Judul : Gunungwingko: Situs Penanda Kehidupan Pesisir Selatan Sejak Awal Masehi Hingga Abad XVII
Penulis :Dr. Goenadi Nitihaminoto, Drs. Nurhadi Rangkuti, M.Si., Drs. Muhammad Chawari, M.Hum., Alifah, M.A
Penerbit : Dinas Kebudayaan DIY
Cetakan : Desember, 2018
Halaman : 231 halaman
ISBN : 978-602-53183-4-4
Resensi oleh : Najia Nuriyana (Kawan Magang IVAA)
Buku ini merupakan hasil penelitian disertasi Goenadi Nitihaminoto selama kurang lebih 18 tahun, dari 1972 sampai 1990. Goenadi Nitihaminoto lahir di Tuban, 12 November 1971. Ia menjadi peneliti bidang arkeologi prasejarah dari 1989 hingga 2008. Selama 9 tahun, ia mendedikasikan dirinya untuk bekerja sebagai Kepala di Balai Arkeologi Daerah Istimewa Yogyakarta. Buku yang diterbitkan atas kerja sama antara Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta beserta Balai Arkeologi Daerah Istimewa Yogyakarta ini dimaksudkan untuk mengapresiasi sosok Goenadi Nitihaminoto.
Buku “Gunungwingko: Situs Penanda Kehidupan Pesisir Selatan Sejak Awal Masehi Hingga Abad XVII” menceritakan bagaimana fase kehidupan di pesisir selatan Jawa pada masa prahistori atau awal Masehi. Situs Gunungwingko terletak di area pemukiman di utara objek wisata Pantai Samas, yaitu di Desa Srigading dan Desa Tirtohargo, Kecamatan Sanden, Kabupaten Bantul, Yogyakarta; diapit oleh dua lembah sungai yaitu Kali Opak dan Kali Progo. Mulanya Gunungwingko adalah nama sebuah desa kuno yang saat ini telah berubah menjadi Desa Tegalrejo. Istilah Gunungwingko berasal dari kata ‘wingko’, yang dalam bahasa Jawa artinya adalah gerabah, sedangkan gunung adalah gunung atau bukit. Di area pegunungan itu banyak ditemukan artefak gerabah.
Masyarakat Gunungwingko memiliki garis dengan ras Mongoloid, ditandai oleh peninggalan kebudayaannya yang hidup sejak awal Masehi hingga abad ke-17. Kehidupan masyarakatnya dibagi menjadi 4 lapisan budaya. Setiap lapisan budaya ditandai oleh penemuan benda yang berbeda. Pada lapisan budaya pertama dan kedua mereka hidup dengan cara semi menetap. Pada lapisan budaya ketiga mereka mulai hidup dengan cara menetap. Karena terdapat 4 lapisan budaya maka terjadi perubahan fisik lingkungan yang berbeda pula. Masyarakat Gunungwingko umumnya hidup sebagai petani garam karena letaknya yang dekat dengan laut dan ditandai oleh artefak gerabah sebagai alat pembuat garam. Selain bermata pencaharian sebagai petani garam, masyarakat Gunungwingko juga berternak binatang seperti sapi, kambing, kerbau, babi, ayam, itik dll. Mereka juga membuat manik-manik, berburu, dan menangkap ikan.
Kehidupan relijius juga menjadi topik yang tidak luput dibicarakan. Masyarakat Gunungwingko mengenal ritual tingkepan dalam kelahiran, upacara tandur dalam pertanian, dan menyakini adanya benda magis yang dapat mengusir roh jahat. Anak-anak memakai gelang yang terbuat dari tulang belakang ikan, manik-manik, biji-bijian, dengan mata kalungnya dari gigi taring binatang, sebagai penolak roh jahat. Gambaran kehidupan relijius masyarakat Gunungwingko juga dijabarkan berdasarkan tata cara penguburan dan perawatan mayat. Urusan kuburan juga menunjukkan stratifikasi sosial, ditandai dengan bekal macam apa yang diberikan di dalam kuburan. Kuburan yang terdapat perhiasan dari logam menunjukkan bahwa mayat di dalamnya memiliki tingkat ekonomi lebih tinggi, dibanding dengan bekal kuburan yang hanya berwujud gerabah.
Selain kehidupan relijius dan sosial, aspek teknologi dan kesenian menjadi topik yang diulas. Temuan-temuan yang ada menunjukkan perubahan fase teknologi masyarakat Gunungwingko. Hal ini dibuktikan dengan teknologi pembuatan gerabah yang berubah dari metode manual dengan tangan ke metode roda putar cepat. Seni kriya menjadi kesenian yang hidup di masyarakat Gunungwingko, yang ditandai oleh sisa-sia pecahan gerabah yang memiliki beberapa pola dan motif berbeda. Motif yang ditemukan adalah motif duri ikan dan garis-garis vertikal.
Bagi saya buku ini memberi informasi yang cukup padat mengenai situs Gunungwingko, meski sampulnya tidak cukup menarik. Dengan berbagai macam pendekatan, seperti etnografi, ekologi, dan oseanografi, buku ini membantu kita untuk mengenal lebih jauh kehidupan masyarakat pesisir selatan Jawa.
Artikel ini merupakan rubrik Sorotan Pustaka dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi Maret-April 2019.