Oleh: Pitra Hutomo
Percakapan antar pekerja seni rupa dan pertunjukan kiranya akan selalu sampai pada pembahasan mengenai ruang. Konsep yang dibubuhkan pada ruang yang bisa menjadi nama program reguler tempat tersebut memiliki banyak ragam. Beberapa tempat menyebutnya rumah (Rumah Budaya Tembi, Rumah Seni Cemeti, Rumah Seni Sidoarum), hingga belakangan muncul juga sebutan untuk ruangan kecil dalam rumah layaknya kamar atau art room (Tahunmas Artroom, Wangi Artroom). Ada studio kerja yang bisa dipakai seniman lain (misal: Studio Kalahan, Kersan Art Studio, Studio Grafis Minggiran, Krack!, Studio Sempu, KOMHARO Studio, Miracle Prints Studio); dan ada pula art space yang diterjemahkan sebagai ruang seni (misal: Pendhapa Art Space, Nalarroepa Ruang Seni, Sewon Art Space, Sangkring Art Space).
Yogyakarta Contemporary Art Map (YCAM) versi 2016 mencatat 56 nama tempat yang bisa dan mau menyelenggarakan pameran, pertunjukan, atau kerja seni sejenis. Kemudian ada Almanak Seni Jogja 1999-2009 yang mengidentifikasi jelajah Warga Seni Rupa Jogja dalam Galeri, Manajemen Seni, Museum, Festival, Sentra Industri Kerajinan, dan Toko Seni. Upaya memetakan tempat mengakses kesenian pernah dilakukan Yayasan Kelola dan The Japan Foundation dengan menerbitkan daftar dan kumpulan profil dalam bentuk direktori seni budaya. Setelah pasar karya seni kontemporer disebut boom oleh media massa nasional dan internasional sepanjang 2008 hingga 2010, kunjungan kelompok dan individu ke ruang-ruang seni di Jogja menjadi agenda berkala setiap ada perhelatan besar seni rupa seperti ART|JOG atau Biennale Jogja.
Memasuki awal tahun 2000-an, Dialog Seni Kita dan Surat YSC mulai mengangkat perihal tumbuhnya tempat-tempat mengakses seni visual dan pertunjukan kontemporer di kota-kota besar yang bisa dijangkaunya karena satu dan lain hal (Jakarta, Bandung). Jogja adalah istilah yang dipakai untuk menyebut Kota Yogyakarta. Di Jogja, meski terkadang secara administratif termasuk kabupaten lain, tapi sepanjang masih berada di dalam ring road, suatu area biasanya masih dianggap ‘kota’.
Ketika membicarakan pertumbuhan ruang seni di kota Jogja, dinamika ruang-ruang yang diinisiasi oleh seniman menunjukkan kisahnya sendiri. Secara umum, ruang inisiatif seniman hampir-hampir tidak memiliki pola khas dalam pengelolaan. Sebagaimana berkarya, ruang inisiatif seniman dikelola secara intuitif oleh pendiri atau orang yang ditunjuk sebagai pengelola, dari mulai pendanaan hingga bentuk seni yang dihadirkannya. Ruang seni yang menjadi ruang kerja bersama suatu kelompok seni, jarang menempati bangunan permanen, biasanya karena ruang seni tidak sama maknanya dengan rumah tinggal. Berbeda dengan ruang inisiatif untuk pameran dan pertunjukan yang berada satu kompleks dengan rumah pendirinya, ruang kelompok sejak awal 2000-an adalah rumah kontrakan bersama yang ditinggali sebagian atau seluruh anggota kelompok tersebut.
Jika kita mundur lagi ke belakang untuk melihat kembali awal kelahiran ruang kelompok non pemerintah, kita bisa telusuri dari maraknya sanggar seni di Jogja dan beberapa kota lain, jelang masa kemerdekaan. Foto-foto kunjungan Presiden Soekarno ke Sanggar Pelukis Rakyat misalnya, menunjukkan bahwa sanggar bisa sewaktu-waktu dijadikan ruang pamer yang menerima kunjungan kepala negara meskipun ada gedung kesenian daerah. Beberapa dekade setelahnya, rumah kontrakan dibuka jadi ruang pamer dan pertunjukan karena mendapati gedung kesenian daerah tidak mampu mengakomodasi gagasan mereka. Para pembuka ruang seni ini menciptakan kantung-kantung di tengah permukiman yang terkadang mengundang warga sekitar, namun lebih sering menempatkan tokoh warga sebagai pihak yang meresmikan acara atau sekadar orang yang dimintakan izin penyelenggaraan acara.
