Pekarangan: Seni Hidup Masyarakat Tropis Agraris

oleh Febrian Hasibuan


Apa artinya pekarangan bagi kehidupan kita? Seberapa penting posisinya dalam keseharian kita? Dan bagaimana kita mengelolanya?

Saya tinggal di daerah perbukitan kecil di Jawa Tengah, Banjarnegara. Kalau dilihat dari peta satelit, daerah itu tampak gradasi hijau, sedikit kecoklatan, dibelah tanda warna biru, dan garis abu-abu malang melintang. Overall, hijau. Melihat penampang itu seorang teman berseloroh, “Wah, asri ya? Berapa harga per meter tanah di sana?” Wajahnya menyeringai berseri-seri. Andai teman itu tahu situasi di lapangan berbanding terbalik dengan ekspektasinya–setidaknya situasi di rumah saya.

Belakangan rumah saya diserbu kawanan tikus. Mereka memakan hampir seluruh perlengkapan rumah, dari tutup saji, daun pintu, baju, sepatu, buku, hingga uang. Barangkali ini titik mula mengganasnya tikus di Queensland belakangan. Sungguh, kami kewalahan menghadapinya. Berbagai cara penanggulangan sudah dilakukan. Hasilnya nihil. Perangkap dan racun tikus tak mampu mereduksi populasi hewan pengerat itu. Sebaliknya, kucing peliharaan kami, Haruki, malah meregang nyawa, memakan racun tikus. Tentu, situasi tersebut tidak berlaku di tiap daerah kabupaten ‘rawan longsor’ ini, namun tidak menutup kemungkinan akan terjadi hal serupa.

Problemnya belum diketahui secara pasti. Selain peristiwanya sedang dan masih berlangsung, perlu dilakukan kajian yang menyeluruh, paling tidak dibidang geologi, agraria, ahli hama, antropologi, dan bahkan ekonomi politik. Sepintas saya berasumsi bahwa lonjakan, migrasi, dan mutasi tikus merupakan efek dari meluasnya sistem pertanian monokultur (salak) di masyarakat, alih lahan pertanian menjadi perumahan dan industri kecil-menengah tanpa dibarengi kesadaran ekologis, serta tata kelola area sekitar rumah yang mulai terabaikan dan tak tergarap. Tanpa berniat mereduksi persoalaan, saya kira peran dan posisi pekarangan di masyarakat perlu diketengahkan kembali. Mungkin pekarangan memang kecil, remeh, dan terpinggirkan, tapi mari kita telusuri bersama.

Sekilas Pekarangan Tropis-Agraris

Kita tentu akrab dengan istilah pekarangan. Meski masing-masing dari kita memiliki bahasanya sendiri untuk menunjuk situs di sekitar rumah ini, tapi kita dapat sepakat bahwa yang dimaksudkan itu mengacu pada pekarangan.

Bahasa Indonesia memiliki beberapa padanan untuk menamai situs ini. Misalnya, kalangan tertentu menyebutnya sebagai taman, halaman, selasar, emper, kebon, dst. Secara semantis dan keberfungsiannya, sederet istilah itu memiliki perbedaan satu sama lain: taman terkesan lebih terencana dan terta dibanding dengan kebun dekat rumah yang biasanya dihuni berbagai spesies liar dan tidak terurus. Anggapan itu sah-sah saja. Namun, ada satu titik balik pengolahan pekarangan pada gelombang pertama pademi Covid-19, masyarakat berbondong-bondong melakukan aktivitas bercocok tanam di area rumah. Penjelasannya dari fenomena ini tentu panjang dan lebar. Tapi yang jelas, situs tersebut masih memiliki tempat di masyarakat. Lalu pertanyaannya, apa itu pekarangan?

Kalau dicermati kembali, ruang yang selalu melekat dan dekat dengan rumah yang letak dan luasannya pun tak pasti, kadang berada di depan, belakang, atau samping, dapat disebut pekarangan. Sederhananya, pekarangan dapat dimaknai sebagai lahan terbuka di sekitar rumah. Namun pada kenyataannya, pemanfaatan lahan sekitar rumah ini terus berkembang dan bertransformasi dengan berbagai faktor yang memungkinkan pekarangan ‘ada’ dan dihidupi.

