oleh Krisnawan Wisnu
The Museum of Lost Space menggelar pertunjukan teater open rehearsal bertajuk Dalam Pencarian Ruang Hilang (In Search of Lost Space). Pertunjukan teater di RumahIVAA ini dimaksudkan sebagai bentuk uji coba presentasi sebelum ke hadapan publik luas. Dari jam 8 hingga 10-an malam, 22 Februari 2021, pertunjukan dan diskusi digelar di ruang baca perpustakaan. Teman-teman The Museum of Lost Space mengundang beberapa penanggap khusus untuk merespon pertunjukan teater mereka. Beberapa di antaranya adalah Naomi Srikandi, Ikun SK, Fairuzul Mumtaz, Khoiril Maqin, dan Irfanuddien Ghozali.
Dalam Pencarian Ruang Hilang bercerita tentang Hida (Neneng Hanifah Maryam) yang mencari adiknya, Andi. Ia meminta bantuan Rudi (Geovani Ega), seorang terapis forensik yang ternyata dulu adalah teman satu geng dengan Andi. Dengan tata cahaya (Rahmat Hidayat), tata musik (Regina Gandes Mutiari, Azaro Verdo), dan tata panggung (Efendi Mazila) sebagai penguat latar pertunjukan, proses Hida menggali mimpi berujung pada Andi yang tak kunjung ketemu. Justru, tergelarlah fragmen-fragmen kekerasan dan hilangnya ruang akal sehat di Yogyakarta dari waktu ke waktu. Alih-alih secara langsung menilai fenomena klitih, pertunjukan ini ingin membuka kemungkinan negosiasi interpretasi secara artistik.
Sebagai sebuah open rehearsal, ada beberapa komentar dari penanggap khusus. Ikun SK menyoroti perihal tidak hadirnya representasi dari suara subjek klitih itu sendiri, meski bagi dia urusan dramaturginya sudah beres. Ghozali lebih menyoroti nuansa surealis yang muncul; ketika kegelapan sehari-hari disurealiskan, itu jadi hilang. Lain lagi dengan Naomi. Ia memberi komentar tentang posisi dari pencipta pertunjukan ini yang digawangi oleh Habiburrachman (sutradara) dan Febrian Adinata Hasibuan (dramaturg). Bagi Naomi, pertunjukan ini justru menjadi sebuah penciptaan peristiwa untuk menemukan persoalan dan mediumnya. Bahwa dalam konteks pembacaan fenomena klitih, interogasi posisi dan pernyataan seputar apakah ini kekerasan atau bukan, bagaimana pertimbangan atas mereka yang mengalami trauma, penting untuk betul-betul dimatangkan. Dan memang, Febrian Adinata serta Habiburrachman menawarkan rekonstruksi terapi forensik sebagai fiksi; sebagai momen interogatif untuk membenturkan temuan lapangan dengan artikulasi bahasa kemungkinan (language of possibility).
Artikel ini merupakan rubrik Agenda Rumah IVAA dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi Januari-Maret 2021