Oleh Krisnawan Wisnu Adi dan Muhammad Indra Maulana (Kawan Magang IVAA)
Keprihatinan atas ketidakterhubungan satu dengan yang lain, terutama mengenai bagaimana kolektif bekerja, menjadi latar belakang dibentuknya Arisan: Forum Kolektif Seni Asia Tenggara (selanjutnya disebut Arisan). Ace House Collective, sebuah kolektif yang menempatkan diri sebagai laboratorium seni bergaya visual popular dan merespon konsumerisme visual, menjadi inisiator dari proyek Arisan ini. Tujuan dari Arisan adalah membentuk forum dialog sebagai katalisator untuk membuka rahasia dapur beberapa kolektif, dengan intensi yang saling dipelajari dan dikritisi. Sebagai platform awal, beberapa hal yang ingin diupayakan adalah perumusan pengetahuan tata kelola ruang, modus untuk tetap eksis, dan jejaring kolektif seni se-Asia Tenggara.
Arisan ini diikuti oleh sebelas kolektif yang berasal dari Yogyakarta dan wilayah lain di Asia Tenggara. Dari Yogyakarta, beberapa kolektif itu adalah Krack! Studio, Lifepatch, Ruang Gulma, Ruang MES 56, dan SURVIVE! Garage. Lalu dari wilayah Asia Tenggara, ada Tentacles (Bangkok, Thailand), Tanah Indie (Makassar, Indonesia), WSK! (Manila, Filipina), Rumah Api (Kuala Lumpur, Malaysia), Rekreatif (Dili, Timor Leste), dan Gembel Art Collective (Dili, Timor Leste). Selain kolektif-kolektif partisipan di atas, proyek ini didukung oleh tim lain seperti penanggung jawab program, fasilitator, dan pencatat proses. IVAA dalam kesempatan kali ini mendapat peran sebagai dokumentator.
Proyek yang bisa dikatakan cukup ambisius ini, mengingat cakupan wilayah Asia Tenggara yang hanya diwakilkan oleh sebelas kolektif saja, digelar selama kurang lebih 7 minggu, dari 10 Oktober-26 November 2018. Dalam waktu yang cukup singkat ini, Arisan dibingkai dengan 4 topik, yakni dasar gagasan (ideologi) pembentukan kolektif, pengelolaan program (modal kultural), pembangunan jaringan (modal sosial), dan strategi ekonomi (modal ekonomi).
Dari keempat topik di atas, rencana pelaksanaan Arisan semula diproyeksikan dengan format presentasi dan diskusi interaktif oleh masing-masing kolektif dengan arahan fasilitator. Berdasarkan 4 topik pembingkai, presentasi dan diskusi akan dilakukan selama 4 minggu. Namun, format semacam ini hanya bertahan selama 2 minggu pertama, untuk kerangka topik ideologi dan modal kultural. Beberapa hal yang dibicarakan adalah alasan dan gagasan pembentukan kolektif beserta garis perjuangannya (politis ataupun artistik), serta aliansi seperti apa yang dibangun untuk menopang aktivitas kolektif dan bagaimana kolektif menghidupinya.
Format presentasi dan diskusi, meski interaktif dan dilengkapi minuman fermentasi sebagai stimulus antusiasme, ternyata membuat beberapa partisipan merasa bosan. Seolah menjadi hambar ketika Arisan, sebagai platform awal pembentukan kolektif seni Asia Tenggara, tidak melibatkan dimensi praktik. Kebosanan ini nampak ketika dalam proses diskusi, muncul obrolan-obrolan kecil (obrolan di dalam obrolan) dari beberapa partisipan. Tak jarang juga ketika diskusi berlangsung cukup lama, beberapa orang nampak tidur atau sekedar melamun. Oleh karena itu, pada minggu 3 dan 4, mekanisme atau format Arisan diubah menjadi diskusi dan perumusan proyek bersama. Jika pada minggu 1 dan 2 sudah membicarakan topik ideologi dan modal kultural, pada tahap ini lebih menekankan penerapan topik modal sosial dan ekonomi.
Ada beberapa poin penting yang muncul di tahap kedua. Pertama, mengenai pendanaan program Arisan. Pendanaan yang berasal dari Dana Keistimewaan Provinsi DIY ini sempat menjadi sumber perhatian. Ruang Gulma, kolektif muda dengan spirit kemandiriannya, bersikap hati-hati dengan pendanaan ini. Selain itu, Rumah Api, sebagai kolektif yang anti otoritarianisme, semula mengira bahwa pendanaan Arisan dilakukan dengan etos DWO (do it with others).