Situs pekarangan merupakan jejak peradaban masyarakat tropis-agraris dari seni hidup menetap. Beberapa pakar pertanian menyebut, pekarangan merupakan kegiatan penggunaan lahan tertua setelah sistem perladangan berpindah (shifting cultivation). Dalam perkembangan dunia pertanian, sistem ladang berpindah merupakan seni hidup masyarakat nomaden di tanah kering atau tropis untuk menjaga kesuburan melalui rotasi petak, bukan rotasi jenis tanaman. Lahan dibuka dan diolah untuk waktu singkat, kemudian dibiarkan atau ditinggal setelah mendapatkan hasil atau melihat tanda-tanda tanah mulai tidak produktif. Salah satu metodenya adalah tebang bakar, menyisakan tunggak dan pohon besar di ladang setelah mencapai proses vegetasi dan membakar sisanya untuk meningkatkan hara tanah. Kita nyaris tidak dapat membayangkan pekarangan dilakukan oleh masyarakat dengan corak nomaden atau berpindah. Pekarangan selalu berkenaan dengan seni hidup individu atau komunitas yang berdiam di satu tempat, sehingga pekarangan dimungkinkan lahir.

Karena konsepnya lahir dari sistem pertanian, pekarangan sering dipandang  dan disamakan oleh para pengamat di belahan dunia Utara dengan  agroforestry home garden, homestead farm, household, backyard gardens dan lain sebagainya. Tentu hal itu dapat diterima, akan tetapi pekarangan di wilayah tropis memiliki penamaan beserta sejarah, kondisi alam, dan logika ‘penataan’ sendiri. Semisal di Afrika Selatan, istilah yang dipakai adalah Samba dan Chagga, dan di Amerika Tengah disebut Huertos Familiares. Menurut Kumar (2004), pengamat pekarangan tropis, perbedaan tersebut menunjukan adanya konsep dan praktik yang selalu terkait dengan bentang ruang, varian spesies, dan kultur sebuah kawasan. Artinya, pekarangan sebagai seni hidup masyarakat tropis-agraris memiliki sejarah dan konteks lokal yang tidak bisa digantikan dengan kawasan lain, sebut saja kawasan Utara.

Di India, pekarangan eksis sejak beratus abad silam dan meski terjadi perubahan bentuk dan presentasi, jejaknya dapat dilihat hingga hari ini. Puri dan Nair (2004) melihat bentuk-bentuk itu dapat dilacak melalui dua epos besar India Ramayana dan Mahabarata (diduga lahir sekitar 7000 SM dan 4000 SM), tentang ilustrasi Ashok Vatika, sebuah pekarangan rumah di India. Desain Ashok Vatika berbentuk sarovar (tangki air) yang dikelilingi tiga cincin tumbunan: cincin pertama terdiri dari ashok, nimba, pipal, dan bargad, cincin tengah terdiri dari nangka yakni mangga, pisang, dan jambu biji, dan cincin terdiri dari bunga-bunga seperti champa, chameli, juhi, dan bela. Sementara, di sekitar pepohonan masyarakat melakukan tarian-tarian suku dan ritual lain sebagai simbol penghormatan. Dan konon, sampai awal tahun 2000, ritual semacam ini masih dilakukan.

Gambar 1. Dalam perjalanan mengunjungi Kuil Seetha Amman, Dewi Sinta beristirahat di Ashok Vatika ditemani Hanoman. Sumber: http://www.sunbirdjourney.in/tour-packages/srilanka-ashok-vatika-ramayana-tour.htm

Deskripsi Ashok Vatika, selain memperlihatkan struktur taman, juga menunjukkan logika kelola bentang alam yang cukup menarik. Pembagian 3 lapis cincin dengan perbedaan spesies tumbuhan (mungkin juga spesies hewan lain) yang mengelilingi tangki air, serta kegunaan masing-masing tumbuhan di tiap cincin, sudah barang tentu memiliki pertimbangan-pertimbangan etis, estetis, dan aspek koordinatif yang membentuk jejaring antara alam dan manusianya.

