My Image

Trisula Agraria: Temu Wicara Pertanian Permakultur dan Subkultur

Diskusi ini diprakarsai oleh HONFactory di Langgeng Art Foundation pada 8 februari 2013 sebagai lanjutan dari proyek “Micronation/Macronation” dengan pembicara yaitu Anton Supriyono (petani, aktivis Kalibawang Kulonprogo, Yogyakarta), Gatot (ilmuwan, pegiat urban farming Condong Catur, Sleman, Yogyakarta), Paul Daley (pelaku permakultur dan aktivis dari Australia) dan Tantra Waworuntu (petani, pegiat subkultur Yogyakarta dan Bali). Dihadirkan pula dua penanggap, yakni Moelyono (petani dan seniman) dan Arahmaiani (seniman).

Salah satu hal yang dibicarakan adalah persoalan trauma petani-petani tua yang memandang serikat tani akhirnya akan menjadi gerakan kiri dan lain sebagainya. Namun, pada akhirnya mereka paham bahwa tujuannya adalah untuk menyuarakan kebenaran suara keadaan dan problematika petani. Salah satu Agenda di Kulonprogo adalah mengawal RUU DIY tentang Keistimewaan DIY dan membuat forum Pengembangan Ekonomi Lokal.

Proyek singkat ini ditujukan untuk menggali hubungan-hubungan antara budaya pertanian dengan budaya urban, terutama daerah Yogyakarta. Dengan mengundang beberapa petani, praktisi pertanian perkotaan, seniman, dan beberapa pegiat budaya, proyek ini diharapkan dapat membicarakan sistem pertanian dan masyarakat yang lebih baik.

Masing-masing pembicara dan penanggap memaparkan diskusi tentang pertanian dan masyarakat dengan cara yang berbeda-beda. Gatot mengajak untuk kembali memahami teknologi yang berkaitan dengan diversifikasi lahan, seperti mengolah limbah jerami padi menjadi etanol untuk menepis stigma petani itu kotor dan kolot, dan narasi peminggiran. Paul Daley memberikan pemaparan permakultur sebagai sistem manusia dan habitat yang berkelanjutan, baik tanah, manusia, masa depan, dan reaksi atas sebuah generasi yang menciptakan sistem ekologis. Tantra Waworuntu merasa perlunya aksi yang riil dengan menciptakan ketahanan pangan seperti gerakan kompos, sistem pangan keluarga, sistem daur ulang, menanam, dan sebagainya. Sementara sebagai penanggap Moelyono dan Arahmaiani mengomentari posisi seniman yang mestinya menyambut gerakan, seperti seni rupa penyadaran sebagai tawarannya.