Judul : Menjerat Gus Dur – Mengungkap Rencana Penggulingan Gus Dur
Pengarang : Virdika Rizky Utama
Penerbit : PT. Numedia Digital Indonesia
Tahun Terbit : 2019
Resensi oleh : Santosa Werdoyo
Dokumentasi yang dipaparkan tidak hanya soal keadaan dan kekuatan yang menjatuhkan Gus Dur dengan konteks yang lebih luas dari masa kepemimpinannya yang transformasional. Misal, data-data secara panjang dikupas mulai dari pemilihan umum 1999 dengan kemenangan PDI, walau tidak otomatis memenangkan pemilihan presiden lewat suara parlemen, hingga pemerintahan Habibie. Rujukan data-data yang digunakan termasuk dari media massa cetak maupun elektronik.
Orde Baru mengubah paradigma ‘politik sebagai panglima’ menjadi ‘ekonomi sebagai panglima’. Orde baru menyerahkan mekanisme pasar, akan tetapi mekanisme pasar yang terjadi dalam perjalanannya Soeharto membentuk sebuah sistem patron-klien dengan pengusaha melalui militer dan atau teman-teman terdekat. Soeharto juga membuat pondasi untuk kekayaan keluarganya dengan menciptakan sistem yang berskala nasional yang mempertahankan selnya. Rezim Orde Baru juga ditopang oleh struktur politik ABG (ABRI, Birokrasi dan Golkar).
Menjelang 1990, Soeharto mulai menganggap ABRI tak lagi solid mendukungnya, karena diisukan Benny Moerdani akan melakukan kudeta. Soeharto menggalang kekuatan baru untuk mendukung kekuasaannya dengan mendirikan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang menempatkan Habibie sebagai presidiumnya. Gus Dur bersama 40 intelektual lintas agama mendirikan Forum Demokrasi (Fordem) untuk melakukan perlawanan gagasan Soeharto dengan ICMI-nya yang sektarian. Selain mendirikan ICMI untuk menopang kekuasaan, Orde Baru juga mengintervensi PDI dengan dualisme kepemimpinan; Megawati hasil kongres Surabaya dan Soerjadi Hasil kongres Medan. Sedangkan yang diakui pemerintah adalah hasil kongres Medan yang tidak mengakui PDI pimpinan Megawati. Akhirnya kubu Megawati mengganti nama PDI-nya menjadi PDIP agar dapat mengikuti pemilu 1999.
Pada masa akhir kekuasaan Soeharto, muncul perlawanan di mana-mana, gelombang unjuk rasa dari kalangan mahasiswa dan intelektual yang menuntut ia untuk lengser. Kerusuhan terjadi di mana-mana, khususnya di Jakarta yang mengakibatkan stabilitas negara tidak kondusif dibarengi dengan krisis ekonomi yang mengakibatkan daya beli masyarakat rendah. Akhirnya di tahun 1998 Presiden Soeharto berpidato menyatakan mengundurkan diri dari jabatan presiden RI.
Di sisi lain, setelah Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya, kelompok sipil yang merepresentasikan kelompok Islam politik yang dimotori Habibie meminta diberikan kewenangan menjadi presiden yang baru. Habibie lalu dilantik menjadi presiden, sesaat setelah Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998. Pada saat itu masyarakat memiliki dua pilihan, yakni reformasi atau revolusi. Golkar sebagai partai politik yang masih dominan memilih reformasi dengan tujuan masih bisa berkonsolidasi untuk pemilu tahun 1999 yang akan segera berlangsung.
Pada pemilu pertama tahun 1999, setelah 32 tahun di bawah Orde Baru, dari total 462 kursi di parlemen PDIP mendapatkan 153 kursi, Golkar 120, dan 51 kursi untuk partai Gus Dur (PKB), sisanya partai yang lainnya. Harapan Megawati Soekarnoputri menjadi presiden dengan partainya, PDIP, mendapat dukungan mayoritas di parlemen. Tetapi koalisi dari kelompok Islam radikal-konservatif dan kaum demokrat muslim melahirkan koalisi “Poros Tengah“ yang memilih Gus Dur ketimbang Megawati.
Pemilihan presiden lewat parlemen akhirnya memenangkan Gus Dur sebagai presiden RI. Seiring waktu belum genap dua tahun skandal Buloggate dan Bruneigate muncul, dan itu melatarbelakangi dilengserkannya Gus Dur. Dengan pengadilan politik mulai hak angket, interpelasi hingga membentuk pansus Buloggate dan Bruneigate, sebenarnya bukan pengadilan hukum yang dikedepankan.
Kebijakan Gus Dur untuk mencopot Yusuf Kalla dan Laksamana Sukardi sebagai menteri, dengan tujuan mempreteli basis ekonomi Golkar dan PDIP di BUMN dan lembaga penting adalah pemicu ketidaksukaan Golkar dan PDIP sebagai pemenang pemilu 1999. Pengikisan kekuatan lama dan berakhirnya dwi fungsi ABRI yang mengakibatkan dukungan militer terhambat, kebijakan pluralisme terkait dengan etnis minoritas Cina dan Kristen-Katolik menunjukkan bahwa Gus Dur, yang dianggap sebagai representasi kekuatan Islam politik, malah cenderung berpihak pada minoritas. Kelompok Islam radikal-konservatif menjadi kecewa.
Gus Dur terbentur dan terjungkal sebelum melewati dua tahun masa jabatannya. Walaupun demikian Gus Dur telah meletakkan dasar penting dengan mengakhiri dwi fungsi ABRI, menguatkan pengakuan atas hak-hak orang Tionghoa di Indonesia, warga Papua, Kristen dan minoritas lainnya sebagai sesama warga Indonesia, melindungi kebebasan pers, mengharapkan akan demokrasi dan menghancurkan kultus “presiden super kuat”.
Pembaca bisa belajar dengan gaya kepemimpinan Orde Baru dengan militerisme, sektarianisme, kolusi dan nepotisme untuk melanggengkan kekuasaan, atau gaya Gus Dur dengan demokrasi dan kebijakan pluralisme yang dikedepankan walau hanya selama kurang dari dua tahun masa kepemimpinannya.
Artikel ini merupakan rubrik Sorotan Pustaka dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi Maret-April 2020.