oleh Udiarti
Setelah tiga bulan lebih Indonesia berjuang melawan pandemi Corona, kini negara tengah bersiap untuk menghadapi kehidupan barunya. Normal baru adalah istilah yang bakal kita lalui di hari-hari ke depan. Perlahan-lahan kita akan mulai menjalani kehidupan sehari-hari seperti sebelum pandemi muncul, namun tetap dengan protokol kesehatan yang sudah dipersiapkan pemerintah Indonesia. Perlahan-lahan pula sistem pada kerja kreatif seniman mau tidak mau juga harus masuk menyelam dalam istilah normal baru.
Pada masa pandemi seniman dan industri seni kreatif berjuang untuk tetap bertahan dengan aktivitas seninya. Teknologi digital adalah pilihan yang masuk akal untuk mendukung keadaan pada masa pandemi. Seniman bahkan juga pemerintah berlomba menciptakan program dengan memanfaatkan kerja digital. Poster-poster open call berkarya dari rumah bermunculan sebagai upaya untuk tetap menghidupkan proses kreatif.
Peran arsip juga sangat penting dalam mendukung program-program tersebut. Salah satunya dengan memutar kembali dokumentasi pertunjukan melalui kanal Youtube. Arsip pertunjukan yang tadinya hanya menjadi catatan pada profil seniman kini menjadi bagian penting untuk menghubungkan jarak seniman dan penontonnya. Bahwa masih ada kehidupan seni yang berjalan di tengah-tengah wabah Corona. Tak hanya usaha untuk menunjukan eksistensi seni, namun juga sebagai jalur untuk mengumpulkan donasi. Seperti kemunculan kembali dokumentasi pementasan The Phantom of The Opera garapan Andrew Lloyd Webber pada channel Youtube bertajuk The Shows Must Go On.
Sumber gambar: Youtube “The Shows Must Go On”
Tidak hanya menampilkan arsip-arsip lama, namun teknologi digital juga menampilkan hasil kerja seniman yang terbaru pada masa pandemi. Salah satunya hasil dari open call Distance Parade yang digarap oleh Ditjen Kebudayaan Kemdikbud. Hasil dari peserta seniman yang terpilih kemudian ditampilkan di channel youtube Kemdikbud. Namun tentu saja, hasil yang ditayangkan tetaplah berupa arsip dokumentasi karya para seniman. Pada bagian inilah kejadian pertunjukan seni sulit tercipta pada masa pandemi. Pada akhirnya kita hanya akan mendapat suguhan tayangan ulang.
Sumber gambar: Website Kemendikbud
Beberapa mencoba untuk menawarkan kebaharuan. Pembacaan naskah langsung melalui platform Zoom misalnya. Penonton dapat melihat aktor atau pembaca naskah pada waktu yang sama, namun terpisah ruang. Tentu tidak sepenuhnya menciptakan kesan ruang pertunjukan yang nyata. Juga tak menyediakan suasana riuhnya penonton seperti pada kursi-kursi di depan panggung pertunjukan yang sebenarnya. Namun hal ini tidak menjadi usaha yang sia-sia dalam dunia seni pertunjukan khususnya. Kita hanya butuh membiasakan diri untuk tidak membatasi makna pertemuan. Kondisi ini juga mau tidak mau mewajibkan para pelaku seni untuk mampu bekerja dengan lintas media.
Setelah melewati masa pandemi dan memasuki normal baru, bagaimana aktivitas kerja seni ini berlangsung? Apakah ia akan tetap memakai teknologi digital sepenuhnya untuk menyalurkan ide dan gagasan mereka? Tentu ini akan menjadi masalah bagi pelaku seni yang mustahil berselancar bebas dengan teknologi digital. Pada pertunjukan dalam ritual kesenian rakyat misalnya. Apakah kita akan melihat sebuah ritual pada tari Jathilan yang khas dengan pertunjukan trance para penari memakan beling atau pecahan kaca melalui layar komputer masing-masing? Saya membayangkan kita akan kehilangan rasa ngeri dan bergidik ketika melihat penari kerasukan dan memakan apa yang sudah disediakan.
Sumber gambar: Dok. Penulis
Terlebih aktivitas pertunjukan pada sebuah ritual lebih sering terjadi di dalam desa atau daerah-daerah yang masih menjaga tradisi leluhur mereka. Ini akan menjadi perkara baru bagi seniman yang mendedikasikan hidupnya pada bentuk pertunjukan ritual. Pembatasan pertemuan dengan skala besar yang ditentukan oleh protokol kesehatan sedikit demi sedikit akan ikut menggerus keberadaan pertunjukan ritual. Ia akan memuai, menjadi bentuk ketakutan untuk berkelompok. Upaya-upaya pemerintah sebelumnya untuk membantu proses kreatif ternyata tak cukup membantu keberadaan pertunjukan ritual yang berlangsung di dalam desa-desa.
Jika pertunjukan ritual tersebut juga akan dipindah pada media digital, maka ia akan hidup sebagai catatan atau dokumenter yang hanya akan berakhir sebagai arsip. Normal baru adalah jalan tertatih bagi pelaku seni pertunjukan pada sebuah ritual. Apakah memungkinkan jika kelak kita melihat penari Jathilan atau penari Dolalak yang tengah kesurupan memakai face shield pada wajah mereka? Barangkali jalan yang dekat untuk menyelamatkan mereka adalah dengan memasang atribut protokol kesehatan pada tubuh mereka. Dan penonton kesenian rakyat pada suatu ritual akan memiliki jarak yang lebih jauh lagi dari keberadaan penari yang sedang beratraksi. Maka kita harus siap dengan kemungkinan pergeseran makna kesenian rakyat menjadi kesenian normal baru yang serba berjarak. Berjarak dengan rakyat itu sendiri.
Udiarti adalah guru tari Taman Kanak-kanak di Jakarta.
Artikel ini merupakan rubrik Baca Arsip dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi Mei-Juni 2020.