Pendopo BPNB (Balai Pelestarian Nilai Budaya) Yogyakarta
11 Desember 2020
Pendopo BPNB (Balai Pelestarian Nilai Budaya) Yogyakarta
11 Desember 2020
Jumat Sore (11/12), Pendopo BPNB (Balai Pelestarian Nilai Budaya) Yogyakarta didatangi puluhan orang untuk menghadiri diskusi yang diadakan atas kerjasama BPNB bersama IVAA (Indonesian Visual Art Archive). Diskusi ini mengangkat tema “Membaca Semangat Gerakan Perempuan”.
Diskusi kali ini diisi oleh Mutiah Amini dan Helly Minarti. Selain itu Mikke Susanto turut serta sebagai moderator. Dalam sambutannya, Dwi Ratna Nurhajarini selaku kepala BPNB, melihat pentingnya bagi generasi sekarang untuk menengok kembali kongres perempuan dan bentuk-bentuk pengarsipan alternatif untuk merefleksikan kembali kemana arah gerakan perempuan kedepannya.
“Inilah titik berangkat kita sore hari ini untuk membicarakan semangat gerakan perempuan. Pada tahun 2020, ini menjadi diskusi keenam yang mengangkat tentang peran perempuan. Sebelumnya, kami membicarakan perempuan dalam narasi kepahlawanan nasional. Kita perlu terus-menerus membicarakan kiprah perempuan sehingga kita bisa menarik pelajaran untuk masa depan. Harapannya kiprah perempuan ke depan makin nyata,” ucap kepala BPNB tersebut.
Lebih lanjut Dwi Ratna menyatakan diskusi kali ini merupakan peristiwa yang istimewa. Selain acara ini mendekati hari ibu. Gedung BPNB (dulu bernama Dalem Jayadipuran) merupakan tempat Kongres Perempuan pertama diselenggarakan.
Mutiah Amini dalam presentasinya Mengajak para peserta untuk melihat kembali peristiwa Kongres Perempuan. Menurutnya, dalam pergerakan perempuan (Kongres Perempuan) bukan hanya dimiliki kaum perempuan saja, melainkan jika kita melebarkan pandangan kita. Pergerakan tersebut juga dimiliki oleh setiap orang tanpa mempedulikan gender.
“Jika kita melihat arsip dan sejarah yang membicarakan mengenai kongres perempuan pertama. Kita dapat melihat bagaimana perjuangan perempuan pada masa lalu adalah milik Bersama. Dalam artian gerakan ini bukan hanya perempuan melainkan para laki-laki juga, ditambah peliputan dari media-media mengenai kongres tersebut juga dinilai dapat menyampaikan menyebarkan informasi kepada khalayak luas,” ujar perempuan yang juga mengajar di Jurusan Sejarah Universitas Gadjah Mada.
Di lain sisi Helly Minarti memberikan sebuah pandangan alternatif dalam melihat arsip dengan pengalaman ketubuhan. Perspektif pengalaman ketubuhan diambilnya bukan tanpa alasan. Selain disibukkan dengan kegiatan akademiknya, Helly juga dekat dengan dunia pertunjukan, khususnya tari.
Helly memaparkan penelitiannya kepada peserta mengenai seorang maestro tari bernama Gusmiati Suid (1941-2001). Helly memaparkan bagaimana tubuh sebagai arsip di dalam praktik-praktik Gusmiati Suid sebagai penari.
“Dalam beberapa karya yang diciptakan Bu Suid ia kerap mengangkat isu-isu tentang perempuan Minang. Contohnya adalah karya yang ditampilkan di KIAS pada masa itu. Lain dari tarian Minang lainnya yang cenderung ceria dan berwarna,” ujar perempuan yang telah 20 tahun meneliti tentang Gusmiati Suid.
Sebagai penutup, Mikke Susanto yang dikenal juga sebagai kurator seni rupa mengajak para intelektual untuk terjun lebih dalam ke dunia kearsipan. Selain bertujuan untuk melestarikan, Mikke juga berharap adanya alternatif lain dalam mengaktivasi arsip.
Acara ini merupakan rangkaian acara perayaan ulang tahun IVAA yang ke 25 Tahun. Selain acara ini, IVAA juga mengadakan Festival Arsip yang bertajuk “Ephemera” pada 16-22 Desember di Gedung BPNB. Dalam festival kali ini IVAA berusaha melihat praktik-praktik pengarsipan warga (kampung Dipowinatan, Yogyakarta) yang kerap luput dari penglihatan masyarakat luas. (Bian)