Seni pengelolaan tersebut barangkali cukup sulit kita jumpai dalam penampakan taman-taman rumah di kawasan non tropis. Kondisi alam tropis (dua musim), variasi spesies dan kultur masyarakatlah yang membentuk model pekarangan tropis. Dalam laporan studi Sajogyo berjudul Jawa Menuju Gizi Baik yang Merata di Pedesaan dan di Kota (1994), mengamati bahwa pekarangan Jawa bergerak dalam tiga kinerjanya: lumbung hidup, warung hidup, dan apotik hidup. Ia menjelma menjadi semacam sabuk pengaman masyarakat saat menghadapi gagal panen, mencukupi kebutuhan sehari-hari rumah tangga, dan memberikan asupan obat-obatan. Singkatnya, pekarangan bisa disebut sebagai situs ekonomi subsisten masyarakat. Hal ini mengundang banyak pakar untuk melabeli seni pekarangan di wilayah tropis sebagai lambang keberlanjutan (epitome of sustainability).

Sampai di sini, kekayaan seni hidup-pekarangan atau seni pekarangan di masyarakat memantik obrolan-obrolan yang lain tentang bagaimana pekarangan merupakan situs bergerak masyarakat dan adaptif untuk membangun jejaring koordinasinya dengan alam.

Pekarangan: Yang Bergerak dan Yang Adaptif

Lain lubuk lain belalang. Manifestasi pekarangan di tiap lokasi berbeda-beda. Masing-masing selalu berkait dengan konteks partikularnya. Di lingkungan kerajaan Jawa, pekarangan dikenal dengan nama taman atau taman sari. Taman ini berbeda dari taman-taman di belahan Eropa lainnya. Denys Lombard, sejarawan Perancis melalui bukunya berjudul Taman-Taman di Jawa (2019) dengan spektakuler melacak dan mengkonstruksi jejak reruntuhan taman-taman kerajaan melalui arsitektur bangunan, laporan antropologis, situs candi kuno, babad, sastra Jawa kuno, cerita lisan, dan kartu pos guna mencari landasan estetik dan filosofis taman di Jawa. Dalam studinya, Lombard berfokus pada pada dua taman abad-abad 18 yakni Taman Sari Gua Sunyaragi atau akrab disebut Taman Sunyaragi milik Kesultanan Cirebon dan Taman Sari milik Kesultanan Yogyakarta. Kini keduanya menjadi destinasi wisata yang cukup ramai dikunjungi.

Supaya tidak mengulang kerja Lombard, saya akan berfokus pada cara taman disusun secara integral dengan bentang alam di sana dan pengaruh-pengaruh di sekitarnya. Lombard mengakui adanya pengaruh Islam dan Eropa, namun ia dilahirkan dari ruang dan waktu yaitu kosmologi Jawa: taman adalah “tempat kerja spiritual”, ruang sublim adiduniawi, tempat para ksatria menyendiri dan nyepi. Akan tetapi, Lombard juga mengakui terdapat kemiripan taman di India—yang jika dilihat ada pada sistem pengelolaan air. Jika Ashok Vatika secara penataan menempatkan air sebagai ‘pusat’ taman, Taman Sunyaragi menempatkan penampung air (terlindung genteng) berfungsi menampung air dan air hujan untuk memasok ke seluruh sirkuit air ke dalam gua, beberapa kamar, kolam kecil dan kolam renang. Selain itu, terdapat pohon buah-buahan di sekitarnya. Begitupun dengan Sumur Gumuling di Taman Sari, dibuat untuk mendistribusikan air melalui saluran-saluran di dinding.

