7 April 2015
7 April 2015
Disalin dari : Agraria
08 Maret 2015
Himpunan Masalah Agraria Struktural di DIY
Oleh : Tim Basis Data
Naskah ini disusun oleh Forum Diskusi Darurat Agraria DIY (diprakarsai oleh beberapa komunitas warga terdampak sejak 30 Januari 2015, bertempat di Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria/KARSA) sebagai salah satu bentuk pemetaan terhadap Masalah Agraria Struktural (MAS) yang terjadi di DIY. Disebut MAS karena kepentingan masyarakat berlawanan dengan kepentingan kekuasaan pemerintah dan bukan pemerintah yang berpihak pada kepentingan pemodal. MAS yang terhimpun (belum seluruhnya) dikelompokan sebagai: Megaproyek karena melibatkan modal besar, berdampak luas dan berkelanjutan (diberi keterangan: megaproyek) dan bukan megraproyek karena melibatkan modal menengah hingga kecil, berdampak sempit dan tidak berkelanjutan. MAS yang bukan megaproyek dapat menjadi megaproyek jika berada dalam kesatuan wilayah sosial dan ekologis.
Megaproyek yang dimaksud adalah MP3EI (Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia). Di mana-mana, megaproyek ini dipromosikan sebagai pembangunan, meskipun hakikatnya adalah penjajahan ekonomi oleh sistem kapitalisme. Di manapun, MP3EI telah menimbulkan konflik sosial dan merusak lingkungan hidup, karena MP3EI menyasaratkan pengambilalihan ruang hidup rakyat demi pertambangan; industri berat; jalan tol; bandara internasional atau fasilitas jasa pertemuan; penginapan; dan wisata. MP3EI menyebut perputaran modal di bidang jasa ini sebagai proyek MICE: Meeting, Incentive, Convention,Exhibition. DIY adalah salah satu sasaran MICE, lebih-lebih dengan merk barunya: Jogja Istimewa.
1. Nama proyek : Pertambangan pasir besi dan pembangunan pabrik baja (Megaproyek)
Lokasi : Kulon Progo
Luas/jumlah : 22 km x 1,8 km, 3 Kecamatan (6 desa), ± 30.000 jiwa
Waktu : 2006- sekarang
Aktor penyebab : PT JMI (Rajawali Grup), Pakualaman, Kabupaten, Presiden
Akar rumput : Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP KP)
Sumber referensi: Kertas Posisi PPLP (www.petanimerdeka.tk)
Rencana pertambangan pasir besi dan pabrik baja merupakan salah satu proyek MP3EI yang berbiaya 600 juta dollar. Menurut Kontrak Karya PT JMI dan Presiden diwakili Menteri ESDM (2008) pendapatan negara bukan pajak dari megaproyek ini sebesar 3 % untuk RI dan 97 % untuk pemodal. Isu yang dimainkan pemerintah dan pemodal adalah : tanah yang ditetapkan sebagai konsesi tambang ialah PAG (pakualaman grond/tanah pakualaman), PT JMI dimiliki oleh keluarga Kasultanan dan Kadipaten Pakualaman, dan peningkatan PAD. Dalam upayanya melegalkan proyek, pihak penambang melakukan berbagai langkah hukum dan politik, antara lain: intimidasi dan terror dengan perusakan rumah warga dan pembakaran posko (2008) dan ancaman pidana pada petani yang enggan menyerahkan tanah (2015), kriminalisasi terhadap petani (Tukijo divonis 3 tahun); AMDAL (2011); dan perumusan Rancangan UU Keistimewaan yang menjamin kepemilikan tanah Pakualaman. Proyek ini masih terhambat oleh pengadaan lahan karena lahan non milik yang ditetapkan sebagai konsesi belum disertifikatkan atas nama hak milik Pakualaman.
