Judul : Cilik-cilik Cina Suk Gedhe Meh Dadi Apa? – Autoetnografi Politik Identitas
Penulis : Anne Shakka
Penerbit : Sanata Dharma University Press
Tahun Terbit : 2019
Tempat Terbit : Yogyakarta
Halaman : 138
ISBN : 978-602-5607-92-9
Resensi buku dan diskusi oleh : Gladhys Elliona Syahutari dan Ratri Ade Prima Puspita
“Kecil-kecil sudah Cina! Besok besar mau jadi apa?”, begitu seruan seseorang di lingkungan sekitar Anne pada saat ia kecil. Sejak Anne masih kanak-kanak, ia semacam dipaksa familiar dengan label etnis yang ada pada dirinya, walaupun tak dipungkiri kemudian, ia memang seorang keturunan Tionghoa yang besar di Jawa. Anne di usia sekolah dasar tidak pernah mengerti mengapa orang-orang di sekitarnya sering memberinya label “Cina”. Anne hanya tahu kalau ia selalu bicara dengan bahasa Jawa dan besar bersama orang-orang Jawa. Baginya ia itu sama dengan yang lain. Tetapi pertanyaan mulai muncul seiring waktu: jika orang di sekitar Anne mempunyai julukan tersendiri untuknya, adakah perbedaan yang berarti pada dirinya dibandingkan orang lain? Apakah maksud “Cina” yang sering digaungkan padanya?
Berangkat dari kegelisahan Anne yang begitu personal, ia kemudian menuliskan riset autoetnografi tentang pengalamannya tersebut. Buku “Cilik-cilik Cina, Suk Gedhe Meh Dadi Apa?” adalah tulisan berdasarkan tesis Anne Shakka sewaktu menempuh studi di Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Dalam penelitian tesisnya, ia menjadikan dirinya sendiri dan pengalaman budayanya yang spesifik sebagai subyek penelitian. Begitulah bagaimana autoetnografi umumnya bekerja; memberikan sudut pandang yang bersifat dekat dengan penulis dan mengedepankan aspek penting dari subjektivitas dalam penulisannya. Keberpihakan dan kepemilikan Anne terhadap identitas budaya yang ia teliti ini membuat data dan paparan yang ditawarkan menjadi komprehensif, seakan membuat penelitian lebih hidup karena tidak berjarak.
Buku dan tesis Anne menjadi pelengkap di antara sekian banyak penelitian akademis maupun non-akademis yang mengangkat tema utama diaspora keturunan Tiongkok di Indonesia. Dalam penelitiannya, Anne mengambil contoh tulisan dan penelitian tentang bagaimana dinamika kehidupan orang keturunan Tionghoa pasca rezim Orde Baru. Salah satunya adalah tulisan I. Wibowo berjudul “Setelah Air Mata Kering”. Dari sana terlihat bagaimana keberadaan orang-orang keturunan Tionghoa benar-benar terkait erat dengan bagaimana rezim politik memperlakukan mereka.
Melalui buku ini Anne juga memperjelas bagaimana orang-orang keturunan Tionghoa di Indonesia akan terus memiliki krisis identitas dan pengakuan keberadaan. Misalnya dengan bagaimana perlunya ada surat ganti nama atau surat pernyataan melepas kewarganegaraan Tiongkok dan menjadi warga negara Indonesia. Bahkan sedekat dengan kehidupan sehari-hari, di mana secara fisik ia terlihat berbeda dan cukup distingtif dari kebanyakan orang sekitar, tetapi secara kultural dan afektif ia punya rasa memiliki terhadap lingkungan Jawa Tengah atau secara lebih besar, Indonesia.
Anne juga sedikit banyak mengangkat bagaimana keberadaan dan dinamika kehidupan orang-orang keturunan Tionghoa tidak lepas dari label yang disebabkan oleh relasi mayoritas-minoritas dan stereotipe tertentu yang sudah melekat sejak zaman kolonial. Adanya penilaian sepihak dan kecurigaan antar kelompok ini kemudian menimbulkan keberjarakan berarti. Orang-orang keturunan Tionghoa dipandang sebagai liyan, padahal sama-sama berbicara dan bernaung di bawah satu keterikatan sebagai Indonesia.
Mungkin ini juga yang kemudian membuat Anne mengambil metode autoetnografi dan mengantar pembaca ke narasi yang begitu pribadi. Tidak seperti penelitian objektif atau ilmu sosial lainnya, membaca tulisan Anne seperti mengintip buku harian seseorang yang sedang mencoba mengenal identitas dan akar dirinya. Anne bahkan tidak ragu mengekspresikan perasaannya sebagai bagian dari pendokumentasian, seperti bagaimana ia merasa ada ketakutan sebagai orang yang mengidentifikasi dirinya sebagai orang Cina. Ia gelisah atas apa yang terjadi: diskriminasi di era kepemimpinan Donald Trump serta kasus persekusi Ahok.
