Oleh Najia Nuriyana dan Ahmad Muzakki (Kawan Magang IVAA)
Kawasan Imogiri menjadi salah satu akses menuju kawasan pariwisata yang ada di selatan Yogyakarta. Banyaknya wisatawan yang berkunjung ke kawasan ini membuat kuantitas sampah meningkat. Tidak hanya tercecer di pinggir jalan, banyak pihak tidak bertanggung jawab juga membuang sampahnya di sungai maupun jembatan yang dilewatinya. Hal ini juga menimpa Jembatan Siluk Imogiri, salah satu jembatan yang beralih menjadi tempat sampah bagi para pengguna Jalan Imogiri.
Kali Oyo merupakan aliran sungai Jembatan Siluk dan menjadi salah satu sungai yang sering mengalami kebanjiran. Selain, karena sampah dari aliran sungai, banjir di Kali Oyo disebabkan oleh menumpuknya sampah di sekitar Jembatan Siluk. Kondisi inilah yang menggugah Kuat, atau biasa orang mengenal dia dengan nama Kuart, untuk merubah kondisi buruk tersebut. Sampah di Jembatan Siluk yang dinilai sangat meresahkan masyarakat sekitar menjadi alasan utama Kuat untuk berpikir kreatif merubah tempat itu. Perubahan yang dilakukan adalah dengan menciptakan serangkaian kegiatan yang mendorong masyarakat agar sadar terhadap lingkungan, terutama di kawasan Siluk.
Kuat merupakan seorang seniman yang berasal dari Yogyakarta. Ia pernah menempuh pendidikan di Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Latar belakang sebagai seorang pelukis membuat aksi Kuat mendapat dukungan dari banyak pihak, khususnya para rekan sesama seniman. Melalui kegiatan yang dicanangkan ini Kuat berbagi ilmunya bersama masyarakat sekitar untuk meningkatkan kepedulian terhadap lingkungan, sekaligus terhadap seni rupa.
Aksi nyata yang dilakukan Kuat pada mulanya sebatas membersihkan sampah di kolong jembatan, kemudian mengolah hingga menjualnya. Kegiatan tersebut tidak dilakukannya sendiri tetapi dibantu oleh pemuda sekitar. Rasa puas belum menghampiri Kuat atas kegiatan bermanfaat yang dilakukannya. Muncul ide untuk membuat kegiatan edukasi di kolong Jembatan Siluk yang dapat mendatangkan manfaat bagi masyarakat sekitar. Bermula dari inisiasi pria kelahiran Bantul 15 Juni 1978 itu akhirnya Jembatan Siluk dikenal oleh masyarakat luas dengan sebutan JES (Jembatan Edukasi Siluk).
Kuat menyatakan bahwa secara resmi pada Oktober 2016 Jembatan Edukasi Siluk telah berdiri. Kuat bersama timnya mengajak masyarakat sekitar untuk menghidupi kegiatan edukasi di Jembatan Siluk. Beberapa donatur mulai berdatangan, buku sedikit demi sedikit mulai bertambah. Hingga akhirnya tercetus Taman Baca, yang saat ini jumlah koleksinya mencapai 3000 lebih buku dengan berbagai jenis. Para orang tua cukup antusias dengan adanya Taman Baca dan kegiatan yang dilakukan Kuat beserta timnya. Bahkan mereka sangat mendukung anak-anaknya untuk aktif di Jembatan Edukasi Siluk.
Pada 2017 Jembatan Edukasi Siluk semakin menebalkan identitasnya dengan mencoba membuat kegiatan-kegiatan lain. Mulanya terdapat kelas memasak bagi ibu-ibu sekitar. Seiring berkembangnya waktu dan dikarenakan kurangnya relawan, muncul kegiatan baru, seperti kelas senam, kelas sampah, kelas melukis, dan kelas keterampilan yang rutin diadakan pada setiap bulannya.
Kelas pengolahan sampah dilaksanakan dengan cara keliling dusun sekitar untuk mengambil sampah di setiap rumah. Kegiatan ini dilaksanakan bersama para peserta didik, sebagai salah satu proses edukasi serta penyadaran masyarakat sekitar terhadap isu pengelolaan sampah. Sampah yang dikumpulkan kemudian dipilah dan dijual. Hasil penjualan sampah yang diperoleh digunakan untuk membeli dan melengkapi kebutuhan kegiatan edukasi di Jembatan Siluk itu sendiri, seperti membeli cat air, pastel dan lain sebagainya. Seiring berjalannya waktu masyarakat mulai sadar akan bahaya sampah. Selain itu, Kuat dan para kontributor di sana juga memasang jaring-jaring di sepanjang Jembatan Siluk dengan tujuan agar para pengendara tidak asal melempar sampahnya ke Kali Oyo.
