Judul : Andesit untuk Bangsa
Penulis : Ireng Laras Sari
Penerbit : Pohon Cahaya
Tahun terbit : 2015
Tempat terbit : Yogyakarta
Halaman : 352 hlm
Resensi oleh : Firda Rihatusholihah
Andesit. Jenis batuan beku vulkanik ini dapat ditemukan di Pegunungan Andes di sepanjang pantai barat Amerika Selatan. Batuan Andesit juga ditemukan di jalur gunung berapi di Indonesia. Dibanding jenis batuan lainnya, batu andesit seringkali ditemukan penggunaannya pada bangunan atau benda megalitik: punden berundak, sarkofagus, lumpang, dan lainnya. Ribuan tahun setelahnya, pada 1962-1964, sekelompok seniman dari Sanggar Selabinangun menggunakan batuan tersebut untuk mengukir relief yang saat ini berada di Hotel Indonesia. Harijadi, seorang pengamat cuaca-tentara pelajar-pelukis-pemahat yang menjadi pengurus sanggar turut terlibat dalam proyek tersebut.
Berkat sang anak, yaitu Ireng Laras Sari, lika-liku kehidupan Harijadi sebagai pemuda, kepala keluarga, serta seniman kini bisa diketahui secara luas melalui buku yang disusun Ireng. Tetapi sebagai sebuah biografi, aspek yang ia masukkan terlalu luas sehingga perlu dipilah-pilah untuk menentukan aspek utama dalam review ini. Penulis memilih untuk mereview buku dengan melihat sisi kehidupan Harijadi sebagai seorang seniman pahat. Dimulai dari awal karir Harijadi sebagai pengamat cuaca, keterlibatannya dalam Seniman Indonesia Muda (SIM), mendirikan Sanggar Selabinangun (Sangsela), lalu tentang pesanan relief yang ia kerjakan bersama dengan seniman SIM juga Sangsela. Berikut kisahnya.
Selain sebagai pemahat, Harijadi juga seorang pelukis serta pernah menjalani profesi sebagai pengamat cuaca pada 1941 dan mendaftar sebagai tentara pelajar saat Agresi Militer II. Seorang multitalenta ini lahir di Kutoarjo, Jawa Tengah pada 25 Juli 1919. Sedari muda ia dikenal sebagai pribadi yang kreatif juga memiliki beragam minat. Ia pertama kali menggeluti seni rupa, khususnya lukis, saat masih bekerja sebagai pengamat cuaca. Pada 1944 ia ikut mendirikan Seni Rupa Masyarakat, lalu pada 1946 berganti nama menjadi Seniman Indonesia Muda (SIM) yang bermarkas di Pekapalan, Alun-alun Utara, Yogyakarta. SIM di Yogyakarta dan Madiun kemudian menjadi cabang, sementara SIM Solo menjadi pusat.
Keuangan SIM Yogya selama Agresi Militer I (1948) dan II (1949) tersendat karena tidak lagi mendapat pendanaan dari SIM Pusat. Hal itu juga berarti secara administrasi keduanya sudah terpisah. Walaupun kemudian SIM Yogya mendapat subsidi dari Kementerian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan, kekayaan SIM Yogya, Solo, maupun Madiun dirampas oleh tentara Belanda seusai Agresi Militer. Sudjojono yang sebelumnya memimpin SIM Solo pindah ke Yogyakarta, menghidupkan kembali SIM Yogya bersama dengan Harijadi, Surono, Dullah, Ramli, Suromo, dan Hendrodjasmoro. Sudjojono kemudian ditetapkan sebagai ketua SIM pada 2 Februari 1950, dengan Harijadi sebagai bendahara. Sanggar SIM pun pindah Pekapalan ke Bangirejo Taman No. 20, seberang rumah Harijadi
Usai Akademi Seni Rupa Indonesia di Yogyakarta resmi dibuka pada 1950, SIM berencana mendirikan sekolah seni swasta. Sayangnya, rencana tersebut tidak dapat direalisasikan. Walaupun demikian, SIM terbuka bagi siapapun yang ingin belajar di sanggar. Siswa-siswa SIM pula yang nantinya turut membantu pengerjaan pesanan relief pada 1957 di Bandara Kemayoran.
Pada tahun yang sama seusai proyek relief Kemayoran, Harijadi dan Sumilah meninggalkan SIM. Diakui Harijadi bahwa ia tidak sepakat dengan Sudjojono yang saat itu menggerakkan para siswa SIM untuk membuat poster-poster politik. Ia pun mendirikan Sanggar Selabinangun (Sangsela) sekitar 1957-1958. Melalui sanggar yang baru Harijadi justru kebanjiran pesanan relief. Sangsela diminta untuk mengerjakan relief beton di bandara Adisucipto sejak Oktober 1958 hingga satu tahun berikutnya. Akan tetapi relief hanya dikerjakan sampai 70 % dari target yang ditentukan karena kekurangan dana. Dari memahat relief di bandara, Harijadi bersama seniman Sangsela memahat relief di Hotel Indonesia, Ambarukmo Palace Hotel, serta Samudra Beach Hotel selama kurun 1962-1965. Pasca peristiwa G30S, Sangsela tidak luput dari tuduhan keterlibatan. Meski pada akhirnya tidak terbukti, proyek relief di Bali Beach Hotel terkena imbasnya. Sesudah kucuran dana dihentikan, para seniman mengusahakan pendanaan swadaya walaupun terseok-seok. Akan tetapi pembuatan relief berjudul Indonesia yang akan datang dipaksa diakhiri dan Sangsela diperintah untuk meninggalkan barak di sekitar hotel.
Harijadi tidak menghadapi dinamika dunia seni rupa dan seni pahat selama kurun 1950-an hingga 1960-an seorang diri. Ia bersama dengan istri keduanya, Sumilah, aktif mengurus kegiatan-kegiatan di SIM. Misalnya perihal rencana SIM untuk menggunakan kembali bangunan di Pekapalan, Sumilah menjadi “juru bicara” kepada pihak Keraton untuk memohon ijin. Keduanya juga kompak meninggalkan SIM sekitar 1957 lalu mendirikan Sanggar Selabinangun pada 1957-1958. Begitu pula saat Sangsela mengerjakan proyek pahatan relief, Sumilah turut menyertai Harijadi dalam pengerjaan proyek tersebut.
Keistimewaan buku ini ialah bahwa Ireng tidak dengan dingin hanya bercerita mengenai sosok Harijadi sebagai seniman multitalenta, tetapi juga menceritakan Harijadi sebagai ayah dan suami pemarah yang tidak segan memaki anaknya. Barangkali karena ditulis oleh sang anak, biografi ini menangkap cerita-cerita pribadi yang tentu saja tidak banyak diketahui orang. Di sisi lain, sebagai sebuah buku, Andesit untuk Bangsa cukup menyulitkan pembaca karena ketiadaan daftar istilah juga indeks. Beberapa akronim seperti SIM, KBW, KBS, Sangsela juga istilah asing semisal glass in load, steleng, akan lebih mudah dicari artinya apabila ditempatkan dalam satu bagian khusus. Pada akhirnya, usaha Ireng mengumpulkan memori, arsip, dan wawancara guna menyusun Andesit untuk Bangsa setidaknya telah mengingatkan pembaca mengenai kiprah Harijadi sebagai seniman yang turut dibanggakan Sukarno.
Artikel ini merupakan rubrik Sorotan Pustaka dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi November-Desember 2019.