Bale Tonggoh, Selasar Sunaryo Art Space (SSAS)
Bale Tonggoh, Selasar Sunaryo Art Space (SSAS)
Oleh: Andya Sabila (Kawan Magang IVAA)
Sosok Sunaryo dikenal dan sangat berperan dalam perkembangan kancah seni rupa Bandung. Tampil sebagai seniman lukis di era 1970-an. Seiring dengan aktivitas keseniannya, Selasar Seni Sunaryo, yang kini bernama Selasar Sunaryo Art Space (SSAS) didirikannya pada 5 September 1998. Baginya, SSAS adalah manifestasi dari angan-angan Sunaryo untuk menyediakan wadah bagi seniman-seniman muda dalam belajar dan berkarya. SSAS juga hadir sebagai ruang alternatif, pertemuan antara seniman dengan publik. SSAS lahir bertepatan dengan momentum pasca tumbangnya rezim Orde Baru. Peresmian SSAS dibuka oleh pameran Titik Nadir dan tidak ada selebrasi yang meriah. Kala itu, Sunaryo membungkus karya-karyanya sendiri dan sebagian ruang pamer dengan kain hitam. Kain hitam adalah representasi dari situasi nasional yang dirundung pilu, kekalutan, dan kegelapan.
Dua puluh tahun setelah Titik Nadir, Sunaryo kembali mempersembahkan karya-karyanya melalui pameran tunggal berjudul Lawangkala. Pergolakan sosial-politik pada 1998 menjadi kekuatan dari isu-isu yang diangkat dalam karya-karya instalasi Sunaryo sepanjang dekade 2000-an. Namun, dalam memperingati usia SSAS ke 20 ini, Ia ingin melakukan sesuatu yang berbeda. Agung Hujatnikajennong, dalam pengantar kuratorialnya menyebutkan bahwa, “Untuk Sunaryo, pameran yang nyaris seluruh ruang pamer SSAS ini tidak digarap sekadar untuk memperingati ulang tahun ruang seni yang ia dirikan, tetapi sebagai sebuah proyek tersendiri yang mendorongnya melakukan eksplorasi baru.”
Lawangkala memiliki arti sebuah mantra dimana ruang dan waktu menyatu. Lawangkala terdiri atas dua kata yaitu lawang (gerbang) dan kala (waktu). Berbicara tentang salah satu hal yang mendasari kehidupan manusia, yakni kesementaraan. Sunaryo memaknai falsafah Jawa urip iku mung mampir ngombe (hidup itu hanya mampir minum), yang sejatinya usia manusia tidak berarti dihadapan jutaan tahun usia semesta. Gagasan yang diangkat dalam Lawangkala adalah momen-momen saat Sunaryo berhadapan dengan fenomena alam. Termasuk pandangan mengenai kesadaran manusia akan ruang dan waktu.
Perjalanan artistiknya sejak awal tahun 1990-an, Sunaryo mulai bereksplorasi menggunakan pendekatan material alami seperti bambu, padi, rotan, batu, dan kayu. Material-material alami yang tidak bertahan lama mewakili sifat kesementaraan itu sendiri. Hal lain yang menunjukkan ciri khas dari karya Sunaryo adalah ketrampilan tangan. Selain melukis, karya seninya dibuat dengan teknik anyaman, jahitan, tempelan, dan ikatan. Seri lukisan Lawangkala yang terdapat di ruang pamer B dan sayap menampilkan karya-karya lukisannya dengan cara menyayat, merobek kanvas, lalu menjahit dan menambal kembali robekannya. Sunaryo menganalogikan cara menyayat dan menjahit kembali seperti sebuah kesia-siaan manusia yang ingin mengulang waktu yang telah berjalan. Selain karya lukis, instalasi berbentuk terowongan bambu digarap sebagai tubuh utama Lawangkala. Sunaryo membuat sebuah bubu raksasa terbuat dari anyaman bambu yang mengikuti struktur anatomi ruang pamer A.
Perayaan 20 tahun SSAS juga menghadirkan pameran bersama bertajuk SSAS/AS/Ideas yang digelar oleh Bale Project dan dikuratori Hendro Wiyanto. Pameran berlangsung di Bale Tonggoh, menampilkan karya-karya 20 seniman asal Bandung dan luar kota. Mereka pernah menjadi bagian dari perjalanan SSAS, serta terlibat dalam program residensi dan pameran. Program residensi melibatkan seniman-seniman muda yang tinggal dan bekerja di Bandung. Namun, tak menutup kemungkinan bagi seniman-seniman dari luar Bandung. Seniman yang pernah mengikuti program residensi diantaranya, Made Wiguna Valasara dalam program transit #1 (2011), Iwan Yusuf program transit #2 (2013), dan Hedi Soetardja program transit #4 (2018). Dua seniman asal Jogja, Agus Suwage dan Mella Jaarsma namanya turut berjajar diantara 20 seniman pameran SSAS/AS/Ideas. Karya-karya 20 seniman ini mengangkat tema yang merespon gagasan artistik Sunaryo. Salah satunya instalasi berupa manusia yang diikat dan dibalut kain hitam berjudul “Teduh Dari Paparan”. Karya seniman Bandu Darmawan ini merupakan respon dari karya proyek Titik Nadir.
Hal yang menarik diantara karya-karya pameran ini adalah ketika Sunaryo berkolaborasi dengan Hedi Soetardja. Hedi adalah seniman otodidak asal desa Jelekong, Bandung Selatan yang mengikuti program residensi transit #4 2018. Desa asal Hedi, Jelekong terkenal sebagai sentra pengrajin cinderamata dan lukisan pemandangan. Dalam karya kolaborasi “Luruh Hitam dalam Perayaan”, Hedi mengeksplorasi karyanya dari pengalaman yang diperoleh selama residensi. Ia menampilkan abstraksi melalui isyarat kecil yang menyerupai huruf tidak beraturan. Kurator muda SSAS, Chabib Duta Hapsoro menyebut bahasa visual Hedi dengan gumam.
Artikel ini merupakan rubrik Sorotan Dokumentasi dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan September-Oktober 2018.