Kesan kuat dari taman-taman Jawa adalah konsep melebur dengan alam. Pertimbangan-pertimbangan arsitektural, penataan, dan pengaturan ruang sesungguhnya melebur dengan entitas-entitas di sekitarnya. Taman Sunyaragi dibangun di antara gundukan bukit, gua, tanah wadas, tumbuh-tumbuhan sekitar. Ia tidak lantas menghabisi atau memangkas bukit atau gua, sebaliknya jalur-jalur gua dimanfaatkan sebagai jalur menuju paviliun-paviliun, tempat peristirahatan, tempat sembahyang, dan kolam. Tidak hanya itu, dekorasi-dekorasi dinding tampak mengikuti kontur tanah: berceruk dan dilapisi pewarna terang atau kadang gelap. Tentu, penyusunan taman kerajaan yang istimewa ini tidak terlepas dari bagaimana sebuah kerajaan mengelola kapitalnya.

Situasi pekarangan rumah di perkotaan (metropol) abad 18 hingga 19 menunjukan jejak-jejaknya hingga tersisa sampai hari ini. Pekarangan-pekarangan di masa itu berada dalam sebuah proses perjumpaan-perjumpaan yang dinamis: etnis, ekonomi, politik, dan hukum tata ruang yang bekerja pada masa itu. Bagi kalangan ningrat campuran, kata pekarangan tidak lazim digunakan. Mereka terbiasa menggunakan kata keboen/kebon dalam bahasa melayu rendah, yang kira-kira artinya halaman sekitar rumah. Kebon di Batavia tempo dulu secara eksplisit dapat kita lihat dalam prosa Pieter Elberveld karya Tio Lo Soei (peny. Toer, 2003). Soei Lo Soei (1890-1974) merupakan jurnalis dan sastrawan peranakan Tionghoa yang aktif pada masanya, menciptakan imajinasi sebuah bangsa (nation).

Prosa Pieter Elberveld merupakan prosa sejarah yang menceritakan perlawanan Batavia terhadap kolonialisme Belanda dan diakhiri dengan kekalahan Elberveld karena salah satu budaknya berkhianat dengan melaporkan rencana itu kepada pihak Belanda. Latar kejadiannya yakni di Jakarta Barat pada tahun 1720-an. Bagi orang Jakarta, sosok Elberveld merupakan simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan monumennya dapat dijumpai di sekitar Museum Fatahillah. Tapi siapa sangka, bahwa perlawanan itu dimulai dari sebuah kebon, ruang rahasia belakang rumah tempat Elberveld dan si Djawa menyusun siasat perlawanannya.

[ ] Di djalan ada sepi dan tiada orang liwat. Tiada ada kedengarann soeara manoesia, hanja terdengar sadja soeara angin dari beradoenja daon-daon poehoen…

“Saja diprenta tiada boleh kasi orang masoek, Raden,” menjaoet itoe boedak toea, “tapi boeat Raden tentoe boleh. Toean ada di kebon blakang dan raden masoeklah sadja ketemoe padanja.”

​​Itoe gang tiada meneroes ka satoe rowangan, hanja di oejoeng ada satoe tangga, jang pegangannja kiri-kanan dioker oleh toekang-toekang oekir pande. Inilah ada tangga aken bisa naik ke loteng di blakang. Di satoe samping dari ini tangga ada satoe pintoe ke katja, dan inilah ado teroesan boeat djalan kablakang, ka dapoer, ka kamar boedak-boedak, ka ke kebon dan ka istal koeda.

Itoe Raden dan pengikoet-pengikoet bokea itoe pintoe katja dan djalan ka belakang. Disatoe tempat di dalem kebon itoe Raden dapet liat, toean roema sedeng djalan moendar-mandir zonder kerjda satoe apa dan lakoenja ada sedeng keras berpikir. Poen roepanja ia sedeng tida seneng hati.

 

… itoe tempo ia tjoema pake tjelana tidoer dengen badjoe potongan badjoe orang Tionghoa… di sela satoe bangkoe kebon jang berales beloedroe ada terletak satoe pipa dan di satoe medja ketjil di dekat itoe bangkoe ada tempat tembako dengan satoe tjangkir teh.

 

Di itu kebon jang loeas tiada orang selaennja itoe toean roema jang lagi djalan moendar-mandir deket medja dan bangkoe.

