oleh Lisistrata Lusandiana
Poesat Tenaga Peloekis Indonesia, disingkat menjadi PTPI. Tim arsip IVAA kali ini ingin menyoroti kehadiran organisasi seni yang belum banyak dibahas dan dituliskan. Dari beberapa buku dan referensi yang menyinggung soal perjalanan seni rupa di Indonesia yang hampir pasti mencantumkan peran kota Jogja, PTPI disebut di satu atau dua artikel tanpa diikuti cerita lanjutannya. Dari situlah awal mula rasa penasaran kami muncul.
Selain itu, buku dan referensi yang mencakup sejarah seni rupa belum banyak yang membahas PTPI, termasuk terbitan IVAA dari seri Katalog Data: Kolektif Kreatif. Katalog ini meringkas perjalanan asosiasi dan sekolah seni di Indonesia, sejak masa Hindia Belanda hingga masa ketika kolektif diglorifikasi beberapa tahun belakangan.
Dari penelusuran awal, kami menyimak kisah salah satu pendiri PTPI yang disebut turut membidani kelahiran ASRI, yakni Djajengasmoro. Cerita ini dituturkan oleh Pak Hermanu, melalui program Kurator Bercerita, Bentara Budaya Yogyakarta. Kisah yang dibagikan melalui tautan ini disusun dari perbincangan dengan dua sumber utama, yakni Ibu Eri dan Ibu Dyan Anggraini. Dari video tersebut Pak Hermanu menyoroti sosok Djajengasmoro dan kaitannya dengan sejarah Akademi Seni Rupa Indonesia atau kini menjadi Institut Seni Indonesia Yogyakarta.
Terlahir dengan nama R.M. Soehardjo Djajengasmoro pada tanggal 24 Januari 1908, di Yogyakarta, sosok ini turut ambil bagian dalam mendirikan ASRI. Pak Hermanu juga menceritakan bahwa, setelah ASRI berdiri, Djajengasmoro dijadikan sebagai wakil direktur ASRI, dan RJ Katamsi sebagai direktur.
Perihal prestasi sebagai juru gambar, Djajengasmoro juga memiliki sederet daftarnya. Pada tahun 1942 lukisannya yang berjudul “Arjuna Wiwaha” memenangkan juara pertama di kejuaraan Painting Competition throughout Asia. Sebelumnya, di tahun 1932, ia juga dikirim oleh Sri Sultan HB VIII untuk belajar melukis di School voor Beeldende Kunsten.
Beruntung dari jalan penelusuran ini, kami juga menemui Bu Dyan Anggraini di rumah sekaligus studionya. Dari Bu Dyan, kami mendapat cerita dan diberi ijin untuk menyalin dokumen-dokumen, baik terkait PTPI maupun Djajengasmoro.
Mimbar Tiga Agama
Dari pertemuan kami, Bu Dyan menceritakan sosok Djajengasmoro yang cukup rajin membuat catatan dan menyimpan rapi dokumentasi-dokumentasinya. Dari Bu Dyan, kami menyalin beberapa foto hasil digitalisasi yang di dalamnya menunjukkan beberapa keping karya dan prosesnya.
Salah satu karya yang kami salin dan juga penting untuk kami munculkan di sini ialah Mimbar Tiga Agama. Adalah karya yang dibuat di Jogja, dan dikirim ke Ambon. Tiga agama tersebut adalah Islam, Katolik dan Protestan. Latar belakang dari karya ini bisa dibaca dari potongan berita harian Merdeka. Setelah konflik di Ambon pada tahun 1950-an, Mohammad Hatta ingin memberikan apresiasi pada warga masyarakat Ambon, karena tidak meninggalkan kehidupan religiusnya. Dari inisiatif tersebut, Hatta mendiskusikan niatnya dengan HB IX. Barangkali dari HB IX inilah Djajengasmoro dan kelompoknya mendapat kepercayaan untuk menggarap proyek ini tanpa imbalan. Meski demikian, Mimbar ini dikerjakan secara serius dengan melibatkan 25 seniman lainnya. Dari artikel koran tersebut disebutkan bahwa Djajengasmoro yang merupakan desainer dari karya ini juga tidak diberi upah.
PTPI (Poesat Tenaga Peloekis Indonesia
Selain dokumentasi di atas, dari Bu Dyan, kami juga turut menyimak perjalanan PTPI dari bundelan yang diberi judul “Tjatatan Riwajat Perjoeangan P.T.P.I” mulai tanggal 20 Oktober 1945. Dari bundelan tersebut terdapat naskah pidato peringatan ulang tahun P.T.P.I yang ke tujuh, berlangsung di ruang belakang Gedung Agung Jogjakarta pada tanggal 20-10-1952, pukul 19:00 tepat. Dari pidato tersebut diceritakan awal mulai PTPI terbentuk, semangat serta kerja kolektif yang berlangsung.