Kedua, dengan metode kocokan (lotre), layaknya acara arisan pada umumnya, dirumuskanlah 6 proyek yang akan dikerjakan secara kolaboratif. Enam proyek dengan komponen anggota yang sudah campur antar kolektif ini, menjadi manifestasi penyelarasan topik dengan praktik, sekaligus peleburan hubungan tuan rumah (kolektif-kolektif dari Yogyakarta) dan residen (kolektif dari Makassar dan wilayah lain di Asia Tenggara). Proyek-proyek itu adalah Pusing-pusing, Commons Credit Cooperative (CCC), pameran fotografi, Trashure, Arisan-lab, dan Spirit Tenggara.
Pusing-pusing adalah sebuah proyek panggung musik keliling yang akan tampil di empat titik di Kota Yogyakarta. Keempat titik itu adalah perempatan Taman Siswa, Pakualaman, Kridosono, dan Tugu. Dengan hanya berbekal ijin dari warga sekitar, tanpa mengajukan ijin ke pihak kepolisian, Pusing-pusing ingin menguji keamanan ruang publik Yogyakarta sebagai ruang ekspresi.
Commons Credit Cooperative (CCC) adalah sebuah proyek koperasi yang menekankan sistem pertukaran keahlian dan alat dari para anggotanya. Setiap sumber daya yang diinvestasikan akan dihitung atau diukur sebagai kredit. Kredit itu selanjutnya bisa ditukarkan dengan sumber daya lain. Tujuan dari CCC adalah untuk memetakan dan mengatur sumber daya dalam rangka mendukung produksi artistik para anggota.
Selanjutnya adalah pameran fotografi. Dengan tema mobilitas, para seniman partisipan Arisan yang terlibat didorong untuk menafsirkan dan mengkontekstualisasikan konsep mobilitas ruang dan waktu ke dalam material foto.
Isu lingkungan juga menjadi perhatian khusus dari Arisan. Hal ini termanifestasikan ke dalam Trashsure. Trashsure adalah sebuah proyek pengumpulan sampah hasil dari aktivitas seni, yang kemudian dikelola melalui Workshop Trashsure. Melalui workshop itu sampah direspon ulang menjadi instrumen musik yang nanti akan digunakan untuk mendukung pertunjukkan musik yang mereka gelar.
Selanjutnya adalah Arisan-lab. Gagasan untuk membantu pembangunan perpustakaan kolektif di Timor Leste menjadi dasar proyek ini. Arisan-lab, yang bisa dikatakan sebagai proyek perpustakaan, dilakukan dengan dua mekanisme kerja. Pertama, untuk jangka pendek, diterapkan mekanisme bagi setiap pengunjung di proyek-proyek Arisan yang lain untuk membawa satu buku sebagai tiket. Buku itu selanjutnya akan disumbangkan untuk pembangunan perpustakaan kolektif di Timor Leste. Untuk mendukung mekanisme jangka pendek ini digelar juga workshop membajak dan mencetak buku, serta pembuatan zine kolektif. Sedangkan untuk mekanisme jangka panjang, akan dibuat buku audio dan sebuah platform berbagi secara digital berupa database buku elektronik beserta review dari buku-buku yang relevan.
Terakhir, sebagai penguat simpul ikatan kolektif Arisan, Spirit Tenggara hadir. Pada dasarnya proyek ini merupakan usaha untuk berbagai pengetahuan berbasis potensi lokal. Salah satunya adalah proses pembuatan minuman fermentasi sebagai respon atas ekspansi industri modern yang menggerus proses produksi rumahan. Resep dari minuman ini juga dirumuskan agar dapat diimplementasikan sesuai konteks geo-spasial dari masing-masing kolektif partisipan Arisan. Untuk lebih mempererat ikatan kolektif ini, Spirit Tenggara juga membuat anthem secara kolaboratif, baik dari lirik hingga nadanya.
Sebagai sebuah platform awal, tentu masih banyak pekerjaan rumah yang harus dipikirkan dan dilakukan oleh Arisan. Salah satunya adalah persoalan keberlanjutan. Tidak sekedar melanjutkan proyek saja, masalah hubungan antara kemandirian kerja forum dan modal ekonomi menjadi kekhawatiran yang terus dipertimbangkan.
Artikel ini merupakan rubrik Sorotan Dokumentasi dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi November-Desember 2018.