Penulis : Stanislaus Yangni
Tesis : Pengkajian Seni Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia Yogyakarta
Tebal : x + 216 Halaman
Ukuran : 29×20,5 cm
Oleh Diatami Muftiarini (Kawan Magang IVAA)
Riset estetika seni rupa ini bermula dari kegelisahan peneliti, Stanislaus Yangni, terhadap karya seni lukis Indonesia yang kehilangan ekspresi atau gregetnya—meminjam istilah Sanento Yuliman (2001). Ini tertuang dalam tesisnya yang berjudul Sketsa sebagai Proses Kreatif dalam Seni Lukis: Kajian Sketsa dalam Estetika Deleuzian. Seniman Indonesia pada tahun 1940-1960, antara lain Affandi, S. Sudjojono, Kartono, Hendra Gunawan, Nyoman Gunarsa, Widayat, Martian Sagara, Lim Keng, Sudjana Kerton, Butet, Henk Ngantung, Krijono dan Ipe Ma’aruf, mampu membuat sketsa dengan garis spontan atau goresan di atas kertas maupun kanvas. Sketsa menjadi embrio atau ancangan dari melukis, secara tidak langsung merekam gerak seniman yang peka terhadap lingkungan dan masyarakatnya.
Sementara pelukis saat ini cenderung takut untuk menggores secara spontan, serta kehadiran teknologi representasi (kamera, komputer, proyektor, dan sebagainya) seakan telah menggantikan posisi dan fungsi sketsa. Juga mengubah irama berkesenian dan mentalitas seniman. Goresan dalam sketsa ini kemudian menjadi apa yang disebut greget oleh Sanento, telah hilang di jagad seni lukis saat ini.
Melangkanya seniman yang sketching secara langsung dan on the spot, menumpulkan pengalaman estetik yang berasal dari pengalaman tubuh seniman. Pengalaman ini dalam kajian estetika dikenal dengan pengalaman haptic, yang merujuk pada pengalaman estetik, pengalaman visual yang terjadi pada mata, bukan sekadar merujuk pada yang manual taktikal. Tetapi, lebih dari sekadar perihal sentuhan tangan pada kanvas, sentuhan fisik, melainkan pengalaman yang dihasilkan oleh mata ketika ia merasa menjadi tangan.
Pengalaman estetis-kreatif dalam sketsa, diuraikan Deleuze melalui diagram. Sketsa sebagai diagram, mengeksplorasi proses kreatif seniman lewat elemen garis spontannya. Sketsa mampu melampaui bentuk-bentuk klise, lalu menggantinya dengan apa yang ada di depan mata. Konsepsi oleh Deleuze ini dikenal dengan paradigma estetika Deleuzian, yang kemudian digunakan peneliti sebagai limitasi dalam penelitian.
Tesis ini menjawab hipotesa awal penulis bahwa sketsa sebagai embrio, sebagai ancangan, dari melukis hingga ia menjadi bagian vital dalam seni lukis. Meski tidak semua sketsa, terdapat syarat-syarat yang memungkinkannya menjadi embrio. Pada bagian ini, menjadi letak kekuatan sketsa dalam menghidupkan seni lukis.
Artikel ini merupakan rubrik Sorotan Pustaka dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi Mei-Juni 2018.