oleh Sukma Smita dan Hardiwan Prayogo
Situasi pandemi, beberapa wilayah sempat melakukan karantina mandiri, jalanan juga sempat sepi, malam terasa lebih cepat datang daripada biasanya. Mudah ditemui berita pembatalan atau penundaan suatu pergelaran kesenian. Namun di sisi lain, setidaknya dari bulan Maret-Mei, IVAA mengarsipkan berbagai bentuk aktivitas seni budaya yang berupaya terus hidup. Berbagai pameran dan pertunjukan tetap digelar, yang tentu saja dengan banyak penyesuaian. Istilah pameran atau pertunjukan virtual menjadi sangat tidak asing. Praktik presentasi artistik seniman menggunakan medium online bisa dikatakan semacam fenomena viral yang menyebar dan menggandakan diri sebagai siasat bersama dan upaya penyesuaian situasi hari ini.
Situasi ini seperti menjadi ilustrasi dari yang pernah ditulis Slavoj Zizek dalam buku Pandemic! (2020). Zizek menyebut bahwa sebelumnya definisi virus dan viral kerap merujuk pada virus digital yang tanpa disadari menginfeksi web-space. Dalam keseharian istilah viral juga kerap dikaitkan dengan berita atau informasi yang menyebar luas dalam media digital. Maka ada situasi yang barangkali tepat jika disebut kontras, dunia nyata yang sempat sunyi, bersanding dengan dunia maya yang ramai. Masing-masing dari kita tentu bisa menuliskan lebih dari satu acara, baik diskusi via live instagram, webinar, hingga live streaming music yang terlewatkan entah karena lupa atau jadwal yang bertabrakan. Masing-masing dari kita pasti memiliki cerita yang berbeda-beda, tetapi untuk mengawali tulisan, kami ingin memberikan beberapa pameran virtual yang terarsipkan.
Pameran Tunggal Yaksa Agus, “Titir”
Titir adalah alarm sosial yang dibunyikan ketika akan datang suatu pageblug, baik bencana alam maupun wabah penyakit. Pameran diadakan secara virtual, dengan menggunakan akun sosial media yaitu laman facebook (Yaksa), instagram (@yaksapedia), dan twitter (Yaksapedia@studioBodo).
“Farid Stevy, 120 Hour in Social Distancing”
Menurut Farid keterbatasan adalah sumber dari segala kreativitas. Social-physical distancing seharusnya jadi privilese besar bagi para kreator yang harus dimanfaatkan semaksimal mungkin. Menjadi abnormal adalah normal yang baru. Social-physical distancing yang membuat para kreator terpaksa mengambil jarak itu biasa. Farid mengajak teman-teman untuk “stay action” lewat berbagai kreasi dalam menghadirkan karya baru. Proyek seni “Farid Stevy, 120 Hour in Social Distancing” dilaksanakan dari 22 hingga 27 Maret 2020.
“Jaga Jarak” Vituart Solo Exhibition Kuart Kuat
Pameran tunggal Kuart Kuat ini berjudul Jaga Jarak, menampilkan karya Kuart melalui akun instagram @kuartkuat. Konsep ruang pamer virtual sengaja dipilih karena merespon situasi pandemi covid 19 ini.
Pameran Tunggal Temanku Lima Benua “May Day”
Pameran Tunggal Temanku Lima Benua berjudul May Day. Diselenggarakan pada 1 Mei melalui akun instagram @genz.exhibition, bertepatan dengan hari buruh internasional. Judul pameran yang dipilih disesuaikan dengan momentumnya dan karya-karya yang ditampilkan berusaha merepresentasikan isu tersebut.