Gambaran kebon waktu itu barangkali cukup akrab bagi kita tentang taman. Kebon menjadi ruang sangat privat, seorang tamu harus melewati rumah utama dengan penjagaan ketat untuk sampai ke kebon. Di sana tuan rumah berpenampilan serba santai, memakai baju tidur, dikelilingi ornamen-ornamen bangku beludru, di meja terdapat cangkir dan tembakau, dan terdapat beberapa pohon besar di sana. Furnitur-furnitur yang tertanam memang tidak seratus persen hasil masyarakat pribumi, misalnya, kain beludru di meja bisa jadi diekspor dari Eropa. Namun, yang tidak asing adalah seluruh penataan mirip dengan taman-taman hari ini. Atau kebon menjadi ‘situs santai ria’. Namun, di satu sisi, desain pekarangan Batavia tercipta dari sebuah iklim alam dan iklim budaya terbuka.

Pekarangan menjadi situs mengelola alam dan perbedaan budaya. Menurut beberapa arsiparis dan sejarawan tata kota Jakarta, kondisi tersebut merupakan arsitektur khas Betawi. Rumah selalu dikelilingi kebon. Menurut sejarawan Jakarta, JJ Rizal (2013), situasi tersebut didukung oleh kondisi geografisnya: alam Jakarta lahir bersama banjir dan hujan tropis yang berangsur-angsur mengikis punggung vulkanik Salak dan Gede: sungai-sungai membawa tanah ke laut beransur menjadi daratan endapan lebar dengan danau-danau, rawa-rawa, dan hutan tropis. Daratan yang dijadikan pemukiman warga kemudian menjadi bagian dari kultur masyarakat yang integral dengan alam. Tanam-tanaman liar tidak begitu saja ditebang. Ia dibiarkan menjadi pagar yang tidak kaku dan tegar, dikenal sebagai pager puhun. Biasanya, jenis tanamannya adalah saga, sirih, teleng, dan lain sebagainya, yang sering digunakan untuk mengobati demam, masuk angin, dan batuk.

Gambar 2. Suasana pekarangan di Batavia pada tahun 1870. Sumber: Kokospalmen in Batavia (Pohon Kelapa di Batavia) koleksi KITLV.

Menurut, JJ Rizal dan F. de Haan di dalam bukunya Oud Batavia, arsitektur khas Betawi ini bertahan hingga 1920-an bahkan 1970-an. Rumah dan kebun menjadi paket arsitektur khas Betawi. Kebon di masa lalu menjadi area hijau, halaman yang ditanami sayur, buah-buahan, serta obat-obatan yang berfungsi untuk keluarga. Meski, Jakarta hari ini, situasinya cukup kontras dengan Jakarta masa lampau. Di tengah ekspansi dan gelombang urbanisasi yang kian tak terbendung, halaman-halaman rumah kian menyempit, banjir tak terkendali, aneka tumbuhan tropis perlahan lenyap, digantikan fantasi kapitalisme industri yang menggantikan seluruh aspek kehidupan masyarakat Jakarta.

Dalam beberapa bagian, pekarangan di Jawa memiliki kemiripan dengan kebon di masa Batavia. Namun, jika ditelisik lebih jauh, pekarangan bentang alam di Jawa membuat kerja pekarangan berbeda. Umumnya, kondisi alam rumah Jawa Tengah (Stoller, 1976) memiliki ciri ekologi khas. Alam didominasi oleh tanaman keras ketimbang ‘tanaman semusim’, sehingga jenis tanamannya lebih berkayu. Kedua, tanaman itu sering disebut sebagai struktur tertutup (penyedia buah-buahan tinggi dan pohon kayu) dalam kebun campuran. Biasanya, ditanam rapat dan bertingkat. Salah satu fungsinya yakni sebagai kanopi tertutup, mengurangi dampak kikisan hujan deras pada tanah, menurunkan suhu tanah, dan mengendalikan erosi dan pertumbuhan gulma. Sementara, mata sistem bertanam masyarakat agraris, bersawah, dapat dilakukan tanpa mengabrasi tanaman keras. Kondisi alam tersebut kemudian dijadikan pertimbangan masyarakat Jawa untuk mendesain pekarangan.