Anne menggunakan kata ganti orang pertama dalam setiap ceritanya. Bagi kami ini adalah sebuah pernyataan tegas. Karena mengedepankan subjektivitas dalam penulisannya, isi yang ditawarkan nampak seperti curahan hati yang diilmiahkan. Kadang di beberapa kalimat dan bagian jurnal muncul kegelisahan yang meletup-letup. Walau di sisi lain hal ini menampakkan ekspresi sejujur-jujurnya. Anne menawarkan sebuah cara yang menarik, mengajak pembaca untuk ikut merasakan, namun tetap dengan usaha ilmiah di waktu yang sama. Ia mengajak kita menelusuri sebuah sudut pandang ilmiah yang baru: bagaimana ilmu dan budaya tidak terikat pada pandangan objektif dan keberjarakan, tapi justru melekat pada apa yang ada di sekitar kita secara aktual.
Walau ia sering mengangkat tulisan Fratz Fanon yang berjudul “Black Skin White Mask” sebagai salah satu referensi utama, Anne menyadari betul bahwa ada perbedaan konteks relasi mayoritas-minoritas antara orang keturunan Tionghoa dan Jawa dengan orang kulit hitam dan kulit putih di Amerika Serikat. Orang Cina sering dianggap kaya dan mayoritas Jawa mempersekusi dengan alasan-alasan yang berhubungan dengan ekonomi, pencapaian, dan privilese. Padahal, sama seperti kelompok etnis lain, ada orang-orang keturunan Tionghoa yang hidup berbeda, tidak seindah atribut yang ditambatkan kepada mereka. Anne mengajak pembacanya untuk berpikir keluar kotak dan perlahan menghapus stereotipe yang mengakar.
Buku yang menarik ini juga didiskusikan di Indonesian Visual Art Archive (IVAA) pada Selasa, 30 Agustus 2019, mulai jam 15.00 hingga selesai jam 17.30. Melalui diskusi itu, Anne mengungkapkan latar belakang penulisan yang lebih tanpa tedeng aling-aling. Meskipun tidak mengalami masa-masa kelam yang menimpa etnis minoritas seperti yang dialami oleh orang tuanya, tetapi, bagi Anne, menjadi seorang keturunan Cina bukanlah hal yang menyenangkan. Salah satunya adalah bayangan akan dikucilkan atau akan mengalami kesulitan mendapatkan pekerjaan sebagai PNS. Ia juga pernah punya keinginan untuk sebisa mungkin berkulit cokelat, membiasakan diri berkomunikasi dengan bahasa lokal, hingga hasrat mencari pasangan hidup orang Jawa supaya kecinaannya tidak tampak.
Diskusi ini juga dihadiri oleh FX. Harsono, seniman yang sudah akrab bekerja dengan isu seputar Tionghoa. Ia mengulas sejarah hitam keturunan Tionghoa sejak peristiwa Geger Pecinan, masa Orde Lama, hingga pemerintahan Orde Baru. Runutan sejarah yang seolah terwariskan pada diri Anne. Setidaknya ada dua poin utama yang muncul: pertama, masing-masing orang memiliki trauma sendiri-sendiri di tengah aneka perbedaan; kedua, diskusi menjadi ruang temu menghilangkan stereotipe tentang Cina. Bahwa Cina itu bukan setan. Tidak semua Cina itu setan dan tidak semua Cina itu dewa
Kami rasa memang tepat jika Anne mengangkat banyak teori pascakolonialisme dalam penelitian ini. Keberadaan stereotipe terhadap keturunan Tionghoa yang terbentuk sejak zaman kolonial dan sampai sekarang masih terus direproduksi itu menandakan bahwa apa yang disebut colonial hangover masih dilanggengkan. Secara tidak disadari, masih terdapat keterjajahan pikiran dan perasaan rendah diri akan identitas bangsa yang dilestarikan lewat label-label serta praktik meliyankan kelompok etnis tertentu. Tentu, buku ini adalah salah satu usaha kecil dekolonisasi yang penting dimulai dengan perlahan namun pasti. Maka suatu hari, jika seseorang berseru “Cina!” dengan tujuan menjatuhkan dan meliyankan, semestinya kita bisa menatap mereka balik dengan pandangan tegas dan penuh kasihan karena masih terkungkung pada keterjajahan pikiran dan identitasnya sendiri.
Artikel ini merupakan rubrik Sorotan Pustaka dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi Juli-Agustus 2019.