Oleh: Dwi Rahmanto
Sepanjang Mei-Juni, Yogyakarta menjelma sebagai kota seni super sibuk. Momentum bursa seni rupa megah—Artjog, digunakan banyak pelaku seni sebagai ‘bulan baik’ penyelenggaraan kegiatan. Selama sepuluh tahun penyelenggaraannya, Artjog telah memantik bertumbuhnya kegiatan hingga ruang-ruang seni rupa baru di Yogyakarta. Tak ayal, jika banyak para seniman atau pelaku seni lainnya menyebut moment Artjog sebagai “Lebaran Seni Jogja”. Momen ini menjadi titik bertemunya seluruh penghuni medan seni, mulai dari pelaku, pemerhati, dan pendukung seni rupa hingga pelaku industri kreatif seperti musik dan craft.
Di Rumah IVAA sendiri sejak pertengahan Mei telah berlangsung “Lokakarya Penulisan dan Pengarsipan Seni Rupa”. Acara yang menjadi pembuka dari Festival Arsip di September mendatang, telah menunjukkan partisipasi IVAA pada momentum Yogyakarta kala itu. Lokakarya ini diikuti sekitar 13 partisipan dari berbagai latar belakang, mulai dari mahasiswa sejarah hingga komikus. Acara berlangsung selama kurang lebih dua minggu, dari pukul 15:00 hingga malam hari, disesuaikan dengan kebutuhan pembahasan. Setelah itu para peserta lokakarya melakukan penelitian mandiri dan beberapa sesi penyuntingan.
Kami selaku Tim Dokumentasi bekerja untuk mengumpulkan dan merekam berbagai peristiwa kesenian. Tidak hanya itu, kami juga bertugas untuk mengelola materi-materi hasil perolehan dari kerja pengumpulan dan perekaman, baik berupa dokumen video, foto, audio, maupun tekstual hingga siap dikelola oleh Tim Arsip dan Pelayanan Publik. Kali ini kami dibantu dua kawan magang, yang sedang kuliah di Universitas Islam Indonesia dan Modern School of Desain. Sejak awal Mei sampai dengan pertengahan Juni 2017 ini kami mencatat telah merekam 63 peristiwa seni budaya di Yogyakarta dan beberapa kota lain.
Dari serangkaian acara dan peristiwa seni budaya yang kami coba dokumentasikan, terdapat satu rapor merah, yakni peristiwa pembredelan pameran drawing “Tribute to Wiji Thukul” oleh Andreas di PUSHAM UII. Sebuah peristiwa yang menandai masih adanya pemberangusan kebebasan berekspresi melalui seni tentu penting untuk kami abadikan. Di sisi lain, ada juga demonstrasi oleh sejumlah aktivis perempuan Yogyakarta atas pameran tunggal Sitok Srengenge yang di laksanakan di Langit Art Space. Sitok seperti kita ketahui, terlibat kasus tindakan asusila yang proses peradilannya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Di sinilah muncul pertanyaan, apakah pribadi semacam ini patut diamini sebagai seniman, sedangkan seni itu sendiri tidak bisa dipisahkan dari sisi kemanusiaan. Kami juga merekam acara demonstrasi para alumnus dan mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta yang memprotes keberadaan kelompok Hisbut Tahrir Indonesia (HTI) di ranah civitas akademi ISI Yogyakarta. Demo ini bukan yang pertama, setelah pada tahun 2016 pernah berlangsung demo serupa di kampus tersebut. Dokumentasi dari peristiwa-peristiwa tersebut tersedia di IVAA, dan bisa diakses dengan terlebih dahulu menghubungi Arsiparis IVAA.
Di Rubrik Sorotan Dokumentasi edisi ini kami berbagi rekaman tiga peristiwa (1) “50 Tahun Kesaksian Oom Pasikom” pameran oleh kartunis GM Sudarta di Bentara Budaya Yogyakarta; (2) seminar bertajuk “Meme dan Persebarannya: Diskusi Kritis Mengenai Fenomena Dunia Maya” dengan menghadirkan tiga pembicara: Agan Harahap (seniman), Budi Irawanto (dosen program studi Ilmu Komunikasi UGM), Seno Gumira Ajidarma (dosen Institut Kesenian Jakarta/IKJ) dan dimoderatori oleh Dyna Herlina (dosen Ilmu Komunikasi UNY); dan (3) “Simposium Budaya Kebangsaan: Strategi Kebudayaan Menuju Indonesia Hebat” yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Kebudayaan UGM.
Simak uraian beserta tautan menuju rekaman dokumentasinya di bawah ini.
Artikel ini merupakan bagian dari Rubrik Sorotan Dokumentasi dalam Buletin IVAA Mei-Juni 2017.