Judul : Menghampiri Kebudayaan: Sebuah Sorotan Kritis Perihal Kolektivitas Seni dan Aktivisme
Editor : Taaliyatu Aayaatillah, Rizky Junas Praditama, Ammy Aulia Renata, Safira Faiz Indarti
Pemeriksa aksara : Ely Siti Kholifah
Ilustrator sampul : Dinda Ayu Tauriska
Tata letak : Bima Iswarta
Penerbit : Biennale Jatim IX bersama Penerbit Nyala
Tahun : 2022
Buku ini merupakan salah satu keluaran dari program Terbit Terang sebagai bagian dari hajatan Biennale Jatim IX. Dengan mengusung tema “Kolektivitas dan Solidaritas” Terbit Terang berhasil menghimpun 14 artikel dengan 3 subtema: budaya kolektif di masyarakat Jawa Timur; pertumbuhan dan praktik kolektif seni di Jawa Timur; serta kolektif seni dan solidaritas dalam menghadapi krisis. Semua tulisan itu menghadirkan gambaran perkembangan serta dinamika kolektivisme seni di wilayah Jawa Timur.
Jangan pernah berpikir bahwa perkembangan kolektivisme seni di Jawa Timur merupakan kelanjutan atau dampak dari pertumbuhan kolektivisme seni di wilayah yang paling jamak ditulis dalam sejarah seni Indonesia. Ya, Bandung, Jakarta, dan Jogja. Sekali lagi, bukan! Meski sama-sama menggunakan terma “kolektif” atau turut terjun dalam medan seni skala Indonesia, itu adalah bentuk jejaring dan perluasan kemungkinan dari ekosistem seni di Jawa Timur itu sendiri. Selain itu, ekosistem kolektif seni di wilayah ini punya corak serta persoalan yang kontekstual dengan kontur sosial masyarakat ujung timur Jawa ini.
Salah satunya kita bisa melihat tulisan dari Litya Ainun berjudul “Kolektivisme dan Fanatisme Kedaerahan dalam Berkesenian di Jawa Timur”. Meski dia membicarakan secara singkat sejarah kolektif seni di Jawa Timur dan Indonesia secara umum, dan mengatakan bahwa Seniman Indonesia Muda (SIM) terbentuk pertama di Jawa Timur, Litya justru menggarisbawahi tegangan antara ragam corak kedaerahan (kebanyakan direpresentasikan melalui seni tradisi) dengan pertumbuhan ekosistem seni dalam era “kolektif”. Di satu sisi ini bisa jadi persoalan yang destruktif, dan sisi lainnya bisa menjadi potensi konstruktif dalam menyuburkan dinamika kolektif seni.
Beberapa bentuk kesenian, ide, hingga konteks daerah spesifik juga menjadi topik beberapa tulisan. Mulai dari konsep “holopis kuntul baris”, seni ketoprak Tobong, hingga konteks kedaerahan seperti Madiun, Nganjuk, dll. Selain itu beberapa tulisan juga justru berupaya menyoal konsep dan praktik dari “kolektif seni” itu sendiri, alih-alih tidak mau serta-merta menerimanya sebagai yang terberi.
Buku ini amat penting bagi siapapun yang ingin memahami lebih dalam mengenai dinamika kolektif seni di wilayah Jawa Timur dan sekitarnya. Tidak hanya untuk pembaca Indonesia, buku ini bisa dinikmati oleh pembaca dengan bahasa Inggris.
Judul : Agen Koming: Melacak Agen Sosialisasi Politik dalam Panji Koming (1984) dan Panji Koming: Kocaknya Zaman Kala Bendhu (2008)
Penulis & artistik : Hamzah
Penerbit : KasatKata.Kultur bersama dengan Surya Pustaka Ilmu
Tahun : 2022
Buat kalian komik itu karya sastra atau seni visual? Komik itu barang yang lewat begitu saja sebagai selingan lucu atau sebetulnya juga menyanding beban politis yang tidak netral? Buku karangan Hamzah, yang berangkat dari skripsinya, setidaknya berbicara melalui dua isu dalam dua pertanyaan itu.
Untuk pertanyaan yang pertama, alih-alih menjawab karya sastra atau seni visual, Hamzah justru menunjukkan bahwa komik telah terjebak dalam ambivalensi itu. Komik itu punya bahasanya sendiri. Poin ini nampak dari bagaimana ia mencoba membedah komik dengan metode sintesis gabungan antara budaya visual dan linguistik. Maka jadilah empat tahap pembongkaran: perbandingan, kodifikasi semiotik, pembongkaran struktur humor, dan wacana dialog.
Dan ini kemudian membawanya kepada eksplorasi atas komik sebagai sesuatu yang bukan sebatas hal lucu yang lewat begitu saja. Komik adalah barang yang tidak asing bagi masyarakat Indonesia. Setidaknya komik Put On dalam harian Sin Po telah hadir pada 1930. Bahkan, media massa juga menggunakan komik sebagai bagian dari produk rutinnya (komik berbasis editorial). Kehadirannya yang mendahului televisi dan masih eksis hingga sekarang, serta keterikatannya dengan media massa yang memproduksi, membuat Hamzah, yang terinspirasi Seno Gumira Ajidarma, mengurai komik (tawa) sebagai produk kebudayaan yang tidak netral. Istilah lainnya, Hamzah berupaya membedah komik sebagai produk sosialisasi politik, satu anak kajian yang tidak populer di ilmu politik. Upaya ini ia ejawantahkan dengan memilih komik Panji Koming (1984) dan Panji Koming: Kocaknya Zaman Kala Bendhu (2008) sebagai materialnya.