Pameran Amal Covid-19
Dalam rangka menyikapi dampak pandemi Covid- 19, Ruang Dalam, NalarRoepa dan Lesbumi DIY menggelar pameran seni rupa virtual. Pameran ini bertujuan untuk amal/ membantu masyarakat yang terdampak pandemi Covid-19. Sebanyak 82 seniman-perupa memamerkan 130-an karya dua-tiga matranya. Pameran amal ini dilaksanakan mulai 15 Mei-15 Juni 2020 menggunakan sistem online (virtual) di akun instagram @pameranamalc19
Pameran Online Seni Rupa “Tahun Kembar”
Pameran komunitas seniman Gunungkidul, ABDW ini secara garis besar mencatat proses manusia beradaptasi dengan situasi pandemi, sekaligus refleksinya. Judul pameran Tahun Kembar, mengambil refleksi atas catatan arsip soal keberadaan “kejadian” di masa lampau, yang kadang terlupa. Piweling dalam serat Joyoboyo mengingatkan pada rujukan tahun-tahun dengan angka sama, dimulai tahun 1212 sampai tahun 2020. Tahun 2020 ini manusia mengalami Pandemi covid-19, perubahan besar kehidupan manusia yang melambat secara fisik karena wabah yang menyebar di seluruh dunia. Pameran ini bisa disaksikan di instagram @abdwproject dan ruang virtualnya di https://bit.ly/36gStoi
Yayasan Mitra Museum Jakarta Peduli
Menghadapi dampak dari Covid19, Yayasan Mitra Museum Jakarta @mitramuseumjkt , berinisiatif melakukan gerakan dukungan kepada para seniman dan komunitas melalui gerakan #YMMJpeduli pada 12-22 Mei 2020, mengusung 40 karya dari 30 seniman asal Bali, Bandung, dan Yogyakarta. Hasil dari penjualan koleksi lukisan akan 100% diberikan kepada para seniman, artisan, dan para pekerjanya.
Covid Affects Art 2020
Seni yang dianggap sebagai catatan jaman beserta konteks yang mengiringinya, merasa perlu juga mencatat situasi krisis karena pandemi ini. Pameran ini berkonsep virtual exhibition tour, jadi menggunakan e-katalog sebagai media sekaligus ruang pamer lebih dari 180 seniman. Tidak ada akun tersendiri untuk pameran ini. Karya dipamerkan pada masing-masing akun sosial media seniman.
Pameran Virtual Fotografi Historis Bung Karno: Budaya/Seni
Dilaksanakan guna turut serta memperingati bulan Sukarno dan Pancasila pada Juni 2020. Pameran ini menyajikan 30 foto terkait Sukarno dan budaya/seni, ditambah dengan 15 karya seni rupa sebagai konten pendukung pendukung, seperti karya Basoeki Abdullah, Dullah, Lee Mang Fong, Dukut Hendronoto, F. Sigit Santoso, Galam Zulkifli, Galuh Tajimalela, Maspoor Ponorogo, Rina Lukis Kaca, dan lain-lain. Pameran virtual ini dibuka dengan sambutan dari Hilmar Farid, Mikke Susanto, dan Judi Wahjudin. Acara ini menyelenggarakan pameran virtual di akun IG dan FB balaikirti. Selain itu juga diadakan kompetisi imagi digital Bung Karno.
Pameran “Virtual Affordable ’07”
Pameran ini merupakan bentuk solidaritas dari perupa seni lukis ISI Yogyakarta angkatan 2007. Pameran virtual di akun instagram @virtualartexhibition ini juga bertujuan untuk amal untuk seniman terdampak covid-19.
Pameran di Rumah Saja
Sica.asia menggelar pameran online sebagai respon atas situasi covid-19. Pameran ini memanfaatkan media digital sebagai ruang pamer yang bisa diakses semua kalangan. Karya-karya yang ada dalam pameran virtual ini tidak secara eksplisit membicarakan situasi pandemi Covid-19.
