oleh Santoso Werdoyo
Pandemi Covid-19 dan kebijakan pemerintah yang muncul sangat mempengaruhi semua lini kehidupan, salah satu di antaranya adalah dunia literasi, muladi dari penerbitan hingga perpustakaan. Kami berusaha meraba situasi dunia literasi semasa pandemi ini dengan mengumpulkan informasi secara online dan bertegur sapa dengan beberapa pegiat literasi, dari pemerintah dan komunitas.
Dampak pandemi bagi dunia literasi yang banyak dibicarakan adalah pasar buku konvensional yang anjlok. Himbauan jaga jarak mengakibatkan sebagian besar industri perbukuan mandek. Penjualan buku-buku di berbagai negara turun drastis. Di Indonesia turun sekitar 40-70 persen sejak Maret 2020. Sedangkan untuk penerbit, rata-rata dari April bisa bertahan setidaknya tiga sampai enam bulan, sisanya hanya 4-5 persen yang dapat bertahan satu tahun ke depan.
Ikatan Penerbit Indonesia berupaya menyampaikan permasalahan ini kepada pemerintah, melalui Kemenparekraf. Mereka berharap pemerintah dapat memfasilitasi penerbit agar bisa menjual buku melalui platform digital. Pemerintah di beberapa negara di Eropa, seperti Inggris, Irlandia, Republik Ceko sudah melakukan upaya tersebut. Mereka membeli buku-buku berformat digital (e-book) dari para penerbit untuk kemudian didistribusikan ke masyarakat secara gratis melalui perpustakaan-perpustakaan negara.
Di Indonesia, pasar e-book tercatat naik 55% sejak Januari hingga Maret 2020, jika dibandingkan dengan periode 2019. Namun memang masih belum maksimal, pasalnya produksi e-book masih dominan topik pendidikan. Permasalahan lainnya adalah belum ada perlindungan hak cipta secara legal bagi penulis yang menulis buku langsung dengan format digital.
Selain pasar buku, himbauan jaga jarak juga membuat para pegiat literasi, khususnya perpustakaan merubah mekanisme pelayanan publik atau bahkan menutup untuk sementara waktu. Salah satunya perpustakaan yang dikelola Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi DIY. Sampai sekarang layanan secara fisik hanya diberlakukan untuk pengembalian buku, dengan mekanisme drive-through. Untuk peminjaman buku, perpustakaan pemerintah DIY sudah memiliki mekanisme daring. Publik dapat mengakses buku elektronik melalui aplikasi i-jogja. Selain perpustakaan pemerintah DIY, beberapa perpustakaan lain seperti iPusnas, iJakarta, iJabar, dan iJatim juga melakukan model pelayanan yang sama.
Selain pelayanan peminjaman buku digital, cara lain yang dilakukan perpustakaan pemerintah adalah menggelar beberapa webinar. Salah satunya adalah webinar bertajuk Bangkit dari Pandemi dengan Literasi oleh Perpustakaan Nasional (Perpusnas) dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Jakarta pada 17 Juni 2020. Topik-topik yang dibicarakan adalah seputar lompatan pemanfaatan teknologi digital untuk pertukaran informasi, seperti pemanfaatan kanal youtube untuk produksi konten edukatif dan sumber ekonomi, serta penguasaan bahasa yang melampaui teritori.
Perpustakaan non-pemerintah atau komunitas tentu lebih terdampak karena tidak semua memiliki infrastruktur yang mendukung untuk menghadapi pandemi ini. Sejak pertengahan Maret 2020 layanan onsite perpustakaan IVAA untuk publik ditutup. Baru pada awal Mei 2020, dengan situasi ‘new normal’, layanan onsite kembali dibuka tapi dengan mekanisme janjian, dan tetap menjalankan protokol kesehatan. Publik yang hendak meminjam buku dapat terlebih dahulu melihat koleksi di katalog online.
Selain IVAA ada juga perpustakaan Yayasan Umar Kayam. Perpustakaan yang memiliki beragam koleksi pribadi milik almarhum Umar Kayam, yang sebagian besar berisi buku-buku, makalah dan kertas kerja bidang sastra dan sosial-budaya, saat ini juga memberlakukan protokol Covid untuk layanan publik.
Mau tidak mau, pembatasan akses publik jadi tindakan yang harus dilakukan untuk memutus mata rantai virus. Meski tidak ada pengunjung yang mengakses ruang perpustakaan, deretan buku yang berjejer tetap harus diperhatikan. Kerja inventarisasi, klasifikasi, dan perawatan tetap dilakukan. Buku-buku tetap harus dibersihkan dari debu, harus dibuka-buka agar tidak lengket serta mengantisipasi jamur karena ruangan yang lembab.
Dan tentu saja seorang pustakawan, atau pecinta buku bisa memanfaatkan waktu ini untuk mengolak-alik koleksi, mempertajam subjek klasifikasi, sembari membaca apa yang belum dibaca atau mengulang baca untuk merawat ingatan. Situasi pandemi ini dapat melahirkan berbagai imajinasi literasi pustakawan yang mungkin dapat dibagikan kepada publik, sebagai bagian dari kerja merawat buku. Salah satunya adalah dengan menulis, karena seperti kata Pramoedya Ananta Toer, menulis adalah bekerja untuk keabadian. Dan pustakawan punya amunisi besar untuk hal itu.
Untuk melihat sebaran data Potret Pustaka, silakan klik link checklist ini.
Artikel ini merupakan rubrik Sorotan Pustaka dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi Mei-Juni 2020.