Selain kegiatan lingkungan, aktivitas kesenian juga berlangsung di jembatan ini. Dengan latar belakang seniman, Kuat tidak lupa menyalurkan bakat seninya. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa masyarakat sangat mendukung kegiatan positif ini. Proses kesenian yang digelar salah satunya adalah kelas melukis. Kegiatan ini dilaksanakan pada minggu ke empat, dimana setidaknya ada 30-50 peserta didik. Yuswantoro Adi, salah satu seniman Yogyakarta, juga aktif dan rela meluangkan waktunya untuk mengajar kelas melukis. Begitu juga dengan Bagong Subagyo. Beliau fokus dalam mengajar keterampilan. Wayang kertas, bunga dari botol bekas merupakan salah satu contoh hasil karya dalam kelas keterampilan.
Kegiatan lukis di Jembatan Siluk ini masih menggunakan kertas dan baru sekali menggunakan kanvas. Hasil karya anak-anak ini akan dipamerkan dalam sebuah pameran lukisan di bawah Jembatan Siluk. Pameran perdana Siluk yang diadakan pada 2018 berhasil memamerkan sejumlah 1000 lukisan karya anak-anak. Hasil dari lukisan yang terjual digunakan untuk membeli perlengkapan lukis peserta didik. Rencananya pameran ini akan diadakan lagi pada 2019.
Kegiatan edukasi di Jembatan Siluk berbeda dengan pendidikan formal lainnya. Di sini tidak ada kurikulum yang paten, akan tetapi prinsip yang diterapkan adalah ‘kebahagiaan’. Para mentor yang mengisi materi dituntut untuk membuat para peserta didik menjadi bahagia dan ikhlas dalam berkarya.
“Jika mereka bahagia, gambar mereka akan bagus. Saya tidak akan menilai bagus tidaknya gambar anak. Prinsip keberhasilan saya adalah jika anak-anak menjadi senang menggambar. Jika anak-anak menjadi tidak senang menggambar berarti itu yang menjadi masalah”, ungkap Yuswantoro Adi.
Selain dipamerkan, hasil karya para peserta didik juga diarsipkan oleh Kuat dan kawan-kawannya. Praktik ini dilakukan untuk menghargai karya para peserta didiknya. Jika peserta didik ingin membawa karyanya pulang, maka mereka harus menggambar lebih dari satu agar dapat memberi satu karyanya untuk diarsipkan. Itulah prinsip yang ditanamkan Kuat pada peserta didiknya.
Kegiatan Kuat dan pemuda Siluk sangat didukung para orang tua peserta didik dan masyarakat sekitar. Selain membantu menjaga lingkungan, kegiatan ini juga bermanfaat untuk anak-anak. Di setiap kegiatan banyak para orang tua yang ikut menemani putra-putrinya. Upaya Kuat yang dulu belum mendapat perhatian, lambat laun mulai dikenal masyarakat sekitar. Hingga 2019 ini banyak peserta didik yang berasal dari luar Imogiri. Kegiatan Kuat juga mulai dikenal warga mancanegara, seperti adanya kunjungan dari mahasiswa dari Jepang. Berkat kegigihannya Kuat mendapatkan penghargaan dari pemerintah yaitu “Green Awards” sebagai kategori penyelamatan sumber daya air.
Tiga tahun kerja keras Kuat dan timnya telah membuahkan hasil. Masyarakat mulai merubah kebiasaan buruknya untuk tidak membuang sampah di sungai terutama di Kali Oyo. Sentuhan ekologi yang berdampingan dengan kesenian telah memberikan pemandangan yang berbeda. Wajah baru di kolong Jembatan Siluk mulai sedap dipandang. Warna-warni tembok, tanaman hias, dan aliran sungai yang bersih dari sampah menunjukkan bahwa para seniman telah mampu berkolaborasi bersama masyarakat sekitar. Tentu, Jembatan Edukasi Siluk belum dan tidak akan pernah usai. Wajah kolong jembatan yang mulai sedap dipandang bukanlah indikator yang mampu menentukan keberhasilan edukasi. Justru, ia adalah pintu masuk untuk menyikapi berbagai masalah yang lingkungan dan manusia di sekitarnya yang lebih luas. Setidaknya, Jembatan Edukasi Siluk telah memberi kita contoh bahwa melalui kerja kolaborasi, mengawinkan praktik ekologis dan kesenian, sebuah perubahan bukanlah hal yang tidak mungkin.
Rubrik ini merupakan rubrik Sorotan Dokumentasi dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi Maret-April 2019.