Judul : Seni Kejadian Berdampak
Penulis : Bramantyo Prijosusilo
ISBN/ISSN : 978-602-356-229-9
Penerbit : Kepel Press
Tahun Terbit : 2019
Tempat Terbit : Yogyakarta
Resensi oleh : Ahmad Muzakki
Sebuah induk kesenian menjadi sebuah tradisi bangsa kita yang sangat kaya dan berkembang, akan tetapi saat ini hampir tidak mendapatkan perhatian dari dunia pendidikan kesenian. Begitulah bunyi kalimat pembuka pada bab pertama di buku ini, menggambarkan bagaimana kondisi seni upacara adat sekarang. Meski kurang tersentuh, seni upacara adat tidak mati. “Lingkungan komunitas keagamaan masih menjaga kesuburan upacara adat meski mungkin seninya kurang kreatif”, kata Bramantyo Prijosusilo yang tak lain merupakan penulis buku yang berjudul “Seni Kejadian Berdampak”.
Bramantyo Prijosusilo memiliki latar belakang sebagai seorang seniman. Pria kelahiran 1897 ini pernah bersekolah di SMA Kolese de Britto dan mendapat kesempatan belajar kesenian di bawah asuhan Gregorius Sukadi. Selain itu, Bramantyo juga pernah belajar di Bengkel Teater W. S. Rendra dan mendirikan Teater Akar di Yogyakarta. Walaupun sempat dikeluarkan dari jurusan teater IKJ, Bramantyo Prijosusilo tetap berkarya dan dikenal di dunia seni Indonesia. Lahirnya buku “Seni Kejadian Berdampak” ini menjadi salah satu saksi perjalanan proses penciptaan karya seninya.
Jika dilihat dari bentuk fisiknya, buku ini tidak begitu tebal. Buku karya Bramantyo Prijosusilo ini memiliki tebal tujuh puluh tujuh halaman, diterbitkan pada 2019 oleh Penerbit Kepel Press dari Yogyakarta. Ilustrasi karya Joseph Wiyono yang berjudul “Kebo Ketan Kraton Ngiyom” menjadi gambar sampulnya dan di setiap pergantian bab terdapat ilustrasi yang akan membawa imajinasi pembaca terlibat ke dalam narasi buku ini.
Bramantyo Prijosusilo menuliskan pengalamannya dalam menghidupkan kembali budaya upacara tradisi. Dinamika yang dialaminya sangat beragam, dari mulai harus berurusan dengan kelompok organisasi agama hingga harus bersangkutan dengan pihak kepolisian. Akan tetapi hal itu justru menjadi salah satu bahan pengembangan karya yang akan dibuatnya. Menghidupkan kembali upacara adat seperti yang Bramantyo Prijosusilo lakukan di era modern seperti ini sangat sulit, berbenturan dengan anggapan adanya pelecehan agama hingga menghalalkan kekerasan dengan dalih berjihad. Hal itulah yang dialami Bramantyo Prijosusilo, yang dituliskan dalam salah satu bab buku ini.
Bramantyo Prijosusilo percaya bahwa penyelenggaraan upacara adat dapat berpengaruh terhadap kondisi sekitar, dari konteks sosial masyarakat hingga keseimbangan alam. Selain itu, Bramantyo Prijosusilo juga percaya bahwa upaya menghidupkan kembali upacara adat dapat selaras dengan cita-cita negara yang terkandung dalam tubuh Pancasila. Sangat relevan dengan kondisi Indonesia sekarang ketika keragaman budaya sudah mulai luntur.
Masyarakat Indonesia sudah sangat lama mengenal mitos. Mitos tercipta dari pendahulu kita, menyimpan banyak pesan yang harus selalu dikontekstualisasi. Akan tetapi, tidak jarang orang cenderung memandang mitos sebagai takhayul. Padahal, keberadaan mitos dalam suatu daerah dapat mempengaruhi bagaimana kondisi dan perkembangan sebuah kebudayaan lokal yang ada, termasuk upacara adat.
Upaya Bramantyo Prijosusilo yang tercatat dalam buku ini dan menjadi salah satu hal yang menarik adalah upayanya dalam menghidupkan kembali mitos-mitos yang sudah hampir tiada. Seperti yang dilakukannya di Sendang Margo, tepatnya di Alas Begal. Bramantyo Prijosusilo memunculkan kembali kisah Peri Setyowati untuk menghubungkannya dengan perbaikan Sendang Margo dan Sendang Ngiyom serta kawasan penyangganya. Narasi mengenai mitos di dalam buku ini dapat memberikan pandangan kepada para pembaca, bahwa percaya karena takut bukanlah sikap yang tepat untuk hidup bersama mitos, melainkan memahami mengapa mitos itu ada di sekitar kita.
Dijelaskan juga secara rinci bagaimana usaha Bramantyo Prijosusilo memunculkan Upacara Kebo Ketan. Upacara Kebo Ketan terinspirasi dari narasi Joko Samudro dan Sri Parwati yang diolah Bramantyo Prijosusilo. Upacara Kebo Ketan yang dilaksanakan dapat merangsang praktik rehabilitasi lingkungan hidup sekitar. Maksud dari rehabilitasi adalah melalui upacara ini masyarakat menjadi sadar akan lingkungan sekitar. Seperti yang Bramantyo Prijosusilo telah lakukan, kondisi Sendang Margo di Alas Begal yang tidak terawat mulai diperhatikan masyarakat sekitar. Teknis pelaksanaan dan hasil evaluasi acara adat ini juga disampaikan Bramantyo Prijosusilo di dalam buku ini. Pada dasarnya Bramantyo Prijosusilo memiliki harapan besar agar Upacara Kebo Ketan dapat menjadi salah satu wahana edukasi.
Buku “Seni Kejadian Berdampak” tidak hanya menyajikan proses perjalanan penciptaan karya Bramantyo Prijosusilo. Ia juga menyajikan bagaimana usaha merawat sebuah kesenian rakyat daerah itu memiliki dampak. Melalui dua bab terakhir dalam buku ini, bersumber dari pengalaman empiris, Bramantyo Prijosusilo menuliskan proses pembuatan sebuah karya kesenian berdampak dengan jelas, “Seni kejadian berdampak memiliki dua fokus yang berbeda dengan kesenian lainnya, yakni fokus kepada dampak yang diupayakan dan fokus pada event yang digelar dan hal ini dilakukan secara berkala”. Selain itu, ia juga menyebutkan dampak lain bahwa sebuah karya seni kejadian berdampak dapat memberikan pelepasan batin jika dilaksanakan secara seksama dan khusyuk. Narasi ini ditulis Bramantyo Prijosusilo setelah melihat fenomena kapitalisme yang mendulang keuntungan di wilayah-wilayah yang seharusnya bersifat sakral.
Artikel ini merupakan rubrik Sorotan Pustaka dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi Maret-April 2019.