Oleh: Pitra Hutomo
Sebagai orang yang membaca disertasi doktorat Sanento hampir 35 tahun selepas masa studinya di Paris, saya lebih dulu terpapar dengan tulisannya yang berbahasa Indonesia. Disertasi berbahasa Prancis tersebut saya peroleh dari kolega, peneliti asal Australia yang telah menyusun bibliografi S. Sudjojono. Keberadaan disertasi berjudul “Genese de La Peinture Indonesienne Contemporaine – Le Role de S. Sudjojono” yang jika diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi “Asal Mula Seni Lukis Indonesia Kontemporer – Peran S. Sudjojono” ini nyaris menjadi rumor belaka. Semoga setelah pelaku seni Indonesia bisa dengan mudah mengakses terjemahan bahasa Indonesia untuk disertasi Sanento, makin luas dan mendalam pula penulisan tentang S. Sudjojono dan sejarah seni rupa Indonesia.
Sanento Yuliman adalah tokoh kunci yang menelusuri jejak praktik seni lukis di Indonesia. Minat dan perhatiannya hadir dalam tulisan-tulisan bertarikh 1969 hingga 1990 di surat kabar nasional hingga majalah kampus. Sanento dan penulis lain yang aktif sejak sebelum jamaknya menulis untuk katalog [1] nampaknya memanfaatkan ruang di media massa sebagai ekspresi sekaligus ranah kontestasi gagasan. Mereka menulis sejarah, kritik, saduran, laporan di koran dan majalah; mengampu berbagai peran sekaligus sebagai pelukis yang menulis atau sebaliknya; menyampaikan opini dan menggagas polemik. Tak heran jika kehadiran wartawan budaya sempat menjadi jalan masuk membicarakan peran kritikus dalam polemik antara Hardi dan Sudarmaji di Kompas, 10 dan 24 Maret 1980.
Debat antara Hardi dan Sudarmaji memotret keprihatinan karena mandegnya kritik seni. Pembangunan sarana fisik untuk pameran saja tidak mencukupi tanpa upaya membangun kapasitas sumber daya manusia. Siapapun yang menulis tentang kesenian di media massa diharapkan memahami filsafat dan operasi seni agar bisa menyajikan tulisannya secara kritis. Hardi membuka tulisannya dengan persepsi pekerja seni terhadap tanggung jawab wartawan budaya, “Salah seorang anggota AKADEMI JAKARTA, Rusli dalam pertemuan tadi juga menyinggung hadirnya wartawan budaya yang meramaikan di koran dan majalah. Beliau berkata bahwa, wartawan budaya biasanya wartawan yang baru masuk dan di drop oleh PEMRED nya mangkal di TIM. Mereka sebenarnya sedang dalam keadaan belajar menulis laporan, belajar membikin interviu! Kenapa? Sebab sektor kesenian, yang paling aman bila melakukan salah kutip ataupun salah tafsir. Mereka tidak akan dipanggil ataupun diinterogasi, hanya senimannya saja yang kena getahnya.” [2]
Pun demikian Hardi merasa kerja wartawan budaya yang mendapatkan informasi tentang karya dan pameran melalui wawancara, lebih baik daripada menulis komentar pribadi yang dianggap kritik. Sayangnya Hardi malah berlarut-larut menyebut nama-nama segelintir kritikus seni rupa dan sebatas mengkritik kecenderungan penulisan mereka. Maka dengan ringan pula Sudarmaji menisbikan isi tulisan Hardi yang dianggapnya belum cukup banyak membaca tulisan-tulisan Dan Suwaryono. [3]
Hardi bisa jadi telah membuka peluang untuk penulisan kritik seni oleh wartawan budaya. Tawaran yang kiranya tidak menarik bagi kebanyakan redaktur pelaksana, karena hingga kini wartawan budaya hanya menulis liputan pameran atau profil seniman. Padahal di mana lagi bisa ditemukan tulisan tentang seni rupa Indonesia setelah satu per satu majalah kebudayaan gulung tikar? Lantas, apakah tulisan analitis atau mengacu pada wacana mutlak menjadi tanggung jawab pekerja seni? Apakah wartawan budaya termasuk pekerja seni?
Selain dibicarakan sebagai gugus praktik kebudayaan, peran wartawan budaya sempat dikupas dalam Temu Redaktur Kebudayaan Se-Indonesia III/2014. Acara tersebut akhirnya merumuskan Petisi Siak 2014 yang mendesak pengesahan Rancangan Undang Undang Kebudayaan (RUU Kebudayaan) dan pembentukan Kementerian Kebudayaan pada Kabinet Indonesia Bersatu jilid dua. Rumusan petisi oleh wartawan budaya rupanya bertentangan dengan keinginan para pekerja seni yang dua bulan kemudian menuntut penangguhan pengesahan RUU Kebudayaan, karena tersiratnya potensi pembatasan kebebasan berekspresi hingga soal sertifikasi seniman.
