Oleh: Nurul Fajri (Kawan Magang IVAA)
Judul Buku : Nakal Harus, Goblok Jangan
Pengarang : Muhidin M. Dahlan
Penerbit : I:Boekoe
Tahun : 2018
Deskripsi Fisik : 451 Hlm
No. Panggil : 300 Dah D
Dalam profilnya di laman tirto.id, Muhidin M. Dahlan atau yang akrab disapa Gus Muh ini dikategorikan sebagai penulis yang tulisan-tulisannya agak kontroversi di masyarakat. Pengalaman membaca buku ini agaknya membuat pengkategorian tersebut tidak sepenuhnya keliru. Jalan kepenulisan yang dipilih Muhidin mungkin memang mengarah ke sana, dan itu juga yang membuat tulisannya menjadi berkesan.
Salah satu ciri kontroversi tersebut dapat ditemui dalam salah satu seri buku 20 Tahun Menulis Muhidin M: Nakal Harus Goblok Jangan. Dahlan. Bagaimana banyak menyinggung (kalau tidak ingin disebut membela) nasib kaum yang disebutnya sebagai kaum Kuminis (plesetan Muhidin dari Komunis) yang posisinya selalu termarjinalisasi, ketimbang mengamini stigma negatif yang kadung mengakar. Kutipan berikut dari salah satu tulisannya dalam buku ini mungkin bisa memperkenalkan kita kemana sebetulnya jihat(d) Muhidin;
“Sebab, keinginan kuat mengingat amal baik dari sebuah kaum paling terkutuk di NKRI inilah, tulisan ini menemui Anda. Dakwah bil-hikmah ini berpretensi, bahwa di tengah kegelapan pikir memandang kuminis dalam segala aspeknya, kuminis adalah selapisan kaum politikon yang melihat lebaran sebagai bulan kemenangan; bulan perdamaian” (hlm. 194).
Buku ini merupakan salah satu seri dari total empat seri yang diterbitkan. Berisi sebanyak 69 esai yang akan membuat pembaca bertamasya menyalami ragam persoalan. Tidak hanya persoalan sebetulnya, tetapi pengetahuan pembaca akan sejarah juga akan tercerahkan atau minimal bertambah. Melihat dalam satu seri terdapat puluhan esai, dapat dibayangkan jika Muhidin merupakan tipe orang dengan banyak keresahan. Sebab konon, tulisan-tulisan atau produk pikiran apapun itu lahir dari keresahan.
Patut dihaturkan pula terima kasih kepada editor buku ini, Safar Banggai yang telah memilah-kelompokkan puluhan esai tersebut ke dalam bab-bab yang dinamainya dari potongan teks Proklamasi. Total ada lima bab yakni; “Kami Bangsa Indonesia”, “Menyatakan Kemerdekaan Indonesia”, “Mengenai Pemindahan Kekuasaan”, “D.L.L.”, dan “Wakil-Wakil Bangsa Indonesia”. Seperti yang disebutkan di awal, topik-topik yang terangkum dalam buku kumpulan esai ini beragam, mulai dari bahasan soal Raffi Ahmad, hingga Bung Karno, mulai dari konflik sosial, hingga perjalanan sejarah bangsa dan identitas tokoh-tokoh. Meminjam kata editor, mungkin kita kagumi (dan mungkin kita benci). Tidak ketinggalan pula tentu saja, topik yang gurih-gurih sedap dibahas tiap esais yaitu rezim pemerintahan sekarang, dan hal-hal di luar yang telah disebutkan tadi, tetapi masih masuk dalam hitungan butuh untuk pembaca ketahui.
Ditulis dalam periode waktu 2014-2018, hampir semua esai dalam buku ini pernah dipublikasikan di beberapa media seperti, Mojok.co, Jawa Pos, Koran Tempo, Muhidindahlan.radiobuku.com, Solopos, Media Indonesia, Tirto.id, dan Geotimes.co.id.
Bagi tipikal pembaca yang lebih dulu menguap sebelum membaca paragraf pertama sebuah esai atau “tulisan yang tidak ringan”, buku ini mungkin cocok untuk Anda. Sebab 54 esai dalam buku ini diambil dari tulisan Muhidin yang pernah dipublikasikan di Mojok.co, yang artinya adalah Anda akan maklum menemui beberapa kata cakapan di tengah-tengah bahasan yang seharusnya “serius” seperti misalnya ena, menye-menye, unyu, selo, dan lain-lain: tulisan-tulisan yang menggelitik sekaligus getir. Ini juga mungkin sebuah upaya mengetuk pintu kesadaran kita bahwa persoalan yang rumit jangan melulu dibawa kaku.
Akhir kata, yakin usaha sampai!
Artikel ini merupakan rubrik Sorotan Pustaka dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi September-Oktober 2018.