Penulis : Aldino Widya Putra
Penerbit : PolGov
Tebal : XXIV+140 Halaman
Ukuran : 14, 5 x 21 cm
Oleh Santosa
Dalam bab awal, buku ini mengulik sejarah komik di Indonesia, teori-teori penelitian, analisa ataupun cara pandang membaca komik dari sisi politik dan membandingkan dari media dan tokoh lain dengan tujuan yang sama, yaitu mengemas citra tokoh kepada publik. Latar cerita ini tentang kiprah Letnan Kolonel Soeharto dalam serangan umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta dengan topik perang bernarasi bersifat politis, komik dibangun sebagai narasi historis, sedangkan sejarah dilihat dari fenomena politik.
Kemunculan komik Merebut Kota Perjuangan di tahun 1984 merupakan imbas dari krisis energi minyak, penerimaan sektor migas yang menurun, serta defisit anggaran yang meningkat. Menyadari posisinya tidak aman, Soeharto mengambil langkah strategis guna mengangkat pamornya sebagai pemimpin. Diantaranya membangun citra pribadi melalui beberapa lewat karya seni, dalam bahasan buku ini adalah komik Merebut Kota Perjuangan.
Menurut runutan hasil penelitian komik Merebut Kota Perjuangan adalah cerita latar, yaitu latar waktu terjadi peristiwa benar-benar ada atau bukan fiksi. Sedangkan kejangggalan pada cerita komik ini adalah menghilangkan tokoh penting dalam sejarah, terkait Serangan Umum 1 Maret 1949 yakni kontribusi kolonel Bambang Sugeng yang secara hirarki adalah atasan langsung dari Letkol Soeharto. Kolonel Bambang Sugeng adalah aktor dibalik keluarnya surat untuk melancarkan serangan terhadap pendudukan Belanda di Yogyakarta. Selain itu juga menghilangkan peran penting Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Mengkerdilkan peran Sultan yang disinyalir sebagai salah satu pemrakarsa Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah bukti nyata, bagaimana citra Soeharto sebagai aktor tunggal di balik keberhasilan Serangan Umum 1 Maret ingin dikonstruksi.
Analisa politik yang kemudian muncul adalah adanya upaya penggambaran Soeharto sebagai komandan yang bijaksana. Soeharto adalah pribadi pemberani. Soeharto adalah pahlawan, adalah tokoh utama dalam porsi kemunculan yang lebih banyak diantara tokoh-tokoh lain. Sejatinya sudah menjadi rahasia umum dimana seni juga dijadikan salah satu medium pembentuk citra elit politik. Konstruksi ini bisa dibentuk secara dogmatis atau dengan cara yang jauh lebih subtil. Komik ini merupakan sejumput perwujudan bahwa karya seni bagaimanapun tetap menjadi representasi ideologi dominan pada masanya.
Artikel ini merupakan bagian dari Rubrik Sorotan Pustaka dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi Maret-April 2018.