2. Nama proyek : Pembangunan Bandara Internasional (Megaproyek)
Lokasi : Kulon Progo
Luas/jumlah : ± 11.000 jiwa, 6 desa
Waktu : 2012- sekarang
Aktor penyebab: Kadipaten, Kabupaten, PT Angkasa Pura, PT GVK (India)
Akar rumput : Wahana Tri Tunggal, Forum Rembug Warga Transparansi (FRWT),
Masyarakat Peduli Kulonprogo (MPK)
Sumber referensi : Pernyataan Sikap WTT http://www.sekolahbersama.org/2015/01/sengketa-tanah-dan-kriminalisasi.html)
Rencana pembangunan Bandara Internasional merupakan salah satu proyek MP3EI dengan nilai modal 500 juta dollar. Isu yang dimainkan pemerintah adalah peningkatan PAD; kebanggaan daerah; dan status tanah PAG. Saat ini rencana tersebut sedang memasuki konsultasi publik sebagai bagian dari studi kelayakan. Untuk menandingi penolakan warga, pemerintah melakukan berbagai upaya antara lain: membentuk kelompok akar rumput tandingan (MAP dan FRWT) yang mendorong kompromi sebagai bentuk resolusi konflik dan kriminalisasi terhadap warga yang melakukan aksi protes (2015). Tahap terpenting dari proyek ini adalah pembebasan lahan atau pengadaan lahan yang akan dipermudah ketika sertifikasi tanah PA usai dilakukan.
3. Nama proyek : Penggusuran pemukiman warga
Lokasi : Parangkusumo
Luas/jumlah : ± 5000 jiwa
Waktu : 2007- sekarang
Aktor penyebab : Kasultanan, Kabupaten
Akar rumput : Aliansi Masyarakat Menolak Penggusuran (ARMP)
Sumber referensi: Kertas Posisi ARMP
Penggusuran di sebagian kawasan Parangkusumo terjadi pada 2007 dengan isu pembersihan aktivitas prostitusi (Perda Kabupaten Bantul No 5 Tahun 2007), namun perluasan penggusuran terhenti karena perlawanan warga. Akar permasalahan terdapat di tingkat propinsi, namun konflik struktural dialihkan ke tingkat kabupaten karena ijin telah dilimpahkan. Saat ini warga yang bertahan masih dihantui ancaman penggusuran dengan alasan: tanah SG (Sultan Grond) dan proyek pariwisata mewah (Bali ke-2). Untuk menghindari eksekusi dengan isu prostitusi, warga merintis usaha lain yang tidak terkait dengan dunia hiburan, antara lain: pertanian dan tambak udang. Bentuk perlawanan yang dilakukan antara lain adalah: strategi kebudayaan (labuhan, ketoprak lesung, dan poster perjuangan), aksi massa, dan produksi kertas posisi/kronologi kasus oleh warga.
4. Nama proyek : Penggusuran tambak udang
Lokasi : Parangkusumo, Kuwaru, Pantai Baru
Luas/jumlah : ± 10.00 jiwa
Waktu : 2014
Aktor penyebab : Kasultanan, Kabupaten
Akar rumput : Aliansi Masyarakat Menolak Penggusuran (ARMP),
Asosiasi Tambak Udang Bantul
Sumber referensi : Kertas Posisi ARMP
Tambak-tambak kecil (kurang dari 5 ha/kapling) di kawasan Parangkusumo, Kuwaru, dan Pantai Baru muncul sebagai reaksi dari kebocoran tambak PT Indokor Bangun Desa (berdiri 1999, 7 ha, milik keluarga Kasultanan) yang mencemari 12 ha lahan di sekitarnya. Keberadaan tambak udang memperoleh dukungan melalui Perda DIY No 16 Tahun 2011 dan sikap politik Gubernur melalui “Seminar Pengembangan Industri Tambak Udang Ramah Lingkungan yang Berkelanjutan” (25 September 2014), namun keberadaan tambak rakyat justru diancam dengan isu: pelanggaran sempadan Jalan Lintas Selatan (JLS); pelanggaran sempadan sungai; pelanggaran sempadan pantai; dan perusakan gumuk pasir. Karena PT Indokor melakukan pelanggaran yang lebih serius menurut kriteria tersebut, pemerintah akhirnya menggunakan dalih tambak rakyat menempati tanah SG tanpa ijin. Para petambak menuntut diberi ijin sebagaimana PT Indokor agar tetap beroperasi. Namun, ijin usaha tidak diberikan karena keputusan kabupaten hanya memberikan ijin bagi tambak dengan luas di atas 5 ha. Penggusuran tambak rakyat akan lebih mudah dilakukan jika kawasan yang diklaim sebagai tanah SG telah disertifikatkan sebagai hak milik Kasultanan.