Menurut Ann Stoller (1976), di tengah kondisi alam Jawa, pekarangan memiliki fungsi strategis, menopang keberlanjutan hidup masyarakat. Secara garis besar, pekarangan di Jawa memiliki dua fungsi besar yakni fungsi kultur dan fungsi ekologis. Pekarangan sebagai fungsi kultur merupakan budaya perlindungan kelangkaan pangan, gagal panen, kekeringan, dan kemiskinan desa karena segala sesuatu dijual ketika kebutuhan rumah tangga sehari-hari menjadi langka, sementara sebagai fungsi ekologis, pekarangan rumah membedakan diri dengan sistem dominan monokultur atau beras yang diolah di atas bidang tanah, berjenjang-bertingkat yang kecenderungannya sebagai imitasi ekologis dari struktur hutan bukan transformasi lingkungan. Stoller juga menambahkan, sistem pekarangan di Jawa cukup mapan sebagai sistem ‘taman rumahan’ (home-gardens) sejak sembilan abad silam.

Saya akui, penelusuran pekarangan jauh dari kata ketat dan komprehensif. Karena memang tidak dalam rangka memberi kategori dan klasifikasi pekarangan secara mendetail. Namun dapat digarisbawahi, setiap pekarangan, di ruang dan waktu tertentu selalu memiliki semangat dan seni pengolahannya, termasuk keragaman alasan pengolahan pekarangan di masa pandemi. Seni hidup pekarangan tidak sesempit dalam daftar di atas. Jika Anda memiliki banyak cerita pekarangan, tentu itu sangat menambah daftar dan bahkan memproblematisirnya kembali.

Bagi saya, praktik dan konsep pekarangan tidak hanya tunggal dan kontekstual, tetapi juga seni hidup memperluas jejaring manusia dan alam, mendaftarkan aktor-aktor non manusia membentuk jejaring hidup. Bagi banyak orang, masa pandemi barangkali masa paceklik takan terlupakan, tapi dari sudut pekarangan, masa pandemi adalah momen untuk membangun dunia dengan melunakkan ego-ego manusia modern yang terlalu percaya diri mendaku dirinya pusat dunia (antroprosen). Barangkali dari sudut kecil ini, pekarangan rumah, kita dapat membayangkan dunia baru atau dunia pasca antroposen, di mana aktor non manusia adalah juga aktor yang turut menentukan hidup. Seperti pada fenomena tikus di rumah saya yang tak kunjung teratasi, barangkali karena ia ingin kembali didaftarkan sebagai bagian dari jejaring kerja kehidupan serta memberi pengaruh dalam menimang ulang keputusan-keputusan harian dan bahkan masa depan.

Pada Akhirnya Pekarangan

Akhir kata, seni pekarangan memberi satu penjelasan kembali tentang hidup yang berdampingan dengan yang lain: udara, air, tanah, tumbuhan, hewan, manusia, spiritualitas, di tengah godaan-godaan antroposentrisme yang berlarut-larut menubuh dan tak terjeda. Seni pekarangan barangkali tidak menuntut untuk dilabeli konsep-konsep seni lingkungan, environmental art, art ecology, atau seni atas nama lingkungan dengan seperangkat etika dan estetikanya. Tapi berangkat dari pekarangan, kita justru dapat bertanya ulang: apakah seperangkat praktik dan konsep yang disematkan pada praktik-praktik seni lingkungan sungguh berintegrasi dengan alam atau seni lingkungan masih digentayangi momok bernama antroposentrisme? Dan apakah laris manisnya praktik seni lingkungan di medan seni kita, misalnya, menari di tengah pemukiman kumuh dan tak tergusur atau membuat karya tiga dimensi dengan sisa-sisa puing bencana, merupakan manifestasi seni lingkungan masih memadai? Pertanyaan tidak perlu dijawab tergesa-gesa karena kita baru dan sedang memasuki  gerbang baru di masa pandemi, tapi paling tidak yang perlu dipikirkan kembali adalah soal perspektif kita memandang seni lingkungan:, seni atas nama lingkungan, seni berbasis lingkungan, seni untuk lingkungan, seni dari lingkungan, seni oleh lingkungan atau seni-lingkungan?