Judul : SATURASI
Supervisor desain : Andi Rahmat
Arahan kreatif : Yana Pratama
Penyunting : Shaquille Noorman
Penulis : Fajar Fadlilah, Shaquille Noorman
Desain & tata letak : Bayu, Ghofur
Penerbit : Nu Publishing
Tahun : 2022
Kita tidak pernah lepas dari mediasi simbol dalam praktik kehidupan sehari-hari. Mulai dari bahasa, seni, desain, gagasan, hukum, tatanan, dll. Zine Saturasi edisi kali ini mencoba mengurai kelindan simbol sebagai produk kebudayaan yang hadir dengan banyak latar belakang, seperti situasi sosio-politik dan ekonomi.
Salah satunya adalah tentang bahasa. Bahasa hadir sebagai upaya manusia untuk menggambarkan sesuatu dan terkoneksi dengan sekitarnya. Memang, karena kemampuannya itu manusia menjadi berbeda dengan spesies lainnya. Tapi di sisi lain, justru, berbahasa adalah bukti keterbatasan manusia di rimba alam yang penuh bahaya. Namun, bahasa punya sejarah panjang, sepanjang peradaban manusia itu sendiri. Mulai dari lukisan di gua, karakter, huruf, hingga “emoji”.
Selain itu, Saturasi juga mengurai bagaimana peradaban modern/ kontemporer hidup dengan menghamba pada simbol. Ya, salah satunya adalah iklan. Jika dulu industri hanya mengusung nilai guna dan tukar, makin ke sini nilai tanda-lah yang paling melekat di alam bawah sadar manusia. “Gak ada lo, gak … ya, betul, gak rame”. Bukan lagi soal fungsi rokok sebagai stimulan dan ansiolitik, misal.
Tapi fenomena simulakrum itu ternyata sudah jadi sesuatu yang melekat di manusia sejak lama. Saturasi mengajak kita melihatnya dari konsep “phallus”. Baik itu ziggurat Etemenanki oleh bangsa Sumeria kuno, obelisk bagi Dewa Ra oleh bangsa Mesir kuno, hingga Tembok Besar China merupakan hasrat atas phallus yang luar biasa simbolis. Dalam rangka menuju “surga” proyek-proyek pembangunan itu telah merenggut banyak korban dari tukang batu, pasir, dll. Sejarah berulang, dan kita bisa lihat dari total 17 jiwa melayang dalam proyek pembangunan World Trade Center.
Zine ini seru. Selain karena muatannya, kita bisa menikmati gambar-gambar dan menggunakan kamus alfabet Yunani (yang telah disediakan) untuk membaca judul-judul tulisan.
Judul : FX Harsono – Sebuah Monografi
Penulis : Hendro Wiyanto
Pengelola : Fiametta Gabriela, Korina Sebayang, Melody Bonita
Perancang buku : Fandy Susanto/ Table Six
Asisten perancang : Nasyrudin
Penyunting bahasa : Ninus Andarnuswari
Penerbit : Penerbit Gang kabel
Tahun : 2022
Selain atas dasar permintaan pribadi FX Harsono untuk menulis cerita biografisnya sebagai penanda usia ke-70, alasan Hendro Wiyanto melahirkan buku ini adalah untuk melihat, memahami, dan menyuguhkan kepada publik soal perkembangan estetik serta latar sosial seni rupa di Indonesia secara lebih luas dengan cara mencuri biografi FX Harsono.
Seperti yang telah ia utarakan di Pengantar, buku ini bukanlah kali pertama ia mengulas FX Harsono. Pada 2010 ia pernah membuat tulisan berjudul “FX Harsono dan Perkembangan Karyanya (1972-2009)”, yang diterbitkan dalam Re: Petisi/Posisi (halaman 41-187). Bedanya adalah yang sekarang ini sangat jauh lebih detail. Oleh karena itu, alih-alih biografi, Hendro Wiyanto menamainya (mengharapkannya) sebagai monografi.
FX Harsono, sekali lagi, menjadi pintu masuk untuk mencermati perkembangan seni bahkan situasi sosial di Indonesia. Bagaimana tidak? Ketika kita bicara tentang seniman kawakan ini, akan gamang rasanya jika kita tidak masuk ke cerita-cerita dan fakta-fakta sosial soal identitas Tionghoa, tragedi 1965, peristiwa politik 1998, dll. Itu semua diposisikan oleh Hendro Wiyanto sebagai renungan historis. Bukan untuk retraumatisasi melainkan histerisasi dalam intensi memberi kemungkinan atas improvisasi dan pengejawantahan komposisi baru.
Buku ini cukup tebal. Kurang lebih ada 500-an halaman. Bab demi bab dijahit menyambung dan ditemani gambar atau foto dari berbagai sumber, termasuk arsip pribadi FX Harsono. Melalui buku ini, kita akan menemukan bahwa peristiwa dipamerkannya karya FX Harsono, Writing in the Rain, di Time Square, New York adalah suatu pemaknaan yang tak akan lepas dari kehidupan masa kecil Oh Hong Boen atau si Ong di Blitar.