5. Nama proyek : Perampasan hak tanah melalui pembatalan hak milik atas tanah
Lokasi : Pundungsari, Kecamatan Semin, Gunungkidul
Luas/jumlah : ± 150 persil (sertifikat)
Waktu : 2010
Aktor penyebab : Kasultanan,BPN Kabupaten Gunungkidul
Akar rumput : masyarakat desa Pundungsari
Sumber referensi : Wawancara pribadi dan
http://binadesa.co/masalah-landreform-di-jawa-masa-kini
Pada 2009-2010 BPN melakukan program PRONA secara nasional, tanah-tanah yang belum bersertifikat didaftarkan untuk diterbitkan sertifikat Hak Milik. Di Pundungsari, ± 150 sertifikat hak milik yang sudah diterbitkan dibatalkan statusnya oleh BPN atas permintaan Kasultanan (melalui lembaga pertanahan kraton/Panitikismo) dengan alasan asal-usul tanah tersebut adalah tanah SG. Pembatalan tersebut sepihak karena tanpa melalui proses hukum: status Hak Milik dicoret dan ditulis ulang Hak Pakai.
6. Nama proyek : Perampasan hak tanah milik desa melalui pembalikan nama sertifikat tanah desa (Megaproyek)
Lokasi : DIY (keseluruhan)
Luas/jumlah : (belum diketahui)
Waktu : 2014
Aktor penyebab : Gubernur
Akar rumput : Masyarakat desa
Sumber referensi: Peraturan Gubernur DIY No 112 Tahun 2014 dan Berita Media
UU Desa mengamanatkan tanah desa disertifikatkan sebagai hak milik desa (badan hukum publik). Hal itu tidak terjadi di DIY karena Gubenur menerbitkan Pergub DIY No 112 Tahun 2014 yang mewajibkan pemerintah desa melalui bupati melakukan permohonan balik nama atas sertifikat tanah desa di wilayah masing-masing: dari milik desa menjadi milik Kasultanan/Kadipaten Pakualaman sebagai badan hukum warisan budaya (swasta), dengan alasan asal-usulnya adalah tanah SG/PAG. Akibatnya, kekayaan desa beralih menjadi milik swasta yang dilindungi Gubernur dan akan memengaruhi penataan ruang yang berdampak sosial ekologi secara luas.
7. Nama proyek : Perampasan hak tanah melalui perubahan status hak guna bangunan
Lokasi : Jalan Solo, Kotabaru, Malioboro
Luas/jumlah : 2 sertifikat (yang diketahui karena kesediaan korban)
Waktu : 2014
Aktor penyebab : Kasultanan, BPN Kabupaten/Kota
Akar rumput : masyarakat
Sumber referensi : Surat Gubernur No 593/4811 (12 Nopember 2012)
Surat Gubernur No 593/0708 (15 Februari 2013)
Hak Guna Bangunan (HGB) dapat diterbitkan di atas tanah negara atau hak milik. HGB yang terbit karena konversi Hak Barat (Recht Van Opstal/RVO) diubah statusnya dari HGB di atas tanah negara menjadi di atas nama SG/PAG karena RVO diklaim berasal dari pemberian kraton. HGB yang diterbitkan dari SK Gubernur untuk seluruh tahun juga terkena kebijakan penghentian perpanjangan, pengalihan hak, dan peningkatan hak dengan dalih pelaksanaan UUK menurut Surat Gubernur No 593/4811 (12 Nopember 2012) dan No 593/0708 (15 Februari 2013). Akibat jangka pendek dari penghentian perpanjangan HGB ini adalah batalnya kekuatan hukum dari HGB yang dijadikan agunan bank, karena tidak dapat dijaminkan atau penjaminnya bukan Badan Hukum Kasultanan. Akibat jangka panjangnya, apabila HGB di atas tanah negara tidak dapat diperpanjang maka ijin usaha tidak diterbitkan. Bangunan di kawasan strategis di DIY mayoritas berstatus HGB.