Paradigma negara yang membentuk opini umum tentang seni agaknya tidak pernah bisa menjadi rujukan positif. Di masa awal kemerdekaan, pranata seni ditumbuhkan melalui semangat kebangsaan untuk mengentalkan ke-Indonesiaan. Pergantian pemerintahan nasional dan lokal meniscayakan para pelaku kesenian Indonesia untuk memanfaatkan berbagai wajah. Wajah pertama digunakan saat menghadapi birokrasi, terutama untuk pelaku yang masih mempercayai pemerintah dapat berperan aktif dan wajib mendukung kesinambungan seni dengan kebijakan. Wajah kedua digunakan saat menghadapi pihak-pihak yang mampu dan relatif bisa bernegosiasi untuk membiayai dan menghidupi hajat seni. Sedangkan wajah ketiga muncul ketika pelaku seni melampaui proses pemikiran dan penciptaan dengan menghadirkan seni ke ruang hidup bersama, melalui pertunjukan, pameran, atau bentuk-bentuk ekspresi lain, termasuk tulisan, rekaman, dan kajian akademis tentang seni.
Petisi Siak 2014 adalah upaya yang dalam beberapa hal justru melemahkan bangunan pengetahuan seni di Indonesia. Mengapa wartawan budaya hanya mampu mengartikulasikan kebutuhan kerja mereka dari penegasan arah kebudayaan Indonesia? Mengapa untuk menjalankan fungsi-fungsi profesinya, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) lebih mempercayai arah kebudayaan melalui kebijakan? Bukankah kebijakan pemerintah RI untuk kebudayaan mestinya sama-sama dirumuskan oleh pekerja seni, yang dalam skala tertentu juga termasuk wartawan budaya?
Silakan unduh Kajian Kerangka Hukum untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan melalui situs web KSI
Dasar pemikiran Petisi Siak 2014 setidaknya membuktikan bahwa target mendefinisikan identitas nasional melalui kebudayaan adalah ilusi yang belum bisa diterjemahkan menjadi kerja-kerja kolaboratif. Siapapun bisa mengeluhkan keterbatasan rujukan atau ketiadaan sejarah seni di Indonesia karena praktik-praktik penulisan dan pengarsipannya masih dipinggirkan dari arus utama produksi seni rupa. Moda yang paling umum dalam seni rupa hari ini hanya mengandalkan cara-cara mengekspos si pembuat karya dalam rangka mempromosikan karya untuk menegaskan nilai ekonomisnya. Penulisan seni hari ini di ranah populer hanya ditumbuhkan dalam tradisi menulis di katalog atau media sosial. Debat Hardi dan Sudarmaji atau polemik lain di surat kabar perlahan-lahan pudar seiring menyempitnya lingkup pergaulan seni rupa.
Melalui disertasi Sanento Yuliman, saya menemukan bahwa salah satu teknik yang ditempuh oleh penulis-penulis seni rupa Indonesia untuk menyiasati keterbatasan rujukan sejarah adalah dengan membuat kajian tentang hubungan antar pelaku. Judul disertasi Sanento menegaskan pentingnya peranan S.Sudjojono untuk seni lukis Indonesia kontemporer. Namun, peran S. Sudjojono tidak akan muncul ke permukaan tanpa kejelian melihat hubungan-hubungan interpersonal dan pengetahuan yang dipertukarkan dalam lingkup pergaulan seni rupa. Sanento berupaya memaparkan simpul-simpul informasi ini di atas kesadaran bahwa seni lukis kontemporer membutuhkan pranata sosial dan pembagian peran. Baginya, pekerja seni rupa di Indonesia beruntung karena pernah mencecap subsidi pemerintah untuk pendidikan, sehingga kalangan seni (dan sastra) terdiri dari orang-orang yang lebih terdidik daripada sebagian besar masyarakat Indonesia.
Sanento membatasi istilah Seni Lukis Indonesia Kontemporer sebagai praktik melukis di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Medan, Padang, Ujung Pandang dan beberapa kota lain. Praktik melukis berkembang di kota-kota tersebut karena menjadi situs berkumpulnya pelukis, tempat menempuh pendidikan seni dan simpul-simpul memperoleh informasi tentang kesenian. Karena itu kajian Sanento paling dekat disebut sebagai studi antropologi sosial tentang seni lukis Indonesia. Disertasinya menjadi potret pengalaman pekerja seni yang meneliti jalur-jalur distribusi pengetahuan seni melalui dokumentasi praktik kebudayaan.
Bagi kita yang mulai belajar seni rupa Indonesia setelah penerjemahan buku kunci seperti “Art in Indonesia: Continuities and Change” (Cornell University Press, 1967 edisi terjemahan diterbitkan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 2000), reputasi S. Sudjojono sebagai pelukis nasional telah menjadi pengetahuan kolektif. Sanento menyayangkan ketiadaan studi yang cukup mendalam tentang seni rupa Indonesia selain yang dilakukan Claire Holt, “padahal dia (kajian seni rupa Indonesia) dapat menerangkan aspek tertentu dalam masyarakat kontemporer Indonesia.”
