Auditorium Pascasarjana UGM
15 Juni 2017
Auditorium Pascasarjana UGM
15 Juni 2017
Oleh: Martinus Danang Pratama Wicaksana
“Budaya tidak boleh dikesampingkan karena budaya yang baik adalah Indonesia hebat,” ungkap pria paruh baya Prof. Panut Mulyono yang masih segar-segarnya menjabat rektor UGM yang baru dalam pidato pembukaan simposium kebudayaan.
Ruangan auditorium pasca sarjana UGM dipenuhi oleh para aktivis dan pegiat kebudayaan pada Kamis (15/6). Ruangan yang sedianya muat oleh 200 orang terisi penuh oleh lautan manusia dari berbagai kalangan. Mereka berkumpul untuk mengadakan diskusi bersama dalam tajuk “Simposium Budaya Kebangsaan: Strategi Kebudayaan Menuju Indonesia Hebat” yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Kebudayaan UGM.
Simposium kebudayaan kali ini terasa begitu spesial dengan hadirnya Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid. Kedatangan Hilmar Farid disambut antusias dari para kalangan aktivis dan pegiat kebudayaan yang berkumpul di auditorium. Selama kurang lebih setengah jam Hilmar Farid menyampaikan pidato kebudayaan untuk mengajak setiap lapisan masyarakat lebih peduli dalam mengembangkan kebudayaan nasional.
Menurut Hilmar Farid simposium kebudayaan yang bertajuk strategi kebudayaan ini sudah banyak dibicarakan. Bahkan strategi kebudayaan sudah pernah dicetuskan oleh Ali Moertopo pada masa Orde Baru. Namun, Hilmar beranggapan bahwa strategi kebudayaan ini perlu diadakan terus-menerus karena situasi yang berubah-ubah sehingga perlu dibahas untuk menyesuaikan dengan perubahan keadaan yang sedang terjadi.
“Situasi bangsa kini telah berubah maka strategi kebudayaan juga turut berubah sehingga perlu dibicarakan kembali,” ungkap Aprianus Salam ketua Pusat Studi Kebudayaan UGM. Aprianus setuju bahwa strategi kebudayaan perlu didiskusikan setelah krisis nasionalisme melanda Indonesia. Sehingga bagi Aprianus untuk menanamkan jiwa nasionalisme itu sendiri perlu melakukan pendekatan kebudayaan lewat strategi kebudayaan.
“Strategi kebudayaan berangkat dari Undang-Undang No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Hal ini yang perlu dikritisi bahwa kebudayaan itu berkembang bebas jangan diatur oleh undang-undang,” ungkap Hilmar dalam pidatonya. Ini menunjukkan bahwa Himar beranggapan bahwa kebudayaan tidak perlu diatur sedemikian rupa seperti gerak tari yang detail sehingga gerakan tari sama semua. Tetapi pemerintah cukup mendukungnya saja dengan tidak mengekang kebudayaan tersebut.
Dalam pidatonya Hilmar juga menyampaikan strategi kebudayaan yang sangat relevan menurutnya. Bagi Hilmar yang diperlukan dalam strategi kebudayaan adalah mengembangkan budaya literasi dalam masyarakat. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah berita-berita bohong yang dapat memecah bangsa Indonesia. Sehingga dengan membiasakan masyarakat dengan budaya literasi mereka mampu mengurangi kebiasaan untuk percaya dengan berita bohong. Inilah strategi kebudayaan yang disampaikan Hilmar dalam pidato kebudayaannya.
Mukhtasar Syamsuddin dosen filsafat UGM menyampaikan materi dalam simposium beranggapan senada bahwa kebudayaan itu tidak statis tetapi bersifat dinamis. Sehingga kebudayaan selalu berubah-ubah seturut perkembangan zaman dan tidak bisa diatur. Bagi Mukhtasar melihat kebudayaan yang bersifat dinamis ini perlu adanya strategi kebudayaan untuk mencapai Indonesia yang mandiri.
