Dia.Lo.Gue Art Space, Kemang, Jakarta
17 April – 3 Juni 2018
Dia.Lo.Gue Art Space, Kemang, Jakarta
17 April – 3 Juni 2018
Oleh: M. Hanif Arikhoh (Kawan Magang IVAA)
Pameran catatan dan arsip yang bertajuk Namaku Pram mengingatkan kita akan pentingnya arsip, catatan, dan menulis. Suasana galeri dengan iringan musik instrumental membawa pengunjung mengingatkan kembali fase-fase era kehidupan Pram. Pameran catatan dan arsip ini berlangsung di Dia.Lo.Gue Art Space, Kemang, Jakarta, 17 April – 3 Juni 2018.
Publik akan disuguhi berbagai macam artefak kehidupan Pram. Pertama melalui lini masa perjalanan saat beliau masih kecil hingga menjelang wafatnya. Membaca secara kronologis jejak hidup Pram mulai dari pertemuannya dengan dunia penulisan, hingga pilihan ideologi politik yang membawanya terasing di tanahnya sendiri.
Semua benda catatan dan arsip yang dipamerkan adalah koleksi keluarga Pram, dan ini adalah pertama kalinya untuk dipertunjukkan di hadapan publik. Berbagai macam catatan ikut dipamerkan, termasuk tulisan Pram di atas kertas semen, karena dalam pengasingan di Pulau Buru tahanan politik dilarang memegang kertas, sehingga Pram hanya bisa menulis di kertas semen. Surat–surat untuk Pram pada masa pengasingan dari anak dan istri juga masih tersimpan rapi dan ikut dipamerkan. Surat-surat yang menyentuh perasaan karena berisi mulai dari cerita kerinduan hingga nilai rapor dan kenaikan kelas anak-anaknya. Juga yang tentu saja ikut dipajang adalah foto – foto Pram bersama keluarga dan orang-orang terdekatnya. Maemunah bagi Pram adalah belahan jiwanya, meskipun ia adalah istri kedua. Maemunah adalah sosok perempuan hebat. Perempuan yang tidak pernah menuntut apapun dari Pram, membebaskan kehendak Pram, setia dalam masa pengasingan, dan selalu menerima apa adanya. Beberapa barang pribadi, pemberian teman, penghargaan cukup memuaskan dan akan menghabiskan waktu yang cukup panjang jika ingin diperhatikan satu per satu. Satu yang menarik juga adalah replika ruang kerja Pram, lengkap dengan mesin tik yang selalu ia gunakan saat menulis, pakaian putih, sarung, celana, asbak, kacamata, meja, kursi, sampai beberapa piagam penghargaan.
Himbauan yang paling penting pada pameran catatan dan arsip ini adalah larangan untuk memotret arsip–arsip Pram. Khusus untuk arsip yang terdiri dari teks, dikarenakan permintaan dari pihak keluarga. Catatan harian Pram di Pulau Buru, surat-surat dari keluarga Pram, foto-foto keluarga, dan lini masa dilarang untuk diabadikan melalui lensa kamera. Pameran ini dihadirkan sebagai pengenalan kembali jejak panjang karya sastrawan besar Indonesia ini. Harus diakui bahwa masuknya buku-buku Pram dalam daftar buku putih di masa orde baru membuat namanya hanya dikenal sebatas nama. Sementara itu karya sastra Pram memiliki kekayaan narasi yang bisa menjadi penanda zaman, penanda atas cerita tentang kekuasaan, perlawanan, kesetiaan.
Artikel ini merupakan rubrik Sorotan Dokumentasi dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi Mei-Juni 2018.