Pameran Potret: Tak Kenal Maka Tak Sayang
Ada banyak wacana mengenai praktik melukis maupun membuat potret yang dicatat para ahli, mulai dari patung batu hingga fotografi, yang klasik hingga yang kini. Maka meneropong praktek seni lukis potret dari jaman ke jaman berarti juga menelaah dan merefleksikan kondisi manusia pada konteksnya. Dua seniman: @jamilsupriatna7694 dan @toni_antoniuz seolah menyumbang nilai berbeda pada seni lukis potret. Pameran ini bisa dilihat di instagram @orbitaldago
Peace in Chaos
Pameran ini berawal dari art project yang sudah berjalan pada beberapa bulan sebelumnya. Lahir dari keresahan tatanan sosial atas dunia seni khususnya bagi seniman difabel. Seiring berjalannya waktu beberapa rencana harus berubah dan menyesuaikan kondisi yang tengah terjadi dan memunculkan tema Peace in Chaos. Pameran Virtual ini ingin tetap menjaga asa dan berdamai dalam kondisi pandemi.
Sumur di Ladang
Sumur di Ladang menerapkan pola berbeda dari yang pernah dikerjakan. Pola tersebut yaitu seseorang menggambar sketsa, selanjutnya sketsa difoto atau di-scan dan dikirimkan melalui WhatsApp (WA) ke Sanggar Cetak Gen Druwo (SCGD) untuk dibuatkan klise cetak hingga proses cetak. Pembuat sketsa dengan penyetak adalah dua pihak atau orang yang berbeda. Metode ini dipilih sengaja karena alasan pembatasan sosial di era pandemi.
Inside Maya
Sebuah pameran yang digelar oleh Adhik Kristianto dan Agus Cavalera yang akan diselenggarakan secara online dan offline. Pameran ini mencoba merespon situasi yang kerap digaungkan, yaitu new normal. Pameran ini bisa diakses melalui instagram @barbaradoz dan linktr.ee/INSIDE.MAYA.2020.
Montage: Found Object
Situasi pandemi yang memaksa orang berdiam di dalam rumah, membuat orang mengingat kembali bahwa ruang-ruang privat menyimpan artefak kultural penghuninya. Pameran fotografi ini menampilkan benda-benda rumahan yang dipotret menjadi bahasa visual. Pameran ini bisa diakses melalui instagram @milisifilem
klik gambar di atas untuk melihat infografis dengan lebih jelas
Setiap pameran tentu memiliki narasi masing-masing, terutama jika melihat karyanya secara formalis. Ada yang memang secara tegas menjadikan covid-19 sebagai tema, ada yang tidak, tetapi ada juga yang memanfaatkan (dalam artian positif) situasi berjarak ini seperti proyek Farid Stevy, 120 Hour in Social Distancing. Berbeda kasus jika jadwal pameran memang sudah lama dirancang jauh-jauh hari. Tetapi tidak sedikit pula yang dilaksanakan semata-mata untuk bereaksi terhadap situasi pandemi. Apakah para seniman memiliki ketakutan untuk hilang dari peredaran di masa pandemi ini? Atau semata karena kebutuhan praktis untuk memenuhi kebutuhan?
Selain guliran perhelatan seni berbasis virtual, penulis dan pengamat seni juga kemudian banyak membaca praktik artistik perubahan medium presentasi ini. Sejauh yang bisa kami arsipkan barulah yang membandingkan ruang pameran/ pertunjukan online/ offline-streaming/ live. Beberapa di antaranya bisa diakses pada tautan ini. Kami juga mengumpulkan arsip kliping media cetak dan digital tentang seni masa corona secara umum, daftarnya bisa diakses pada link berikut.