8. Nama proyek : Diskriminasi rasial/etnis melalui Pelarangan Hak Milik atas tanah
Lokasi : Seluruh DIY
Luas/jumlah : belum diketahui
Waktu : 1975-1984 dan 1998-sekarang
Aktor penyebab : Kasultanan, Gubernur, BPN Kanwil
Akar rumput : masyarakat keturunan etnis India, Indoeropa, dan Tionghoa
Sumber referensi: LAPORAN GRANAD dan www.forpetankri.com
Pemberlakuan Instruksi Kepala Daerah No K 898/I/A/1975 berdampak pada diskriminasi dalam hal hak milik tanah berdasarkan pertimbangan etnis/ras bukan kelas sosial. Akibatnya, setiap orang yang terbukti keturunan etnis tertentu tidak berkesempatan mempunyai hak milik atas tanah secara turun temurun. Kebijakan ini hanya berlaku di DIY dan dikukuhkan dengan: Surat Pemda Propinsi DIY No 593/00531/RO I/2012 (8 Mei 2012); Surat Gubernur No 430/3703 (15 Nopember 2010); Surat Plt Kepala Kanwil BPN DIY No 287/300-34/BPN/2010; Surat Kepala Kanwil BPN DIY No 640.05/24.99/BPN/2000 (26 Oktober 2000); dan Surat Kepala kantor BPN Kabupaten Bantul No 640/922/2000 (9 Nopember 2000). Terkait diskriminasi rasial/etnis ini telah terbit Surat Rekomendasi KOMNAS HAM No 037/R/Mediasi/ VIII/2014 tertanggal 11 Agustus 2014 yang isinya seruan kepada Gubernur untuk mencabut/menyatakan tidak berlaku lagi Instruksi Kepala Daerah 1975. Rekomendasi ini tidak ditanggapi oleh Gubernur.
9. Nama proyek : Pembangunan Apartemen di kawasan padat penduduk
Lokasi : Jalan Kaliurang km 5
Luas/jumlah : 16.763 m2 (luas bangunan apartemen), 1.660 m2 (luas lahan),
kedalaman sumur 60 m (mata air konsumsi warga pada kedalaman 10 m)
Waktu : 2014-sekarang
Aktor penyebab: Kabupaten, PT. Bukit Alam Permata
Akar rumput : Paguyuban Warga Karangwuni Tolak Apartemen Uttara (PWKTAU)
Sumber referensi: Buku Pledoi “Bonanza Properti: Tarik Tambang Konsesi Perijinan dan
Banjir Sampah Visual “
Kasus ini tampak ke permukaan sebagai permasalahan tata ruang kota, namun permasalahan laten yang mengancam adalah penguasaan ruang publik oleh pemodal, terutama bisnis properti. Apartemen berdiri di tas tanah eks hak milik warga. Keberadaannya dikhawatirkan mengganggu kehidupan sosial dan keberlanjutan ekologis warga di sekitar apartemen. Penolakan warga dilakukan dengan berbagai aksi hingga terjadi kriminalisasi terhadap warga dan Sumber referensinya akibat rusaknya banner iklan apartemen yang diklaim bernilai 100 juta rupiah pada saat aksi massa.