Membahas soal peran dari gedung kesenian daerah, sejauh yang kami pantau, keberadaannya masih dimanfaatkan sebagai ruang pamer jika skala acaranya dinilai cukup besar dan persiapannya cukup panjang. Tidak jarang gedung kesenian daerah di Jogja menjadi tempat pameran bersama perupa luar Jogja, sebagaimana Galeri Nasional Indonesia atau kompleks Taman Ismail Marzuki digunakan tidak hanya oleh seniman berdomisili DKI Jakarta. Gedung kesenian daerah sesungguhnya terus digunakan tanpa pekerjanya mencari seniman yang ingin menggunakan ruang. Jadwal gedung kesenian seperti Taman Budaya Yogyakarta dan Societeit Militer bisa jadi sudah padat sepanjang tahun dengan agenda dinas terkait, seperti Dinas Kebudayaan DIY. Sehingga, seniman yang ingin berpameran perlu memasukkan proposal jauh-jauh hari. Pameran atau pertunjukan umumnya berstatus menyewa ruang dan seluruh penyelenggaraan acara dikelola pihak penyewa.
Museum Benteng Vredeburg, Purna Budaya, P4TK Kesenian, Karta Pustaka, Lembaga Indonesia Prancis, dan Bentara Budaya Yogyakarta adalah ruang-ruang yang dituju mahasiswa seni dan seniman Jogja sebelum maraknya ruang pamer di rumah kontrakan, dan sebelum banyak seniman membuka ruangnya sendiri. Seiring berjalannya waktu ruang-ruang tersebut tutup, berubah nama, atau mengalami perubahan organisasional.
Bentara Budaya Yogyakarta (BBY) adalah yang relatif tidak berubah sistemnya dan masih dijadikan pilihan tempat berpameran. BBY juga meluaskan khalayak mereka dengan membuka ruang untuk dikelola komunitas seperti acara reguler “Jazz ‘mben Senen”. Purna Budaya yang menjadi cikal bakal Taman Budaya Yogyakarta (TBY) berdiri 1977 hingga 2003. Bekas gedung kesenian daerah ini selama beberapa waktu dimanfaatkan hanya oleh UGM untuk kegiatan kemahasiswaan seperti seminar atau upacara wisuda. Tahun 2007, UGM mengajukan agar bangunan tersebut difungsikan kembali sebagai tempat kegiatan seni budaya umum, maka terbentuklah Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH). Sejarah PKKH yang berbeda dengan sejarah tempat pertunjukan dan pameran di lingkungan perguruan tinggi negeri lain, seperti galeri dan auditorium di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta atau Universitas Negeri Yogyakarta turut mempengaruhi kebijakan pengelola ruang. Dalam hal ini, perguruan tinggi negeri seni atau perguruan tinggi negeri dan swasta yang membuka jurusan seni atau ilmu kebudayaan, tidak menentukan aktifnya kegiatan seni budaya dalam lingkungan akademis tertentu. Perguruan tinggi seperti Universitas Sanata Dharma misalnya, memutuskan membuka Galeri Gejayan tahun 2015 di ruang depan Perpustakaannya, setelah beberapa kali menyelenggarakan kegiatan kebudayaan yang diikuti umum atau selain mahasiswa dan anggota fakultas. Sedangkan setelah ISI pindah dari kampus Gampingan, didirikan Jogja National Museum (JNM) yang tidak secara langsung berhubungan dengan ISI maupun Dinas Kebudayaan. Meskipun bernama Museum, JNM dan Museum dan Tanah Liat (MDTL) tidak mengampu tanggung jawab mengelola koleksi permanen, berbeda dengan Museum yang didirikan Affandi atau Taman Tino Sidin yang didirikan keluarga Tino Sidin.
Lihat daftar ruang yang kami observasi di sini. (https://docs.google.com/spreadsheets/d/1sB8HqzASE04B2m_P3S9DxE9OTJPi5lspSZRWs9yaY_0/edit?usp=sharing)
Artikel ini merupakan rubrik Baca Arsip dalam Buletin IVAA Maret-April 2017.