Argumen yang beredar atas situasi ini memang menarik, terutama pendalaman atas perubahan medium dan perbandingannya. Tetapi jika direnungkan kembali, dalam situasi pandemi yang mengakibatkan pembatasan sosial dan kerumunan, masih relevankah membandingkan keduanya? Dengan kata lain, orang bukannya tidak mau menggelar pameran offline/ fisik, atau live performance, tetapi tidak bisa. Mau tidak mau, maka siasat yang dilakukan adalah memanfaatkan teknologi telekomunikasi dan media sosial untuk tetap mempertemukan karya-karya seniman dengan publik. Ada persoalan jarak yang coba diretas dengan teknologi. Lantas benarkah kehadiran teknologi telekomunikasi dan medium virtual menjawab persoalan jarak ini?
Interaktivitas dan Kolaborasi
Demi merefleksikan praktik artistik dengan medium virtual ini, menjadi menarik untuk melihat sedikit ke belakang sejauh apa seni berbasis medium digital ini telah dipilih oleh seniman sebagai media presentasi. Dari beberapa peristiwa seni, setidaknya IVAA memiliki catatan arsip bahwa presentasi karya berbasis virtual bukanlah hal baru. Pertama adalah Agan Harahap.
Agan menempatkan akun instagramnya @aganharahap sebagai ruang pamer pribadinya, sebagaimana pemaknaan publik atas fungsi Instagram, layaknya jurnal aktivitas pribadi yang terbuka untuk publik. Agan melakukan self-curating dan menentukan karya seperti apa yang bisa ditampilkan untuk dua pilihan ruang pamer, offline dan online. Lebih jauh Agan menempatkan karya fotonya sesuai logika kerja sosial media hari ini hingga interaktivitas penggunanya. Dengan kata lain, instagramnya digunakan untuk memberi tahu orang tentang aktivitas sehari-hari, namun dengan sentuhan manipulasi foto dan caption yang naratif.
Jika salah satu dampak dari pandemi ini adalah membuat orang mencoba mempermainkan keadaan dengan teknologi, pameran Influx: Strategi Seni Multimedia di Indonesia tahun 2011 bisa menjadi contoh kedua tentang bagaimana teknologi menjangkau wilayah-wilayah personal, termasuk kerja para pelaku seni. Acara yang digelar di Taman Ismail Marzuki ini bertepatan dengan peringatan 10 tahun Ruangrupa. Influx menampilkan berbagai macam karya seperti seni bunyi, seni instalasi, dan yang terbanyak adalah seni video dengan berbagai media presentasi. Memang sulit membandingkan pameran yang masih bisa diselenggarakan secara fisik, dengan situasi sekarang yang memaksa pameran hanya bisa digelar secara online/ virtual. Namun satu yang tampaknya bisa menambah panjang nafas obrolan tentang seni masa pandemi adalah wacana estetik pada media dan teknologi.
Salah satu peserta pameran, Krisna Murti, menilai bahwa gagasan utama dari multimedia adalah interaktivitas (keterlibatan langsung dengan publik). Keterlibatan ini dilakukannya melalui karya (Miss) Call Me Please. Sebuah karya yang mengajak publik untuk melakukan miss call pada ponsel yang terpasang pada unit karya instalasinya untuk menghasilkan bunyi angklung. Pada masa pandemi ini, interaktivitas melalui teknologi semacam ini juga dilakukan oleh Papermoon Puppet Theatre pada karya (In Your Pocket) Story Tailor. Dikutip dari harian Kompas 1 April 2020, Papermoon mengajak penonton dari rumah untuk mengusulkan satu tema cerita sesuai keinginannya. Tema ini kemudian akan dijahit oleh Papermoon dengan dua tema lainnya menjadi sebuah pementasan pendek selama 5-7 hari. Pementasan ini direkam dan dikirimkan langsung ke ponsel setiap penonton.