Dalam disertasi Sanento ditemukan pula teknik alih bahasa yang khas, yakni memadankan istilah praktik kebudayaan masa lampau dengan ekspresi kebudayaan masa kini. Dua kecenderungan menulis tentang seni rupa inilah yang agaknya diwariskan pada penulis-penulis seni rupa setelah Sanento. Sedangkan kebutuhan padanan bahasa Indonesia yang merata di segala bidang termasuk kesenian terus dilakukan oleh pekerja-pekerja seni Indonesia, sejak menulis “Daftar Istilah Seni Rupa” (ITB, 1985) hingga “Diksi Rupa” (DictiArt Lab&Jagad Art Space, Edisi Revisi 2012).
Hasil penelusuran “SENI”
Jepretan penelusuran di Katalog Perpustakaan Nasional dalam Jaringan
http://opac.pnri.go.id/ diakses 16 Agustus 2016
Menggunakan lema pertumbuhan, perkembangan, dinamika dan sejenisnya untuk mengangkat pembicaraan tentang seni rupa dianggap hanya menjadi tanggung jawab segelintir orang yang dianggap mampu menulis. Media massa di Indonesia khususnya surat kabar telah menjadi acuan utama untuk membaca tentang seni budaya. Namun, bagaimana dengan tulisan akademis?
Hasil pencarian saya di katalog Perpustakaan Nasional, pencarian kata kunci “seni” menghasilkan beberapa entri terbitan perguruan tinggi. Hal ini kurang lebih menunjukkan bahwa jalur akademis seni telah menjadi medan kontestasi teori dan pewacanaan praktik di Indonesia. Satu-satunya cara untuk membuktikan kualitas penulisan adalah dengan membaca dan mendiskusikannya. Sehingga jika seorang peneliti seni hari ini masih berkata bahwa kajian atau kritik seni rupa Indonesia berkualitas rendah, hendaknya kita sama-sama menguji kesungguhan pernyataan tersebut. Tak lain dan tak bukan dengan terus membuat kajian komprehensif tentang tulisan seni rupa Indonesia, di dalam dan di luar perguruan tinggi.
[1] Katalog adalah jalan masuk strategis untuk mempelajari mekanisme penyelenggaraan kegiatan utama dalam seni rupa, yakni pameran. Apalagi katalog pameran hari ini jamak mencantumkan lembar kolofon yang berisi catatan penerbitan, produksi dan penyebutan pihak-pihak terlibat. Anda akan mendapati sejumlah logo dan nama-nama di luar sektor kesenian karena penyelenggaraan pameran seni rupa semakin kerap mengandalkan sponsor dari perusahaan atau sektor komersial. Fisik katalog pameran yang berupa buku dengan sampul tebal dan keras dirujuk sebagai coffee table book dalam entri Wikipedia sebagai art or museum exhibition catalogues (https://en.wikipedia.org/wiki/Exhibition_catalogue#Art_or_museum_exhibition_catalogues diakses 25 Agustus 2016). Sedangkan paparan singkat mengenai perlu atau tidaknya pengadaan katalog pameran pernah ditulis I Wayan Suardika di Bali Post, 30 November 2003. Dalam artikel berjudul “Katalog Seni Rupa, Wacana atau Gambar?” Suardika mengupas perihal pembiayaan produksi katalog berdasarkan bentuk fisiknya dan pelibatan sejumlah pihak yang menulis. Mengenai tulisan (wacana) dalam katalog pameran, Suardika mengutip Made Budhiana, “Lukisan yang sebetulnya tak terlalu istimewa kok dibahas dengan gawat, dengan bahasa seram-seram pula.”
[2] Kompas, 10 Maret 1980. Hardi menulis artikel ini setelah dia memenuhi undangan dari Akademi Jakarta untuk membicarakan masalah dalam perkembangan seni rupa.Tulisan Hardi kemudian dirujuk oleh Sudarmaji (ditulis juga Sudarmadji) di Kompas, 24 Maret 1980. Dalam artikelnya, Hardi sempat menulis tentang Sudarmaji sebagai guru untuk “oknum-oknum dari STSRI Yogya” yang menulis kritik seni di surat kabar. Sedangkan yang disebut sebagai oknum oleh Hardi adalah Agus Dermawan T dan Bambang Bujono.
[3] Dan Suwaryono (ditulis juga Dan Suwarjono atau Soewarjono) adalah penulis yang dianggap turut membentuk tradisi awal penulisan seni rupa Indonesia yakni tahun 50-an. Tidak hanya menulis, Suwaryono menyadur dan kerap mengisi kuliah umum atau menjadi narasumber diskusi seni dan film. Dalam buku The Journey of Indonesian Painting: The Bentara Budaya Collection (Jakarta, 2008), dia dikisahkan semakin jarang menulis karena bosan dengan pameran yang itu-itu saja. Dalam tulisannya yang mendebat Hardi, Sudarmaji menyebut tulisan Dan Suwaryono berat karena “Suka menyuruk ke sektor filosofi, psikologi, dan komparatif sifatnya.” Karena itulah Hardi dianggap sebagai pelukis yang tidak mampu membaca tulisan Dan Suwaryono.