7 APRIL 2015
7 APRIL 2015
Disalin dari Kompasiana
oleh: Joko Lodhang
24 Sep 2013 | 14:25
Tulisan ini akan menggunakan analisis kelas untuk melihat geliat politik lokal di Daerah Istimewa Yogyakarta. Pertarungan politik antara Keraton Yogyakarta dengan “wong cilik” yang selama ini bernaung di bawah payung PDIP Daerah Istimewa Yogyakarta menarik untuk kita kaji bersama.
Analisis Kelas
Secara singkat dan sederhana, analisis kelas ala Marx mengatakan bahwa sejarah manusia di dunia ini adalah sejarah tentang pertentangan kelas yaitu antara kelas proletar dan kelas pemodal. Kelas pemodal adalah mereka yang menguasai alat-alat produksi dan kelas proletar adalah mereka yang menjadi bagian dari mesin produksi itu. Yang mewakili kelas proletar ini adalah misalnya buruh atau petani. Relasi antara kelas pemodal dan kelas buruh adalah yang disebut dengan relasi kapitalistik. Yang pertama menyedot tenaga dari yang kedua dan yang kedua cukup mendapatkan upah tetapi profit paling banyak diberikan kepada pihak pemodal. Relasi sosial dalam sistem kapitalisme yang demikian adalah relasi yang asimetris, timpang, dan jelas tidak adil.
Salah satu alat produksi yang dikuasai oleh Keraton Yogyakarta adalah tanah. Setelah diberlakukannya Undang-Undang Keistimewaan DIY tahun lalu, Keraton memiliki legalitas otoritas politik penuh untuk menentukan hal-hal yang dianggap istimewa (dan mana yang tidak). Salah satu persoalan keistimewaan yang cukup gencar diatur oleh Keraton pasca-UUK DIY itu adalah soal pertanahan. Keraton memiliki wewenang untuk me-reorganisasi tanahnya yang disebut Sultan Ground yang bertebaran di banyak lokasi di bumi Mataram ini.
Dalam perdebatan tentang Rancangan Peraturan Daerah Istimewa (Raperdais) DIY sekarang ini, tidak mustahil bahwa wewenang Keraton dalam kredo UUK DIY ini akan menampakkan wajah aslinya seperti ketika jaman kolonial. Di jaman kolonial, dikatakan bahwa tanah dimanapun di DIY yang tidak bersertifikat maka hak kepemilikannya adalah milik Keraton. “Tidak bersertifikat” ini artinya tanah-tanah yang “no man’s land” alias yang sedang bersengketa, bahkan termasuk tanah kas desa, bisa akan diambil alih oleh Keraton bersenjatakan UUK DIY tadi itu.
Keraton sebagai representasi lembaga feodal semakin jelas akan mengambil alih tanah-tanah yang dianggap tidak jelas statusnya (secara sepihak tersebut) untuk kemudian dijadikan alat produksi untuk mengakumulasi kapital bagi pelestarian Keraton sendiri. Tanah-tanah yang selama ini diklaim milik Sultan Ground hampir pasti telah direncanakan untuk menggenjot akumulasi tersebut dengan cara menyerahkannya kepada para pengembang (developer) atau pemilik modal yang lain yang bisa menjamin bahwa tanah Keraton itu akan membawa profit.
Berjalanlah berbagai macam proyek untuk mendorong mesin akumulasi kapital melalui tanah Sultan ini di berbagai daerah di DIY. Beberapa contoh misalnya yang terjadi di Kulonprogo. Tanah yang diklaim milik Sultan-Pakualaman Ground akan dijadikan lahan tambang bijih besi dengan menggandeng perusahaan dari Australia. Tanah Sultan di jalan Solo diperuntukkan hotel dan mall terbesar di Yogyakarta. Tidak menutup kemungkinan bahwa berjamurnya hotel-hotel di jalan-jalan besar di Yogyakarta sejak disahkannya UUK DIY juga karena dikebutnya mesin produksi tanah Sultan ini untuk mengakumulasi kapital.
Lalu, siapa yang dirugikan dengan agresi kapitalisme oleh Keraton Yogyakarta ini? Ternyata ini yang menarik untuk kita kaji lebih dalam. Mereka yang selama ini menempati dan bertinggal di tanah Keraton adalah mereka ‘wong cilik’ yang menjadi representasi kelas proletariat. Selain buruh, mereka adalah yang termasuk kelompok marjinal yang selama ini jadi korban pembangunan Yogyakarta seperti misalnya tukang becak, tukang tambal ban, buka toko kelontong, dan pedagang PKL.
