Judul : Jean-Michel Basquiat – Raja Seni Jalanan
Penulis : Drajat T Jatmiko, Riska Kahiyang
Penerbit : Phospene Art Book
Tahun Terbit : 2019
Tempat Terbit : Yogyakarta
Halaman : 233
ISBN : 987-602-53746-2-3
Resensi oleh : Fika Khoirunnisa
Banyak yang mengenal Basquiat melalui gaya hidupnya yang glamour, bersahabat dengan Andy Warhol, karyanya yang nyentrik, hingga gambar-gambar yang tersemat pada beberapa brand ternama, seperti Uniqlo, Reebook, hingga Supreme. Namun, di balik itu semua Basquiat harus melalui jalan panjang penuh liku. Perjalanannya dimulai dari lorong-lorong kota Manhattan ketika ia mulai menggambar grafiti bersama karibnya, Al Diaz. Dua serangkai itu selalu menyertakan simbol SAMO di setiap karya mereka. Meski hal ini terbilang lumrah dalam dunia seni kontemporer, namun Basquiat merupakan salah satu contoh paling spektakuler yang berhasil menaklukkan jalanan untuk menduduki singgasananya sebagai “seniman galeri” dengan nama yang cukup besar di New York.
Basquiat muncul sebagai seniman di saat rakyat Amerika mengalami ketegangan dengan berbagai krisis dan kekhawatiran, khususnya yang dialami oleh orang-orang kulit hitam. Dalam keadaan seperti ini orang membutuhkan cara pandang, ungkapan dan perumpamaan baru guna memahami keadaan sekaligus sebagai solusi bagi persoalan yang muncul. Sementara itu, seharusnya seni rupa memiliki ruang yang dapat menampung itu semua, bukan malah dikotak-kotakkan berdasarkan gender, strata sosial, apalagi menyangkut isu SARA. Jean-Michel Basquiat tentu dengan tegas menolak hal itu. Ia enggan dikaitkan dengan kelompok dan kepentingan politis tertentu, serta menginginkan kebebasan. Melalui karya-karyanya, kita dapat melihat kritik mengenai isu diskriminasi, ketidaksetaraan ras, hingga isu perbudakan yang banyak dikaitkan sebagai produk neo-kolonialisme; yang tanpa disadari telah mengontrol negara-negara bekas jajahan seperti yang terjadi di Afrika dan Asia.
Dalam sebuah wawancara Basquiat berkata, “I’m not a black artist, I am an artist.”
Jelaslah dari pernyataan tersebut kita dapat melihat sekaligus mengenal bagaimana perjuangan pemuda kulit hitam ini dalam meyakini ideologi artistiknya. Basquiat ingin melepaskan diri dari kungkungan diskriminasi, jerat perbudakan, dan berbagai praktik rasial yang selama ini menjerat dirinya dan sebagian besar kaum kulit hitam lainnya. Kemunculan Basquiat di kancah seni tahun 1980-an bertepatan dengan munculnya gerakan neo-ekspresionisme yang ditandai dengan pemakaian material kasar sebagai medium untuk melukis. Namun, jika ditelaah lebih lanjut, karya-karya yang dihasilkan oleh Basquiat sangatlah konsisten.
Seperti yang dikatakan penulis, unsur-unsur linguistik dalam lukisan Basquiat tidak hanya melibatkan karya dalam wacana sejarah dan budaya, tetapi juga menampilkan harmonisasi mengenai ekonomi-puitis yang memikat, sekaligus kritik terhadap wacana tersebut. Ia kerap memakai unsur bahasa sehari-hari, seperti penggunaan nama merk dagang, citra rasisme, budaya konsumen, dan slogan politik. Basquiat ingin menyampaikan kritiknya terhadap struktur kekuasaan laten yang merujuk pada ironi kesewenang-wenangan dalam satu lembaga sosial masyarakat. Selain itu, ia juga banyak menyorot isu rasisme seperti yang tampak pada lukisannya yang tanpa judul: Untitled/ Rinso (1982).
Dalam liku hidupnya, Basquiat banyak dibenci karena kesuksesannya. Hidupnya penuh dengan fitnah dan celaan yang datang dari para kritikus, dan ia juga harus terisolasi dalam lingkungan yang buruk. Popularitas merupakan tujuan hidupnya sejak awal, maka segala hal buruk yang menimpanya ia anggap sebagai konsekuensi dari itu semua. Dengan latar belakang yang ia miliki seperti image berkulit hitam, muda, dan pecandu heroin, tidak sedikit yang memandangnya sebagai lelucon dan menganggapnya remeh. Namun di balik itu semua, kematian dan kehidupannya, Basquiat tetaplah menjadi komoditas.
Sebagai buku biografi, buku ini mampu menampilkan secara lengkap perjalanan Jean Michel Basquiat sejak kanak-kanak hingga akhir hidupnya. Kisah hidupnya secara pribadi, keluarga, keterlibatannya sebagai minoritas sekaligus seniman dengan nama yang besar, analisis karya, hingga bagaimana ingatan orang terdekat pada detik-detik akhir hidupnya. Beberapa sindiran sarkastik hingga pujian yang dilontarkan para kritikus hingga seniman yang berperan dalam karir Basquiat mampu dihadirkan dengan baik.
Selebihnya, buku ini dapat diposisikan sebagai referensi untuk menelaah lebih jauh praktik hingga liku berkesenian dalam bingkai politis progresif, bersifat provokatif dan dalam ranah kontemporer. Dalam ideologi artistik yang Basquiat anut, paparan kisah hidupnya menitikberatkan pada interkoneksi isu SARA dengan medan kesenirupaan yang ia selami. Pada titik yang cukup agung, seni telah berhasil menjalankan fungsi besarnya sebagai bentuk kritik.
Artikel ini merupakan rubrik Sorotan Pustaka dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi September-Oktober 2019.