Gedung Lembaga Studi Realino, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
13-14 Januari 2017
Gedung Lembaga Studi Realino, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
13-14 Januari 2017
Oleh: Brigitta Engla* dan Tiatira Saputri
Universitas Sanata Dharma (USD) mengadakan konferensi internasional bertajuk “International Conference on Reviving Benedict Anderson: Imagined (Cosmopolitan) Communities” yang dibuka pada Jumat (13/1) bertempat di Auditorium Driyarkara, USD, Yogyakarta. Acara ini berlangsung selama dua hari yakni 13-14 Januari 2017 di Gedung Lembaga Studi Realino, USD. Konferensi ini diadakan khusus untuk mengenang Benedict Anderson, sejarawan Indonesianis asal Amerika Serikat yang dikenal melalui bukunya “Imagined Communities”.
Konferensi ini menghadirkan para dosen, peneliti, juga mahasiswa dari beberapa negara untuk turut serta menjadi pembicara, yakni dari Indonesia, Thailand, Filipina, dan Singapura. Acara dikemas menjadi dua sesi yakni pleno dan paralel, pada tiap sesi paralel diisi oleh enam pembicara. Untuk peserta yang menghadiri acara sebagai pendengar, konferensi dibuka secara gratis.
Acara dimulai tepat waktu pukul 09.00 WIB yang diawali dengan pembukaan, salah satunya dari Johanes Eka Priyatma, M.Sc., Ph.D. selaku rektor Universitas Sanata Dharma. Acara dilanjutkan dengan sesi pleno yang menghadirkan dua orang pembicara dari University of the Philippines, Ramon Guillermo dan Coeli Barry dari Mahidol University yang dimoderatori oleh Melani Budianta dari Universitas Indonesia. Ruangan seminar terlihat penuh dipadati oleh para tamu serta peserta seminar.
Dalam ulasannya, Ramon Guillermo berbicara mengenai bahasa yang merepresentasikan sebuah kultur tidak bisa dengan mudahnya diterjemahkan ke dalam bahasa lain. Ada rasa yang tidak bisa diterjemahkan ke dalam sebuah bahasa asing. Bagaimana kemudian menghadirkan sebuah istilah dalam sebuah kultur tidak hanya untuk dimengerti tetapi juga dapat menjadi sebuah refleksi bersama.
Lain halnya dengan Gullermo yang membahas keragaman dalam bahasa, Coeli berbicara mengenai keragaman karakter kelompok, khususnya kelompok konservatif dan kelompok ekstrim, dalam hal komunikasi politik. Coeli berpendapat harus ada upaya pendekatan dan stategi komunikasi yang berbeda dari kedua kelompok, agar benturan antara keduanya bisa diminimalisir.
Wacana kosmopolitan dalam kerangka ‘komunitas terbayang’ ala Ben Anderson ini tidak hanya dibahas dalam hal keragaman kultur bahasa dan karakter kelompok politik. Pada sesi-sesi berikutnya para pembicara juga membahas tentang dinamika masyarakat kelas bawah, penerjemahan, pertunjukan seni, dinamika kelompok-kelompok intoleran, gender serta pengaruh karya-karya Ben terhadap akademisi di Indonesia.
“Bagaimana bisa menjadi kosmopolitan tanpa menerjemahkan?”, pertanyaan pembuka ini sekaligus menjadi bekal untuk kami pikirkan selama konferensi berlangsung. Pengalaman hidup Ben Anderson sebagai penerjemah memperkenalkan bahwa tidak semua kata bisa diterjemahkan ke bahasa lain. Ini dikarenakan setiap kebudayaan memiliki konsep berbeda-beda dalam memaknai sesuatu. Roman Guillermo memberi beberapa contoh kasus dari pengalamannya bekerja bersama Ben Anderson dalam proyek penerjemahan. Misalnya, “rasa” tidak bisa diterjemahkan begitu saja ke dalam bahasa Inggris menjadi “feel” karena konsep “rasa” dalam bahasa Indonesia memiliki konsep yang berbeda dengan konsep Barat. Dalam bahasa Indonesia, “rasa” terkait dengan keberadaan manusia dalam jagad raya, sehingga tidak hanya terdiri dari “feel” tapi juga “sense” dan “means”. Sehingga ketika bicara “feeling” jika dalam bahasa Inggris dipahami sebagai memiliki “feel” dalam bahasa Indonesia dipahami sebagai kemampuan indrawi seseorang. Sehingga pada kasus kalimat “Perasaanku cair dan bercampur dengan mereka” yang diterjemahkan menjadi “my own feeling dissolve and mix with their” bisa saja mentah diterjemahkan menjadi “my feeling with faculty liquid and dissolve into their feeling”.
Masih bicara mengenai bahasa. Pada sesi paralel, Arief W. Djati membicarakan kuantitas masyarakat Tionghoa Surabaya sebagai masyarakat kosmopolitan dari jumlah bahasa yang mereka gunakan. Arief menggunakan teori Ben Anderson mengenai kosmopolitanisme kolonial, bahwa mereka yang disebut masyarakat kosmopolitan adalah orang-orang yang memahami beragam budaya dari kemampuan mereka menggunakan berbagai bahasa, bukan karena banyak berpergian ke berbagai tempat. Dikatakan bahwa masyarakat Tionghoa Surabaya fasih dalam menggunakan bahasa Belanda, Jawa, Hokkian dan Melayu. Hal yang juga menarik adalah presentasi dari Popi Primadevi mengenai sosial media. Hari ini sosial media memberi kita keleluasaan dalam membangun identitas sesuai dengan apa yang kita harapkan. Lalu pertanyaannya, komunitas seperti apa yang kita miliki dalam media sosial hingga memerlukan pembentukan identitas yang mungkin saja palsu? Melalui arsip-arsip ‘iseng’nya, Popi mencoba mendokumentasikan dinamika yang terjadi pada sosial media untuk melihat bagaimana image-image identitas ini diterima dan diterjemahkan kembali oleh komunitas maya.
*Brigitta Engla adalah lulusan S1 Antropologi Budaya, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, mengikuti Program Magang IVAA di bulan Desember 2016 – Januari 2017.
Artikel ini merupakan bagian dari rubrik Sorotan Dokumentasi dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi Januari-Februari 2017.