Keraton yang bersenjatakan UUK DIY untuk me-reorganisasi tanah-tanah yang diklaim miliknya sebagai tanah Sultan harus melakukan dislokasi warga yang selama ini hidup numpang tersebut. Kebutuhan Keraton untuk mempercepat alat produksinya, yaitu tanah, agar menjadi mesin akumulasi capital dalam bentuk mall, hotel, property, rumah sakit, lahan tambang, dan lahan bisnis lainnya, mengharuskan kelompok proletariat Yogyakarta dan kelompok marginal tadi menyingkir dari tanah-tanah Sultan. Kasus di Suryowijayan, dimana ada lima warga yang mewakili kelompok pinggiran ini diusir oleh Keraton beberapa bulan yang lalu, hanya sedikit contoh dari berbagai operasi bawah tanah Keraton yang terus melakukan penyingkiran warga yang tak punya kuasa resmi untuk memiliki tanah Sultan tersebut.
Menjelang pemilihan legislative ini, banyak kerabat Keraton yang maju untuk pemilu. GKR Hemas (istri Sultan) maju untuk nyalon DPD RI yang ketiga kalinya. Menantunya, Wironegoro, maju untuk DPR RI. Menantunya yang lain, Purbodiningrat, maju untuk DPRD Propinsi DIY. Mereka maju dalam suasana yang sebenarnya tidak adil. Di saat UUK DIY yang diperjuangkan oleh sebagian besar masyarakat Yogyakarta, termasuk para kelompok marginal tadi itu, sudah berhasil, sekarang malah Keraton menyia-nyiakan mereka dan seolah-olah tak ada masalah dengan gampangnya mencalonkan diri sebagai DPD, DPR, dan DPRD DIY. Secara hokum, nyalon memang hak setiap warga negara. Tapi secara etis politik, Keraton tidak peka.
Kelompok-kelompok proletariat Yogyakarta tadi itu selama ini lebih banyak menyalurkan aspirasinya melalui PDIP DIY. Kasus Suryowijayan adalah mereka yang selama ini menjadi aktivis dan pembela PDIP. Dan sekarang Keraton punya pilihan politik sendiri dan harus berhadapan dengan warganya. Disinilah pertarungan politik antara jago-jago PDIP untuk tingkat pusat, propinsi, maupun kota melawan jago-jago dari Keraton.
PDIP menjadi kendaraan bagi mereka-mereka yang terusir dari tanah Keraton dan PDIP menjadi partai yang paling sakit hati dengan GKR Hemas dan keluarganya. Dulu sudah mati-matian membela penetapan gubernur, sekarang begitu sudah berhasil malah PDIP dan basis pendukungnya dihabisi oleh Keraton untuk kepentingan akumulasi modal para aristocrat Jawa itu. Hasilnya, pertempuran di lapangan terasa panas: Hemas terancam akan kehilangan kursi pimpinan di DPD RI kelak ketika jadi karena PDIP sudah mengusung ketua MPR sekarang, Sidarto, sebagai calon DPD RI. Jika PDIP menang pasti tidak akan mengusung Hemas, tapi Sidarto yang dianggap lebih mewakili rakyat Yogyakarta. Wironegoro membuyarkan basis-basis PDIP di Yogyakarta dengan senjata ‘keistimewaan’, sementara Purbodiningrat juga mengalami tekanan hebat dari para pendukung caleg PDIP di level propinsi.
Hemas, sebagai komandan panglima perang di lapangan yang harus mengasuh anak-anak menantunya, mulai khawatir dengan berbagai maneuver PDIP yang diasuh oleh mantan bupati Bantul, Idham Samawi. Bisa jadi pada akhirnya Hemas hanya akan jadi anggota DPD biasa, bukan lagi sebagai wakil pimpinan DPD seperti sekarang ini.
Jika hal ini benar, maka ini benar-benar bukti nyata bahwa kekuasaan kaum feodal dibangun atas dasar penderitaan kaum proletar yang telah setia mendukung tanpa pamrih. Lalu, salah siapa?
Semoga Kasih Tuhan selalu memberkati mereka yang berjuang melawan penindasan.