Hermin Indah Wahyuni seorang dosen ilmu komunikasi UGM dalam materinya di simposium kebudayaan menawarkan strategi kebudayaan lewat Pancasila. Hermin berpendapat bahwa strategi kebudayaan dapat dilakukan dengan cara mengimplementasikan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Sebab Pancasila sendiri merupakan cerminan dari kebudayaan Indonesia. Sehingga bagi Hermin dengan mengimplementasikan Pancasila dalam strategi kebudayaan juga turut serta mengajarkan tentang nasionalisme.
Salah satu peserta dalam simposium kebudayaan yakni Faiza Mardzoeki seorang pegiat seni menyampaikan gagasannya mengenai strategi kebudayaan. “Untuk memudahkan anak-anak mengetahui tentang Pancasila perlu didekatkan pada sastra, lewat sastra anak-anak dapat belajar untuk mengetahui berbagai macam karakter,” ungkapnya. Bagi Faiza mendekatkan anak-anak pada nasionalisme lewat budaya literasi.
Wening Udasmoro, Dekan Fakultas Ilmu Budaya UGM juga menyampaikan materinya tentang strategi kebudayaan. Bagi Wening sudah saatnya nasionalisme perlu dikembangkan dan dibicarakan kembali dalam menetapkan strategi kebudayaan. Hal ini dikarenakan sudah lama Indonesia tidak pernah berbicara tentang nasionalisme hanya seputaran demokrasi saja hingga dampaknya saat ini krisis akan nasionalisme menurut Wening.
Wening juga berpendapat bahwa intolerasansi saat ini berkembang karena lunturnya nasionalisme itu sendiri kurang digelorakan. “Intoleransi berkembang karena para nasionalis sendiri masih belum mau bernarasi sehingga mereka dikalahkan oleh kelompok intoleran yang berteriak begitu kencang,” ungkap Wening. Dalam hal ini Wening mengajak setiap lapisan berani bernarasi menyuarakan nasionalisme untuk mencegah intoleransi.
Hairus Salim yang juga ditunjuk untuk menyampaikan materi dalam simposium kebudayaan ini juga punya pendapat lain. Bagi Hairus perlu diganti dalam penamaan strategi kebudayaan menjadi kebijakan kebudayaan. Hal ini dilakukan Hairus karena strategi kebudayaan kental kaitannya dengan Orde Baru. Supaya tidak terjadi pengulangan dan kesamaan dengan Orde Baru, papar Hairus, maka sebaiknya strategi kebudayaan diganti nama menjadi kebijakan kebudayaan. Sebab kebudayaan saat ini sangatlah berbeda dengan kebudayaan pada masa Orde Baru menurut Hairus.
Sudah banyak strategi kebudayaan yang disampaikan oleh para akademisi yang ditunjuk sebagai pemateri dalam simposium kebudayaan ini. Tujuannya jelas bahwa dengan adanya simposium kebudayaan ini ditawarkan mengenai strategi-strategi kebudayaan dalam menghadapi situasi zaman saat ini. Tawaran-tawaran strategi kebudayaan sudah disampaikan kini tinggal para pegiat kebudayaan bersama masyarakat menerapkannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
*Martinus Danang Pratama Wicaksana, (l.1995) mahasiswa asal Surabaya ini aktif berorganisasi sejak SMP. Di kampus Universitas Sanata Dharma Yogyakarta pun ia aktif di Unit Kegiatan Pers Mahasiswa Natas USD. Di Natas, ia mengawalinya dengan bertanggung jawab sebagai Redaktur Pelaksana hingga kini menjadi Pemimpin Redaksi. Martin memulai magangnya di IVAA pertengahan Juni ini selama dua bulan dan akan diperbantukan dalam Program Biennale Forum yang merupakan kerja sama IVAA-Biennale Jogja tahun ini.
Artikel ini merupakan bagian dari Rubrik Sorotan Dokumentasi dalam Buletin IVAA Mei-Juni 2017.