Oleh: Febrian Adinata Hasibuan
Seni visual ‘vulgar’ membawa ambiguitas lebih dari sekadar ketegangan-ketegangan praktis-teknis. Yang paling banter hanya membuat kita vertigo. Secara garis besar, ambiguitas seni visual vulgar berada-berdiri pada dua tatap: ‘mata luar’ (penonton) dan ‘mata dalam’ (seniman). Keduanya senantiasa bersitegang. Namun kita perlu dan harus keluar dari perselisihan adu banteng apalagi pencekalan, dan mengetengahkan ambiguitas sebenarnya: vulgaritas tubuh sebagai momen menemukan ‘yang politik’: dinamisasi ruang publik.
Dalam perjalanan saya bersama Syska La Veggie mengompilasi pengalaman dan ingatan seniman perempuan di sekitarnya, kami menemukan bahwa seni visual vulgar perlahan kehilangan ambiguitasnya. Vulgaritas acap ditangkap ‘mata luar’ sebagai objek eksibisi ketabuan, pemuas hasrat seksual, dan ancaman moralitas umum. Itu wajar-wajar saja. Tapi, jika kita setia pada ambiguitas seni visual vulgar cukup lentur mewadahi pengalaman sehari-hari individu atau kolektif. Tentang pengalaman traumatis seksual, identifikasi diri (genital, infantil dan puber), relasi intim seksual, statement personal-sosial, dan sebagainya. Proses kecelakaan tatapan antara ‘mata luar’ dan ‘mata dalam’ inilah yang dapat dikedepankan terus menerus ketika berhadapan dengan karya vulgar. Ia tidak pernah bisa ditolak, dan hanya bisa dikelola sebagai perluasan dialog-dialog di ruang publik.
Jika tawaran itu dapat diterima, seni visual vulgar sebagai ambiguitas positif dapat mendewasakan kita, mencairkan kebekuan ruang publik, yang agaknya belakangan didominasi oleh kepentingan-kepentingan di luar diri kita. Dengan kata lain, kecelakaan antara ‘mata dalam’ dan ‘mata luar’ bukanlah sesuatu yang muspro, tetapi memang membuka kemungkinan lain untuk saling mendengar, merasakan, mengakomodir, dan mengelola kehadiran seni vulgar di sekitar kita.
Pameran seni Syska La Veggie berjudul Gak Boleh Begitu, Gak Boleh Begini, katanya (Sebuah Gradasi) yang ditempuh melalui proses mengitar arsip perupa vulgar di sekelilingnya (Jawa Timur), dapat kita taruh sebagai uji coba kecelakaan positif, yang mendorong kita untuk menemukan ‘yang politik’ ketimbang sekadar mengamankan barang bukti untuk diperkarakan atau membuat marka sosial tanpa merangkai kembali ruang publik yang demokratis.
Rekaman selama berproses dalam program Mini Residensi Ephemera #2 ini bisa disimak melalui post event kataog yang dapat diakses melalui tautan ini