“Pada saat penj Djepang, jang menanamkan kekuasaan di Indonesia mengganti kekuasaan-pendjadjahan Blanda, akan sampai pada keruntuhannja, maka para pelukis di Jogjakarta berkumpul kira2 20 orang, di rumah sdr. Djajengasmara, di Kemetiran Kidul, untuk membulatkan tekad memperhatikan nasib rakjat agar dapat melepaskan diri dari kungkungan kekuasaan DJEPANG dengan segala kemampuan jang ada pada kami untuk menjedarkan rakjat Indonesia pada usaha akan melepaskan diri dari kungkungan Pendjadjah dan mengingatkan pada si Pendjadah sendiri untuk meninggalkan langkah pendjadjahannya pada bangsa Indonesia, sebab memang tidak laras dan sungguh tidak dapat dipersetudjui oleh rasa- PERIKEMANUSIAAN dengan pandangan DUNIA -MODERN ia lagi dengan djalan penjiaran: slogan2 poster2 dll. “Berikan kesempatan sebanjaknja bagi setiap Bangsa untk mengembangkan daja- Kebudajaannja setjara BEBAS.
Para sdr pelukis di Jogjakarta memilih suatu bentuk perdjoangan “Badan Perdjoeangan Poster-Aksi”, jang dilakukan setjara collectief.
Segra bersama-sama melukis gedung2 kreta-api dll, segala andjuran2 dan gambaran (poster) untuk mengadjak rakjat ke arah tudjuan Kebangsaan dan Kemerdekaan Negara dengan menghalaukan daja pendjadjah dengan bentuk dan tjara bagaimana djua.”
Dari bundelan tersebut juga terdapat informasi bahwa Badan Persaudaraan Pelukis di Jogjakarta turut ambil bagian di hari proklamasi kemerdekaan Indonesia, dengan slogan-slogan dan poster-poster, dan mengecat kereta api dengan gambar dan karikatur. Yang turut bergerak di momen tersebut ada kurang lebih 300-400 pemuda/pemudi Ga-Se-Ma (Gabungan Sekolah Menengah Mataram), yang bekerja bersama di banyak tempat hingga ke daerah-daerah. Slogan dan poster yang disebarkan dan di cat pada kereta api kurang lebih satu nada, “membangkitkan persatuan untuk menghalaukan si-Pendjadjah”
Pada saat PTPI dibentuk, organisasi ini terdiri dari kurang lebih 60 orang pelukis. Sementara struktur kepengurusannya sebagai berikut:
Dari catatan itu juga terdapat cerita soal sekretariat PTPI yang harus pindah tiga kali karena pengeboman. Pada tanggal 15 Januari 1950, juga terdapat catatan soal awal mula ASRI yang bertempat di gedung PTPI, Bintaran Lor 12b. Tokoh-tokoh PTPI juga tercatat sebagai pengajar di awal mula berdirinya sekolah seni ini. Salah satu keinginan yang masih menjadi mimpi dan belum diwujudkan oleh PTPI adalah untuk membuat Art Show-Room. Meski demikian, pada tanggal 22 Oktober 1952, PTPI mendirikan Perguruan Seni Rupa Menengah Atas “Prabangkara” (PSMA Prabangkara), yang diprakarsai oleh:
Sebelumnya, inisiatif ini diberi nama Kursus Ahli Gambar, yang dimulai bersama RJ Katamsi, Hendra Gunawan dan Koesnadi pada 1 Oktober 1950. Inisiatif ini dibuat untuk membentuk kader-kader pembina kebudayaan terutama di bidang seni rupa.
Pada 1 September 1953 status sekolah ini dirubah menjadi negeri dan namanya menjadi Sekolah Gambar Atas Negeri (SGAN) III dengan fokus pada Menggambar dan Pekerjaan Tangan. Keputusan ini ada melalui Keputusan Menteri PP dan K No. 5622/B pada 13 November 1953. Tujuan lembaga juga berubah yang semula untuk menciptakan kader menjadi menyiapkan tenaga pegawai atau guru. Djajengasmoro tetap menjadi kepala sekolahnya. Tapi pada 31 Agustus 1957 kepemimpinan diserahkan kepada Soehonotjipto BSc meski dengan penekanan pendidikan yang sama yakni berbasis industri kerajinan.
Pada 11 Februari 1960, melalui SK Menteri Muda PP dan K No. 14086/UU SGA III berubah lagi menjadi Sekolah Kejuruan Menggambar/ Pekerjaan Tangan (SKMPt) dan diserahkan kepada Jawatan Pendidikan Kejuruan terhitung mulai 1 Agustus 1959. Perubahan terus terjadi hingga pada 1975 sekolah ini menjadi SMIK Negeri Yogyakarta dan pada 1997 menjadi SMK Negeri 5 Yogyakarta. Dari beberapa koleksi ini kita dapat melihat sebuah foto dengan plakat Perguruan Seni Rupa Menengah Atas “Prabangkara” (PSMA Prabangkara) untuk kelas sore.
Selain itu kita bisa menyimak bersama keberadaan organisasi dan sosok penting di baliknya, yakni Djajengasmoro dalam konteks perjalanan sekolah seni di Yogyakarta. Pertanyaannya kini, mengapa catatan dan ulasan tentangnya tidak cukup memadai? Baik PTPI sebagai organisasi atau kolektif seni dan Djajengasmoro sebagai sosok penting, keberadaannya terselip, tidak cukup terpublikasikan. Mengapa demikian?
Dari Kurator Bercerita, Pak Hermanu juga menceritakan bahwa meski menjadi sosok penting yang membidani lahirnya ASRI, di tahun ketujuh ASRI, ia diberhentikan sebagai wakil direktur oleh Moh Yamin yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, karena ia tidak memiliki sertifikat guru gambar dari luar negeri. Selain itu, Pak Hermanu mengutip penggalan pidato yang terkenal dari Chiang Kai-shek, bahwa “langit tidak bisa memiliki dua matahari”.