Katalog dan Terbitan Kegiatan
Gerilya Project #2
Pagi itu hujan cukup deras ketika kami harus pergi ke SLTP Muhammadiyah 4, untuk menemui Pak Catur guru mata pelajaran seni rupa di sekolah itu. Pelajaran seni rupa dimulai pada jam kedua, sekitar pukul 8.30, dan Pak Catur datang sedikit terlambat. Diakhir semester ini kami dapat mengamati proses belajar mengajar di dalam kelas, setelah beberapa hari sebelumnya mohon ijin Pak Catur. Kebetulan kelas yang saya ikuti adalah kelas II. Suasananya cukup ramai, seperti biasa, pelajaran seni rupa memang bisa diikuti siswa dengan santai. Sambil mengerjakan tugas mereka bisa kesana-kemari ngobrol dengan temannya. Tapi dalam suasana santai itu ternyata tidak semua siswa aktif merespon materi yang diberikan, hanya ada beberapa yang aktif bertanya atau berpendapat, mungkin memang kurang minat dengan pokok bahasannya, atau memang tidak mengerti dengan yang dibahas.
Berbeda dengan ketika kami mengikuti kelas Pak Grilyadi atau biasa dipanggil Pak Gril, guru seni rupa di SLTP Kanisius Gayam, beberapa waktu setelah pergantian semester. Di bulan februari ini pokok bahasanya adalah reklame. Seperti di kelas Pak Catur, suasananya juga santai, apalagi Pak Gril menyampaikan dengan penuh semangat dan berusaha merangsang pemahaman murid tentang reklame, dia membuat suasana kelas sangat aktif, dan siswa tampak ekspresif menyampaikan pendapatnya
Dari pengalaman tadi, saya jadi teringat pada saat duduk di bangku SLTP, ada beberapa teman yang memang tidak suka dengan pelajaran seni rupa, alasanya selalu sama, "saya tidak bisa menggambar, atau kadang ada yang takut, karena cara penyampaian guru tidak berbeda dengan mata pelajaran yang lain seperti ilmu alam, atau matematika, jadi seolah-olah pelajaran seni rupa menjadi sulit sekali, ditambah lagi ada asumsi bahwa seni itu bakat, jadi sering juga muncul pernyataan bahwa "saya tidak berbakat. Apa lagi pelajaran seni yang porsinya hanya satu atau dua jam seminggu, dianggap pelajaran yang tidak penting, kadang juga dianggap sebagi pelajaran pelengkap saja. Membandingkan pengalaman dulu dan kini, saya sampai pada kesimpulan, bahwa keberadaan guru sebagai pendamping dalam kelas sangat strategis untuk membangun kesadaran siswa berkaitan dengan pemahaman dan pengolahan rasa untuk mendukung kreatifitasnya.
Ternyata dalam sebuah proses belajar mengajar, guru adalah faktor yang sangat penting, dialah yang mampu menciptakan iklim kelas menjadi kondusif atau malah sebaliknya. Proses belajar mengajar erat sekali kaitannya dengan lingkungan atau suasana di mana dan bagaimana proses itu berlangsung. Meskipun prestasi belajar siswa juga dipengaruhi oleh banyak aspek seperti gaya guru mengajar, dan fasilitas yang tersedia. Dalam pendidikan seni rupa peranan guru sebagai pendamping dalam merangsang siswa untuk menjadi lebih kreatif, serta dapat mengaktualisasikan diri, sangat tergantung dan kreatifitas guru-guru itu dalam menguasai dan mengolah materinya. Untuk berbagi pengalaman dengan siswa guru juga harus mempunyai pengalaman teknis secara empirik, bukan hanya secara teoritik. Jadi idealnya seorang guru seni rupa selain paham tentang karya-karya seni rupa juga bisa membuatnya. Atau paling tidak mempunyai pengalaman dalam membuatnya. Tapi tidak berhenti hanya pada "pernah membuat karya, guru juga harus exploratif dalam berkarya Pendidikan seni rupa di sekolah merupakan cerminan dari dinamika masyarakat yang senantiasa berubah dan berkembang Perubahan dan perkembangan masyarkat ini dipicu oleh timbulnya kebutuhan baru yang belum disadari sebelumnya sebagai akibat munculnya temuan ilmu pengetahuan, bangkitnya semangat nasionalisme, timbulnya gerakan pembaruan dalam dunia seni, meluasnya penyebaran informasi, terjadinya perubahan demografi, dan sebagainya. Dari berbagai dinamika yang terjadi itu guru perlu peka dan kreatif dalam mengkreasi iklim belajar di sekolah. Untuk itulah Yayasan Seni Cemeti (YSC) menyelenggarakan Gerilya Project.
22-11256 | 702 AIS G | Katalog Seni (Katalog Seni) | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain