Pernyataan penulis:
Saat tulisan ini disusun, saya sedang mempertimbangkan ragam komunikasi yang evaluatif. Tulisan dalam bahasa yang saya kenal terasa selalu mengungkung makna dari pengamatan; karenanya, reduksi dihadirkan dengan pendekatan subyektif.
Aspek lain yang menjadi pijakan penulisan adalah pengalaman pribadi berinteraksi dengan para pelaku Performance Art, menjadi performer, hadir untuk menonton, hingga belakangan lebih banyak membaca rekaman visual dan teks.
Setiap rujukan dipilih untuk mencari alternatif cara pandang, dengan harapan bisa mencapai narasi yang luas sebagai bahan diskusi lanjutan.
Performance Art dalam Arsip: (Isu) apa, (oleh) dan (untuk) siapa?
Mencermati penyelenggaraan Ring of Performance tidak bisa dilepaskan dari upaya lacak balik performance art sebagai praktek seni rupa. Pertama-tama, saya hendak menyamakan istilah yang digunakan dalam tulisan ini, sebagai berikut:
Diskusi tentang tulisan ini bisa saja mengubah cara mengarsipkan performance art. Sebagai subyek, ia telah menjadi bagian dari telaah praktek seni di Indonesia selama kurang lebih lima dekade. Performance art jamak diikat pada lingkup seni rupa atau visual, karena rasionalisasi dari tindak soliter seniman membuat karya rupa. Di sisi lain, jika pelakunya berlatar belakang disiplin seni pertunjukan, performance art jamak diduga performing art.
Kondisi di atas biasanya disiasati dengan mencari penjelasan dari pelaku, demi memperoleh kejelasan motif. Bagaimanapun, paparan motif berkarya menjadi kaya jika pemberi dan penerima informasi tidak terburu-buru melakukan kategorisasi praktek. Validitas penjelasan dari pelaku menjadi tidak mutlak karena yang mutlak sebagai karakter kerja kreatif adalah pertumbuhan.
Perbedaan performer dengan seniman performance memang pada pilihan lintasan yang ingin ditekuni. Seorang performer bisa bertumpu pada keinginannya semata untuk berekspresi dan mengkomunikasikan pendapatnya dengan tindakan. Penyebutan performer dalam konteks ini terikat pada siapa yang menyebutnya demikian, misalnya seorang seniman performance.
Seniman performance bisa saja melihat kesehariannya sebagai performance art. Namun kesehariannya butuh ketertiban layaknya orang yang bekerja sebagai seniman: seniman lukis melukis, seniman teater menyajikan pertunjukan, dsb. Dalam perjalanannya, seorang seniman menemui konteks yang khas, di mana konteks tersebut sekarang tidak bisa dipisahkan dari mekanisme industri. Ketika berkesenian adalah pekerjaan, maka dengan sendirinya internalisasi gagasan melibatkan pula stimuli dari pergaulan, dan tindakan dalam ruang pikir-laku yang sistemik.
Maka ketika arsip dihasilkan dari perekaman, yang eksplisit adalah identifikasi siapa, di mana, kapan, dan seolah-olah tentang apa. Pilihan bekerja sebagai seniman performance erat dengan logika sistem yang menggiring tercetusnya pola. Ekspresi seorang seniman performance menjadi karya, sehingga perlu apresiasi, perlu penonton. Pertanyaan lanjutan yang kadang muncul adalah mengapa. Mengapa memilih isu tersebut? Mengapa modus penyampaiannya begitu? Mengapa pakai properti? Mengapa telanjang? Mengapa ada panggung?
Tapi pernahkah sesama pekerja seni bertanya, mengapa perlu menyelenggarakannya sebagai hajat/event?
Bagi seorang perekam, pertanyaan di atas pasti mengubah tradisi dokumentasi seni kontemporer. Performance art menjadi sangat butuh perekaman karena sifat penyajiannya yang fana. Upaya pengekalan bisa ditempuh dengan meninggalkan jejak, menjadikannya ritual, menghadirkan sebanyak-banyaknya orang supaya terbentuk memori kolektif, perekaman, atau cara-cara lain yang saya belum tahu.
Namun, perlukah ia menjadi kekal?
Saya mengurungkan niat untuk memperoleh jawaban ya atau tidak. Secara pragmatis, atas nama pelestarian memori kolektif, rekaman video menghasilkan produk yang lebih luwes sejak manusia tidak lagi canggung menghadapi layar televisi. Penonton rekaman video performance art sekarang dengan segera bisa mengubahnya jadi video yang sama sekali berbeda. Secara gradual, upaya klasifikasi ‘video art’, ‘video performance, ‘dokumentasi video dari performance’ turut lebur. Maka, digunakanlah data untuk mengeksplisitkan rekaman menjadi arsip, demi menjadikan rekaman tersebut obyektif.
Kritik terhadap obyektivitas arsip
Bukan barang baru. Membuat arsip sebagai acuan (yang juga adalah kata ganti dari objective) adalah upaya menyajikan informasi, berita, memvalidasi bisik-bisik menjadi fakta.
Untuk masyarakat yang terdidik dengan sistem pendidikan di Indonesia, mengarsipkan adalah warisan kolonial. Saya rasa terlalu dini jika kita bersegera mendekonstruksi makna arsip, semata-mata karena Derrida menegaskan kehadiran otoritas mutlak tak terhindarkan untuk tindak klasifikasi. Apakah resolusinya adalah mengujicobakan berbagai sistem klasifikasi, karena bangunan pengetahuan arsip di antara masyarakat Indonesia belum mengadaptasi bentuk-bentuk pasca-kolonial?
Orang Indonesia terlanjur mengenal Pancasila, terdesak menjadi nasionalis, dan dengan ringan mengamini solidaritas. Penyederhanaan saya bertujuan untuk menyampaikan bahwa sistem (pengelolaan) masyarakat Indonesia dibangun di atas landasan absolut. Maknanya, sistem musyawarah untuk mufakat atau gotong royong, mengarahkan masyarakat untuk percaya pada konsep demi kebaikan bersama. Sistem tersebut kemudian diangkat pada hirarki tertentu, misalnya nilai tradisi dan warisan bangsa, juga diasosiasikan untuk proses memahami demokrasi.
Saya juga urung menggeser kegelisahan saya pada obyektivisme menurut Ayn Rand, yang menyatakan bahwa nilai ditentukan dan relatif pada pencetus atau penerimanya. Untuk tujuan penulisan ini, arsip performance art esensinya bukan untuk melayani kebutuhan relatif seniman performance, atau semata-mata melayani kebutuhan medan sosial seni. Karena toh, ia tidak berperan signifikan untuk menjadikan performer sebagai seniman performance. Memori kolektif tentang ritual, ekspresi dan opini yang tidak dilestarikan kolonial, terlanjur pupus dan kita hanya bisa meratapi nasib. Dalam masa remang-remang seperti sekarang, pahlawan sejarah dirayakan, dan kita berjanji sepakat untuk tidak mengulangi kealpaan yang sama.
ANRI melakukannya untuk catatan pemerintahan dan kaleidoskop sosial budaya; pendirian museum negara dan swasta disertai misi preservasi benda non artefak; seniman mempercayai ekspresinya akan lestari melalui diversifikasi media -konon hal pertama yang ditanyakan seniman pada pihak yang membantu penyelenggaraan hajat seninya adalah dokumentasi.
Kabar (gembira?) untuk para seniman, belakangan museum kontemporer skala internasional lebih gencar mengumpulkan (membeli) arsip dari hajat temporer, terutama yang berbasis partisipatoris dan asumsinya mengandung dialektika praktek seni.
Perbedaan tujuan pengumpulan museum dengan peneliti atau pengajar seni tercermin pada produknya. Museum adalah suatu sistem yang mengelola bahan/materi, sedangkan peneliti menggunakan sistem untuk mensintesis bahan dengan teori(nya). Keduanya bisa bekerja bersama, biasanya dalam sistem yang lebih mapan dan taktil. Kecenderungan baru ini masih marak dipromosikan oleh kalangan akademis dan pemerintah, agaknya sebagai reaksi dari pengakuan gradual atas teori pusat dan pinggiran dalam pengelolaan pengetahuan.
Penutup
Tulisan ini dihadirkan menyertai laku sistematis medan sosial seni: hajat performance art yang masih signifikan untuk pertumbuhan melalui pertukaran bahasa ungkap. Saya mengandaikan Ring of Performance ini sebagai wadah profesi, seperti Ikatan Dokter Indonesia atau Paguyuban Pemuka Adat.
Optimisme saya tidak terletak pada glorifikasi demokratisasi latar belakang, pinggiran menginflitrasi pusat atau bahkan mengandaikan pusat selain institusi pemerintah di Indonesia itu ada. Sebagai salah satu pencatat, saya optimis bahwa jika performance art tidak lagi mampu bernegosiasi di medan sosial seni, ia perlu diujicobakan pada konstruksi lain yang lebih bisa memanfaatkannya.
Februari 2016
pitra.hutomo@gmail.com