10. Nama proyek : Revitalisasi kantor kepatihan yang berdampak penggusuran
Lokasi : Suryatmajan
Luas/jumlah : belum diketahui
Waktu : 2012-sekarang
Aktor penyebab: Pemerintah Propinsi
Akar rumput : Paguyuban Warga Suryatmajan
Sumber referensi: Dokumen Pembelaan Paguyuban Warga Suryatmajan
Penduduk di sepanjang Jalan Suryatmajan Yogyakarta di sisi utara jalan, meliputi 3 RT, terancam penggusuran akibat revitalisasi kantor kepatihan. Revitalisasi yang dimaksud adalah pemindahan gerbang kantor dari menghadap Jalan Malioboro (menghadap ke barat) jadi menghadap ke Jalan Suryatmajan (menghadap ke selatan). Alasan revitalisasi adalah filososfi bahwa setiap bangunan harus menghadap keraton sebagai wujud pengabdian kepada Sultan. Akibat lanjut dari revitalisasi ini adalah semua bangunan di Jalan Suryatmajan sisi utara harus dibersihkan agar kantor terlihat. Sebagian tanah berstatus HGB (60 %) dan Hak Milik (40 %). Warga membentuk Paguyuban dan menempuh jalur hukum didampingi pengacara.
11. Nama proyek : Penggusuran sekelompok warga
Lokasi : Suryowijayan
Luas/jumlah : ± 500 m2, 5 warga
Waktu : 2012
Aktor penyebab: Kasultanan
Akar rumput : masyarakat Suryowijayan
Sumber referensi: Putusan MA No 494 K/Pdt/2011 dan Berita Media
Bermodal surat ijin kraton (serat kekancingan) 5 warga Suryowijayan yang berprofesi sebagai pedagang kecil dan pengayuh becak menempati persil di tepi Jalan Suryowijayan No 20 Yogyakarta yang diklaim sebagai tanah SG sejak tahun 1970-an. Pada 2012 masa berlaku surat ijin habis, sehingga mereka mengajukan perpanjangan ke Panitikismo. Permohonan mereka ditolak dengan alasan lahan yang mereka tempati termasuk Region of Interest (ROI). Namun, seorang warga bermodal kuat diijinkan oleh Panitikismo untuk menempati lahan yang sama. Didampingi pengacara, kelima warga memohon kebijaksanaan kraton namun gagal. Mereka digugat oleh pemegang surat ijin dan dinyatakan kalah. Aksi menduduki halaman DPRD DIY tidak mendapat tanggapan. Mereka pulang dan mendapati pemukiman mereka telah digusur. Putusan MA memenangkan pihak pemegang surat ijin dari kraton. Saat ini kelima warga menderita stroke dan tinggal di rumah saudara masing-masing.
Menurut UUPA, agraria meliputi bumi, air, dan udara; sehingga urusan pertanahan dan tata ruang tidak dapat dipisahkan. Penguasaan tanah akan menentukan penataan ruang. Artinya, penentuan suatu proyek di daerah tertentu akan lebih mudah jika penguasaan tanah di daerah tersebut kuat secara hukum atau tanah dalam penguasaan penuh oleh negara, apalagi jika suatu daerah dimiliki oleh satu pihak saja. Umumnya, pemilikan individu atas tanah didukung oleh pemodal agar mempercepat jual beli tanah (pasar tanah/landmarket), dengan demikian investasi dapat masuk dan berjalan tanpa halangan secara hukum karena investor akan menjadi pemilik sah dari tempat usahanya. Namun, investasi tidak selalu didahului dengan pasar tanah. Investasi tetap dapat berjalan melalui sistem sewa antara investor dengan pemilik sah dari tanah (tempat usaha). Kasultanan/Pakualaman adalah Badan Hukum swasta yang dalam praktiknya hendak dijadikan pemilik tunggal atas seluruh tanah di DIY, dengan kata lain badan hukum swasta ini akan sangat menentukan penataan ruang di DIY.