Selain soal interaktivitas, hal lain yang bisa mulai diretas atas adalah kolaborasi. Sapto Rahardjo menandai jaman perkembangan teknologi ini pada Multimedia Performance “Seni untuk Bumi, Membawa Tradisi Menuju Pencerahan” dengan kolaborasi lintas bidang. Pertunjukan tersebut mengkombinasikan antara live dengan tidak live. Sapto berkolaborasi dengan suara pesinden Bei Mardusari, penulis berkebangsaan Perancis Elizabet, seniman asal Amerika Ray Weisling, komponis Alex Dea, siswa kelas VI SD Berbah Panggah, pemain kendang tunggal Sujud Sutrisno, Jompet Kuswidananto, “tarian” lampu senter dan layar ponsel dari ratusan penonton yang duduk di tribun. Seluruh atraksi dimunculkan di layar dengan alunan musik campur, plus aneka sound effect dari komputer.
Kurang lebih demikian jalannya pertunjukan yang diliput oleh harian Kompas, yang terbit pada Selasa 14 November 2006. Pertunjukan yang merupakan bagian dari Festival Seni Pertunjukan Internasional tahun 2006 ini mencoba ingin senantiasa mengeksplorasi seni tradisi melalui kolaborasi dengan bantuan multimedia untuk menghasilkan sesuatu yang baru. Ambisi demikian bisa saja terwujud pada masa pandemi ini.
Tuntutan Pandemi = Replikasi Ruang Nyata ke Ruang Virtual?
Contoh praktik yang memuat kata kunci interaktivitas dan kolaborasi tentu masih sangat banyak jika mau ditelusuri. Bisa diartikan praktik seni berbasis teknologi ini bukan hal baru. Praktik presentasi ini menjadi seperti virus yang viral karena tuntutan situasi hari ini. Barangkali tuntutan situasi lah yang membuat orang seolah melihatnya sebagai temuan baru.
Brigitta Isabella dalam webinar Estetik dan Politik: Kontinum di Ruang Krisis, mengamati bahwa ada upaya mereplikasi white-cube dalam pameran virtual. Artinya seniman memiliki bayangan interaksi karya dengan publiknya, bahkan dalam pameran virtual pun masih mereplikasi logika white cube. Dengan kata lain, imajinasinya dilandasi atas ruang virtual yang hadir untuk mereplikasi ruang nyata. Coba lihat lagi contoh-contoh pameran di atas, masih digunakannya tanggal pembukaan-penutupan, seremonial pembukaan dan sambutan, hingga dibuatnya ruang pamer virtual. Belum ditemukan upaya memanfaatkan fitur-fitur khas yang dimiliki oleh media sosial ini. Bahwa benar tema dan narasi pameran berusaha kontekstual, namun jika wacana mengenai teknologi bisa diperdalam tidak hanya soal peretas jarak, wacana seni masa pandemi nampaknya bisa lebih reflektif dan beragam. Interaksi publik dan kolaborasi pada karya rasanya perlu semakin dielaborasi pada masa pandemi ini, yang sekali lagi harus diingatkan bahwa, pembatasan sosial membuat manusia dipaksa berinteraksi melalui medium teknologi, khususnya ponsel.
Namun dibalik itu semua sebenarnya apa yang ada di benak para pelaku seni di masa pandemi ini? Apakah secara tidak sadar ada tuntutan bahwa seniman adalah orang yang bertugas harus dengan cepat merespon situasi aktual secara artistik? Atau semata-mata karena hal praktis soal pemenuhan kebutuhan finansial? Pertanyaan-pertanyaan ini bisa saja digunakan sebagai afirmasi bahwa aktivitas seni di ruang-ruang virtual ini hanyalah P3K di masa krisis. Bahwa benar kita semua harus berpikir positif bahwa pandemi akan berlalu. Tetapi interaksi manusia dengan teknologi telekomunikasi dan media sosial tidaklah akan ikut berlalu. Olah-alih medium bukan fenomena baru dan semata-mata penyelamatan atas situasi darurat. Kita akan mencatat bagaimana ekosistem kesenian bisa bertahan atau justru melakukan serangan balik mematikan pada situasi krisis kesehatan ini.
Artikel ini merupakan rubrik Sorotan Arsip dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi Mei-Juni 2020.