial and error karena memang kolektif ini terdiri dari seniman berbagai latar belakang pendidikan. Walau mendapat kritik, Buka Warung malah semakin mengembangkan diri lewat program pendidikan di dalam kolektif, kemudian menunjukkan eksistensinya dalam pameran yang digelar di tahun selanjutnya. Dari pameran selanjutnya, Buka Warung mulai mendapat banyak simpati dan pengakuan yang lebih luas.
Buka Warung baru berpameran kembali pada pertengahan tahun 2016. Kali ini, mengacu pada evaluasi pameran sebelumnya, format yang disajikan cukup berbeda. Pameran bertajuk “Why Can’t We Be Friends” dilaksanakan bekerja sama dengan Qubicle Center, tempat acara itu diselenggarakan. Qubicle Center sendiri merupakan galeri yang berafiliasi dengan sebuah perusahaan energi besar. Pameran tersebut dilakukan dengan cara interaktif dan menjangkau penikmat seni rupa dari kalangan yang lebih luas. Salah satu perupa yang juga merupakan anggota band Bedchamber yang tengah naik daun bahkan memperluas pengaruhnya dengan tampil di pameran tersebut bersama beberapa band lain di bawah label Kolibri Records. Akumulasi modal sosial yang terjadi tidak hanya di dalam kancah seni rupa saja, tetapi mulai lintas jenis kesenian. Di sini juga terjadi pertukaran konsumsi produk seni antara rupa dan musik. Pameran dilakukan dengan mengajak pengunjung mewarnai mural dan mengikuti beberapa lokakarya interaktif kecil. Keberadaan pameran ini memang sebuah bentuk pesan yang nyata dari Buka Warung untuk melakukan perluasan jaringan.
Interaksi dengan penikmat seni kemudian menjadi salah satu ciri khas baru Buka Warung. Mereka seakan melakukan seni performatif di setiap kerja seni yang mereka lakukan. Terkurasinya mereka dalam Sindikat Campursari oleh Japan Foundation Asia Center memberi warna baru pada program internasional tersebut. Buka Warung berhasil menarik perhatian dengan, misalnya, membuat roti bakar dengan setrika dan membuat booth foto bertema putri duyung. Buka Warung bahkan memperluas jaringan mereka dengan pengunjung dan mendekatkan seni rupa pada khalayak luas.
Anggota Buka Warung banyak merupakan mahasiswa Institut Kesenian Jakarta, sehingga mereka juga dekat dengan pihak bagian Seni Rupa Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Gesyada sendiri lulusan dari lokakarya Kurator Muda DKJ. Selain itu, pameran Buka Warung yang terakhir pada Desember 2017 digelar di Taman Ismail Marzuki oleh DKJ dalam tajuk “Tulang Punggung” bersama kolektif Rajut Kejut.
Tabel 1. Jaringan mitra Buka Warung
Buka Warung memang belum mendapatkan penghargaan resmi dari institusi tertentu, tetapi jaringan yang mereka bangun kemudian memberi mereka pengakuan dalam berbagai bentuk. Misalnya, seperti disebutkan sebelumnya, dengan masuk ke kurasi program Sindikat Campursari yang didanai oleh Japan Foundation. Buka Warung yang tadinya hanya menjangkau kancah seni Jakarta saja kemudian menambah jaringan dan kemampuannya untuk bekerjasama dengan seniman lain di seluruh Asia. Tentu hal ini menjadi semacam legitimasi keberhasilan perubahan modal sosial ke modal simbolik yang cukup besar efeknya. Dengan pengakuan yang didapat secara regional dan internasional, Buka Warung sudah cukup dikenal di kalangan seni rupa Jakarta. Dari data yang saya ambil melalui survei daring, Gesyada Siregar disebutkan oleh setidaknya seperempat dari partisipan survei sebagai pegiat seni yang aktif berproses bersama dengan seniman lain.
Gesyada merasa diuntungkan dengan relasinya dengan pihak Ruang Rupa dan aktivitasnya di kancah seni selama dua-tiga tahun sebelumnya. Seniman muda Jakarta datang dari latar belakang pendidikan seni memiliki teknik dan kemampuan seni yang mumpuni, namun tanpa jaringan relasi sosial yang kuat serta kerja akumulasi modal sosial, karier keseniannya belum tentu konsisten. Modal sosial memang terlihat dikumpulkan secara bersama-sama sebagai satu kolektif, tetapi pada akhirnya, akumulasi dilakukan oleh perseorangan dalam kelompok. Jumlah seniman yang berpartisipasi secara aktif dalam Buka Warung mengalami penurunan; utamanya yang bertahan mereka yang memiliki pendidikan seni formal.
Melalui cara-cara yang diterapkan, Buka Warung memperlihatkan bahwa dinamika seniman muda di Jakarta berbasis pada survival of the fittest berdasarkan modal sosial yang didukung modal budaya yang ada. Membangun jejaring dan mempertahankannya sangat penting untuk tetap menjalankan karier di kesenian secara konsisten. Pada akhirnya, kesempatan yang didapatkan oleh kolektif Buka Warung diperoleh lewat kerja berjejaring secara aktif dan melalui hubungan informal terlebih dahulu. Apa yang dilalui kolektif ini menggambarkan bahwa memaparkan diri dalam jaringan memegang peranan kunci dalam perkembangan karier kesenian.
Daftar Pustaka
Bordieu, Pierre. 1985. The Social Space and The Genesis of Groups. Theory and Society 14 (6). Berlin: Springer
Bordieu, Pierre. (1986) The Forms of Capital. Cultural theory: An anthology. New Jersey: Wiley
Darmawan, Ade (Ed.). 2017. Condition Report: Sindikat Campursari. Jakarta: The Japan Foundation Asia Center
Field, John. 2003. Social Capital. New York: Routledge
Mumtaz, Fairuzul (Ed.) Jejak: Seni dan Pernak-pernik Dunia Nyata. Yogyakarta: Indonesian Visual Arts Archive
Siisäinen, Martti. 2000. Two Concepts of Social Capital. Dublin: ISTR Conference Proceedings.
Sumber online
Dari Ace House Hingga Grafis Minggiran, Inilah Kolektif Seni Penting di Indonesia
http://jakartabiennale.net/2015/curatorslab/benny-wicaksono-seni-dan-kurator/
http://www.provoke-online.com/index.php/lifestyle/event-agenda/5513-why-can-t-we-be-friends-dari-buka-warung
https://dkj.or.id/program/proyek-seni-perempuan-perupa-tulang-punggung/
Menyoroti Buruh Perempuan dalam Program Proyek Seni Perempuan Perupa 2017
Narasumber
Wawancara dengan Gesyada Annisa Namora Siregar, Depok, 18 Agustus 2018
Wawancara dengan Dinda Larasati, Depok, 26 Oktober 2018
Artikel ini merupakan rubrik Baca Arsip dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi November-Desember 2018.